13. Fakta

645 90 42
                                    

Happy reading!

--JEKA--

Jeka menarik napasnya pelan. Ia memandang pintu di depannya dengan perasaan tidak tenang. Dengan gerakan perlahan tangannya terangkat memegang handle pintu tersebut.

Pintu terbuka, menampakan ruang kerja Papanya dengan Papa yang sudah menunggunya di kursi kerjanya. Jeka menghampiri Papa sembari membuka menutup kepalan tangannya, gerakan tersebut ia lakukan untuk mengurangi rasa gugup di hatinya.

"Apa yang kamu lakukan sampai Evan koma?" Tanya Papa tanpa basa-basi.

Jeka menggigit bibir bawahnya. "Ya aku pukulin." Jawabnya datar.

Papa menutup matanya sekilas, "Kenapa?"

"Aku udah bilang ke Papa kemaren, kalo aku mau nuntut balas karena temenku masuk rumah sa--"

"Bukan itu." Potong Papa. "Pasti ada alasan lain kamu mukulin dia sampe sebrutal itu."

Jeka terdiam. Pandangan matanya berubah sayu. "Dia ngehina Mama." Jawabnya lirih.

Papa tertegun. Beliau menatap Jeka dalam, tersirat raut marah, kecewa, dan terharu menjadi satu.

"Aku minta maaf, Pa." Ucap Jeka, pemuda itu balas menatap Papanya. Namun tiba-tiba pandangan matanya berubah tajam. "Tapi aku nggak bakalan mau kalo disuruh minta maaf ke dia!"

"Papa nggak nyuruh kamu minta maaf ke Evan." Papa berdiri, lalu kembali duduk di sofa yang terdapat di pojok ruangan. Tangan beliau melambai, meminta agar Jeka duduk disebelahnya.

Dahi Jeka mengernyit mendengar ucapan Papa.

"Papa cuma minta kamu buat kurangin tawuran dan rajin belajar."

"Aku nggak bakal tawuran kalo nggak ada yang ngusik kami."

"Iya, Papa tahu itu."

Jeka melirik Papa kesal. "Kalo Papa tahu kenapa ngomong gitu?"

Papa tersenyum tipis. "Kamu tahu apa alasan Papa nyuruh kamu rajin belajar dan harus dapet nilai di atas kkm?" Tanya Papa, mengabaikan pertanyaan Jeka sebelumnya.

"Biar aku pinter kayak abang kan?" Ucap Jeka ragu.

Papa menggeleng. "Bukan. Sebenarnya Papa nggak perduli kamu jadi anak yang cerdas atau enggak, karena kamu anak Papa. Bagaimanapun kamu, kamu tetap anak Papa.

"Papa cuma nggak mau kamu dihina-hina kayak Papa dulu, karena bodoh." Papa berhenti sejenak untuk melihat ekspresi Jeka yang sekarang tertegun.

"Dan bukan hanya orang lain yang hina Papa bodoh, tetapi juga Kakek kamu, Ayah Papa." Tersirat nada sedih dari ucapan Papa.

"Papa nggak pernah perduli sama ucapan orang lain yang hina Papa bodoh. Tapi, kakek kamu berbeda. Hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah ketika kamu dihina oleh orang terdekat kamu, orang yang kamu sayangi, dan orang yang kamu percaya.

"It's so hurt, you know. Dan semenjak saat itu Papa mulai rajin belajar. Lalu Papa berhasil. Papa berhasil buat Kakek kamu memuji Papa untuk pertama kalinya.

JEKA✓Where stories live. Discover now