3. Ancaman Papa

771 100 41
                                    

Happy reading!

--JEKA--

"Pulang dulu gue." Ucap Juna. Beberapa anggota yang masih ada di markas termasuk ke enam inti Anushka melihat ketuanya yang tengah berdiri merapikan jaket yang dikenakan.

"Cepet amat bos." Kata Gino.

"Cepet amat mata lo soak, ini udah tengah malem, bego." Sahut Theo, memang tidak ada sopan-sopannya cowok itu kepada yang lebih tua.

"Berani lo sama gue?" Gino mendelik dengan nada ucapan datar.

Tetet menaikkan dagunya menantang. "Kenapa enggak?"

Jino berdiri, merasa tersentil. "Gelut, yuk."

"Dia ngajak gelut apa ngajak main?" Bisik Jey kepada Agus yang diam saja.

"Ayo!" Sambut Theo, ia menghampiri Gino sambil menggulung lengan kaosnya.

Juna berdecak. "Lanjutin! Gue pulang dulu."  Cowok itu berlalu keluar markas. "Ayo, Jek!" Serunya memanggil Jeka saat sudah menaiki motor hitamnya itu. Keduanya berangkat bersama menggunakan motor Juna, karena motor Jeka sedang di bengkel.

"Wayoloh, Juna marah." Ujar Jimmy dengan nada menakut-nakuti Gino dan Theo yang berwajah pias.

Jeka tertawa pelan dan menghampiri Juna. "Pulang dulu ya." Pamitnya sebelum benar-benar keluar.

"Take care, bro!" Juna dan Jeka mengacungkan jempolnya untuk seruan mereka.

Melihat Jeka sudah duduk di belakangnya, Juna mulai melajukan motornya dan menekan klakson tanda pamit.

Memang dasarnya bocah jahil. Jeka memeluk pinggang Juna dengan kurang ajar. Cowok itu tertawa pelan saat Juna melotot kaget.

"Eh, anjir. Lepasin, bego!" Ketus Juna.

Tak menghiraukan ucapan Juna, Jeka malah tertawa dan semakin mengeratkan pelukannya.

"Jeka, anjing! Gue turunin disini lo ya!" Sentak Juna, cowok itu sampai menggerak-gerakkan tubuhnya geli.

"Tega lo?" Tanya Jeka, polos. Yang tak mendapat jawaban justru helaan nafas pasrah yang terdengar dari mulut Juna.

Mendengar itu, Jeka langsung melepas pelukannya sembari tertawa puas yang membuat Juna ikut tertawa mendengarnya.

"Serius amat si, bang? Gue juga geli kali."

"Ya elo! Tau geli ngapain meluk?!"

"Pengen aja godain elu." Jawabnya santai.

Juna menggeleng pelan dan mulai memasukkan motornya ke dalam garasi rumah.

Kedua cowok tampan itu turun dari motor dengan Jeka yang masih tertawa. Seakan teringat sesuatu, cowok itu langsung menghentikan tawanya membuat Juna mengernyit.

"Bang, ini kita gak bakal dimarahin pulang jam segini?" Tanyanya khawatir.

Juna memutar matanya malas dan mulai berjalan mendekati pintu. "Menurut lo aja sih."

Bibir Jeka sedikit mengerucut.

"Diem, jangan berisik." Juna mengintip keadaan rumah melalui lubang kunci. Diarasa aman, cowok jangkung itu memasukan kunci rumah miliknya. Ia sudah menebak jika ia dan adiknya tidak akan dibukakan pintu dan berharap Papanya sudah tidur.

Namun, harapan itu sepertinya tidak terkabul saat mendengar suara bernada datar yang sudah keduanya hapal menyapa indra pendengaran.

"Darimana kalian?"

"Eh, Papa. Belum tidur, Pa?" Jeka mengusap tengkuknya sembari menyalami tangan Papanya. Sedangkan Juna di belakangnya menelan ludah kasar.

"As you can see."

Kedua cowok itu meringis mendengar nada tak bersahabat dari Papanya.

"Kenapa baru pulang?"

"Papa kayak nggak pernah muda aja." Juna sudah melotot menyuruh Jeka agar diam. Tapi memang dasarnya cowok itu bebal, maka dengan segala kesantaiannya ia mengajak Papanya bercanda untuk menutupi kegugupannya.

"Kamu pikir Papa langsung tua, gitu?" Papa bertanya tak terima.

Jeka nyengir. "Papa sendiri loh yang ngomong."

"Kamu Juna." Papa beralih menatap Juna, mengabaikan Jeka yang menarik nafas pelan.

Juna mendongak. "Iya, Pa?"

"Kamu itu kakak. Harusnya ngasih contoh yang baik buat adek bandel kamu ini." Papa menunjuk Jeka membuat cowok itu tak terima dikatakan bandel, padahal nyatanya memang iya.

"Kenapa? Mau protes kamu?"

Jeka mempoutkan bibir dan menggeleng pelan, takut disemprot.

"Papa ngijinin kalian ikut geng bukan berarti kalian bisa seenaknya kayak gini. Kalian itu masih pelajar, tugasnya ya belajar! Apalagi kamu ketuanya kan, Juna?" Juna mengangguk.

"Apa kabar anggota kamu kalau kamunya nggak bisa ngatur waktu."

Tak terima dengan ucapan Papanya yang menyudutkan abangnya, Jeka menyahut. "Abang disana belajar kok, Pa."

Papa menoleh. "Lalu kamu? Sudah belajar?!"

"Belum." Jawabnya polos. Ia mengerjapkan matanya. "Tapi abis ini belajar kok. Serius deh nggak boong." Jeka mengacungkan kedua tangannya membentuk tanda peace.

Papa memijit kepalanya pelan. "Kalo sampe nilai ulangan kamu tadi nggak di atas kkm, Papa sita samsak kamu!"

Sontak, Jeka melotot panik. "Jangan samsak dong, Pa. Yang lainnya aja deh aku ikhlas."

"Pa, ini salah aku. Jadi, jangan ancem Jeka gitu. Aku yang minta baru pulang, padahal Jeka udah ngajak dari tadi." Bela Juna. Memang benar jika Jeka yang mengajaknya pulang sedari tadi. Jeka tak membela abangnya walau sebenarnya ia tak tega, karena baginya saat ini samsaknya lebih penting.

"Papa tidak menerima bantahan. Papa akan tetep nyita samsak Jeka kalo nilainya nggak di atas kkm!"

"Sana masuk kamar." Perintah Papa yang langsung dituruti keduanya. Papa juga berlalu memasuki kamarnya, namun ia menghentikan langkahnya dan menatap Jeka. "Belajar, Jeka." Mintanya pelan.

Jeka menoleh. "Iya, Pa."

Papa mendesah pelan melihat punggung kedua anaknya yang sudah masuk ke kamarnya masing-masing. "Semoga kalian ngerti maksud Papa."

--JEKA--

Thanks for reading!

Publish 7 Februari 2021.

JEKA✓Where stories live. Discover now