After : Tiga Belas

Mulai dari awal
                                    

Leganya. Humairah bernapas lega mendengarnya. Yanto dan Dodi memang sangat bisa di andalkan.

"Lalu, semalam dia kamana?" Humairah melontarkan satu pertanyaan lagi pada Yanto.

Yanto menyeruput kopinya, "Saya tidak tau, Bu. Nona hanya izin keluar dengan temannya, tidak mengatakan apapun lagi pada saya."

"Kemana dia pergi semalam?" monolognya sendiri.

"Ibu tidak usah khawatir. Nona hanya pergi ke pasar malam dekat sini, kok."

"Pasar malam? Dengan siapa?"

"Dengan teman barunya, Bu." jawab Dodi.

"Kamu tau dari mana, Dod?" Yanto yang penasaran ikut bertanya.

"Mark yang memberitau saya. Kebetulan dia yang jaga rumah semalam."

"Dengan siapa dia pergi? Apakah tidak berbahaya?"

Dodi tersenyum tulus pada Humairah yang nampak khawatir, "Tidak, Bu. Ketika pulang dari kerja kelompoknya, Nona di antar oleh Raka. Sedangkan saat ke pasar malam, Nona bersama Madava. Nona menolak di jemput, Bu."

"Kedua temannya hanya menunggu di depan komplek, kan? Tidak-

"Menjemput dan menurunkan Nona tepat di depan pagar rumah, Bu." potong Dodi.

Mata Humairah melotot tidak percaya. Bagaimana bisa Abila membawa orang asing masuk ke dalam kawasan rumahnya? Bagaimana jika ada yang tau tentang keberadaannya?

Apa anak itu sudah tidak waras?

"Nafisa sedang sakit atau kerasukan? Bukankah anak itu sendiri yang melarang siapapun masuk ke pekarangan rumah selain kalian dan dua temannya? Lalu kenapa sekarang dia berani membawa dua teman barunya?"

"Fisa sudah tidak waras."

"Bila masih waras, Bund."

Suara itu...

Semua menoleh, ada Abila yang mendekat dengan senyum indahnya. Ia berjalan dengan santai mendekati tiga orang dewasa itu.

"Dava dan Raka anak baik. Bila sudah pastikan. Jadi Bunda ga usah khawatir, mereka ga akan koar-koar sama orang tentang keberadaan rumah ini." jelas Abila tenang. Ia berjalan mendekat pada Bundanya, duduk di samping sang bunda.

"Kemarin sore Bila ketemu sama Tante Sesa, Bund."

"Sesa?" ulang Humairah. Abila mengangguk.

"Kamu ketemu di mana? Kok ga di ajak ke rumah?"

"Di tempat Keira. Tante Sesa lagi arisan, Bund. Bila udah ajak, katanya nanti aja sama Om Hari." jelas Abila pada Humairah mengenai orang yang memanggilnya kemarin.

Abila manatap Yanto karena merasa pembicaraannya dengan sang bunda sudah selesai. Dan sekarang saatnya fokus pada pekerjaan, "Kita pergi jam berapa, Pak?"

"Jam satu empat puluh kita berangkat, Nona." jawabnya.

Abila mengangguk.

"Dokumen sudah Bila siapkan semua. Tolong ingatkan saya jika kita harus membahas tentang keuangan kemarin. Oke, Pak Dod?"

Dodi mengangguk kaku. Ia fikir Abila sedang mengajak Yanto berbicara, taunya dirinya yang sedang di ajak bicara.

Salahkan mata Abila yang mengarah pada Yanto, bukan dirinya.

AT

"Raka, ayo, Nak!" Rahmi berteriak dari bawah memanggil anak pertamanya.

Raka turun dengan langkah ngontai, wajahnya di buat sedih.

"Pending dulu, deh, Bu. Minggu depan aja gimana?" Raka berucap di atas tangga, duduk di anak tangga dengan kepala yang ia sandarkan di tiang penyangga tangga.

Rahmi menggeleng heran. Anaknya selalu banyak bicara. Ingin rasanya kali ini Rahmi memberikan seuntai cabai pada mulut Raka agar laki-laki itu mengerti dan tidak lagi banyak bicara.

"Raka, ayo. Bapak udah nunggu di mobil, lho." ucap Rahmi lagi.

Raka menghela dengan pejaman mata. Ia beranjak dari duduknya mengikuti langkah sang Ibu yang membawanya ke halaman rumah di mana mobil sudah siap.

AT

"Iya, sebentar!"

Pintu rumahnya di ketuk terus menerus padahal bel elektronik sudah di sediakan oleh orang tua Dava. Dava turun dengan terburu melangkah pada pintu utama rumahnya.

Tok... Tok... Tok

"Iya! Sebentar!"

Dava mengatur napasnya lebih dulu sebelum membuka pintu rumahnya. Dava terdiam melihat siapa yang datang kerumahnya.

Dengan senyum mengembang Dava memeluk seorang wanita di depannya dengan erat. Wanita tersebut pun tidak kalah erat memeluk Dava.

Dava mengeluarkan rasa rindunya dengan sebuah pelukan. Aroma vanila yang masuk ke rongga hidungnya membuat seorang Dava nyaman dan betah berlama-lama dalam memeluk wanita tersebut.

"Ehem!"

Deheman kuat memaksa Dava melepaskan pelukan rindu itu. Dava menoleh ke sisi kiri dan laki-laki itu melakukan hal yang sama seperti wanita tadi. Memeluk.

"Aduh, anak Ayah. Sudah besar sekali kamu." ucap Ares sambil menepuk-nepuk punggung anak satu-satunya.

Mereka melepaskan pelukan mereka, saling pandang dengan jangka kurang lebih dua menit. Naomi - Bundanya tersenyum. Menyubit gemas pipi anaknya membuat Dava meringgis.

Ares dengan cekatan merangkul sang anak membawa masuk ke dalam rumah yang sudah sangat ia rindukan.

Naomi di bantu supirnya membawa beberapa koper milik mereka ke dalam rumah. Ada juga lima totabag dengan beraneka warna dan merek.

Setelah mengucapkan terima kasih pada supirnya, Naomi berjalan ke dapur untuk membuatkan kopi untuk suaminya.

Di ruang keluarga. Dava masih tidak percaya jika kedua orang tuanya pulang hari ini, karena setaunya ayah dan bundanya akan pulang dua sampai tiga bulan mendatang.

"Ayah kok udah pulang? Ga ngabarin Dava juga."

"Iya dong, kan mau kasih kejutan buat anak Ayah." jawab Ares.

Naomi datang membawa secangkir kopi untuk suaminya lalu ikut duduk di soffa lainnya.

"Memangnya kenapa kalo kami pulang ga ngabarin? Kamu sembunyiin sesuatu?" tebak Naomi. Dava geleng kepala kuat.

"Enggak, Bund, enggak. Ga ada apa-apa kok. Dava cuma kaget aja."

Naomi dan Ares tertawa melihat tingkah anaknya. Ini yang membuat mereka rindu dengan sang anak. Tingkah lakunya.

Naomi memberikan senyum tulusnya. Memandang Dava dengan penuh kerinduan yang tak terbendung, "Kamu tenang aja. Kali ini yang terakhir, kok."

After that

Yeay! Bunda dan Ayah sudah kembali

After that [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang