"Elle, jangan mengalihkan pembicaraan, deh."

Tanpa merespons ucapannya, aku tetap berjalan menuruni anak tangga lain untuk menuju lantai terbawah mansion ini, lalu keluar ke tempat pembuangan sampah.

"Brielle!"

Suara Adam masih memanggilku, tetapi sama sekali tidak kuhiraukan. Hingga pada akhirnya, ia menarik satu tanganku yang terbebas, menyebabkan benda yang kupegang di tangan yang lainnya terjatuh, menimbulkan bunyi nyaring yang cukup membuatnya terheran. Aku mengembuskan napas.

"Ini tidak seperti yang kau pikirkan, kok, Dam."

Pemuda itu masih menatapku dengan sorot yang tidak biasa. Seolah-olah menuntut penjelasan yang aku sendiri enggan untuk memberitahunya. Pria yang usianya berada di bawahku ini tampak semakin bertumbuh, hingga membuatku sendiri tampak kerdil darinya yang kini menjadi semakin dewasa dan kuat.

Cengkeraman tangannya menguat, membuatku memejamkan sebelah mataku untuk menahan sakit. "Adam …, lepaskan tanganku!"

"Apa maksudnya ini?"

Tidak mendapatkan jawaban dariku, pemuda itu pun mengambil kantong hitam itu, kemudian membukanya guna melihat isi yang ada di dalamnya. Sebuah bangkai biola yang memang telah menjadi korban amarah seorang gadis emosional dari keluarga William.

"Aku …."

"Jelaskan nanti di kamar!" tuntutnya setelah menyeretku pergi meninggalkan onggokan sampah di tanah lapang di halaman rumah. Hingga ketika Benneth lewat di sampingnya, ia pun meminta tolong. "Ben, benda di kantong hitam itu, tolong letakan di pembuangan."

Dengan penuh hormat, pria yang menjadi salah satu orang kepercayaan kakekku itu mengangguk. "Baik, Tuan Muda."

Begitu permintaanya dipatuhi, Adam kembali menarikku ke dalam rumah, memasuki kamarku yang kini senyap dan suram meski matahari tengah bebas mengirimkan cahayanya menembus ruang tergelap di dalam sini.

🌺🌺🌺

"Jadi … apa yang membuat biola barumu rusak?"

Aku terdiam, menunduk cukup dalam. "Aku … marah karena Sera."

"Ap—"

"Tapi kami sudah berbaikan kok, hehe. Kemarin," selaku kembali sebelum Adam berkomentar, sembari kuangkat wajahku dan tersenyum kikuk.

Embusan napas menguar dari lubang hidung pemuda di hadapanku. "Apa yang membuat kalian bertengkar?"

Dahiku mengerenyit. "Kami tidak bertengkar!"

"Lalu?"

Aku menggaruk alisku yang tidak gatal. Rasanya malu mengatakan ini sebab Adam sudah berkali-kali tahu kalau setiap kali aku dan Sera berselisih paham itu hanyalah karena keegoisan … atau lebih pantas kusebut kebodohan masing-masing. "Er … selisih paham … mungkin."

"Alismu ketombean?"

"Kurang ajar!"

Sebuah kekehan keluar dari mulut pemuda itu. Kuposisikan diriku bersandar pada kepala ranjang, diikuti Adam yang kini juga mendekat, menjatuhkan kepalanya di pahaku. Tanganku terulur untuk mengelus rambut yang ditata rapi tersebut. Tidak kusangka, tahun lalu ia masih tampak seperti anak SMA, kini penampilan Adam terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.

"Jadi?"

"Ya …, seperti yang kukatakan tadi. Ini semua hanya karena diri kami yang terjebak ego, kemudian saling menyalahkan. Hingga Sera memutuskan untuk memblokir kontak kepada semua orang termasuk keluarga kita.

"Ia mengirimkan surat yang aku yakin kau dan Paman Leon menerimanya."

Dengan tatapan yang tak beranjak sedikitpun dari wajahku, Adam masih menyimak semua penjelasanku.

"Aku sendiri pun merasa kecil dan bodoh karena ketakutanku yang sedikit kurang ajar itu selalu menahan hasratku untuk menemuinya. Hingga pada akhirnya Razel dan Rosela mengajakku untuk datang ke rumah sakit, tepat di hari aku membalas suratnya."

"Razel? Rosela?"

"Dari keluarga Stamfold."

"Okay …, lalu?"

"Ya … hingga pada akhirnya dua hari yang lalu, aku baru bisa mengungkapkan semua pada gadis itu secara langsung. Dan pada akhirnya aku berbaikan dengannya."

Embusan napas lega terdengar dari bawah daguku. "Syukurlah kalau kalian sudah berbaikan."

Aku mengangguk, dengan penuh percaya diri dan senyuman selengkung bulan sabit yang menjadi favorit Adam.

"Lalu … apa yang membuatmu tadi tampak bingung dan seolah-olah mengkhawatirkan sesuatu?"

"Aku …." Napasku terembus kuat, sebelum aku mengalihkan tatapan pada hamparan sejuta daun di kebun belakang rumh. "Rosela memiliki rencana untuk menyembuhkan Sera melalui serangkaian ritual. Kau sudah dengar kan kalau dia sedang dirawat?"

Adam mengangguk.

"Sebuah kalung yang akan dikenakan Sera. Kalung perak dengan liontin kristal berbentuk bintang heksagonal yang tidak asing bagiku." Aku mengeluarkan satu kalung yang sama. Bandul kristal clear yang berbentuk bintang pentagram. "Rasanya tidak asing, dan mereka seolah-olah saling mengenal karena ketika kalung Sera yang saat ini dipakai Rosela mendekatiku, kalungku berdenyut.

"Dan … pisau itu memiliki energi yang sama dengan milikku."

"Milikmu?" tanya adam dengan alis terangkat.

Tanganku menunjuk salah satu sudut ruangan yang terdapat jejeran lemari kaca, yang salah satunya berisi sebuah busur dan anak paanh perak dengan ukiran sepasang sayap dan bulan sabit. Dilengkapi dengan tali emas dan sulur hidup di kedua ujungnya.

"Itu bukankah panah yang kau dapatkan dari Paman Herald?"

"Paman hanya sebagai perantara. Panah itu kudapatkan dari Bunda saat Aurora berusia tiga belas tahun dan akan naik tahta. Benda itu akan diturunkan di setiap kebangkitan."

"Lalu masalahnya apa?" Adam kembali bertanya.

"Aku hanya penasaran saja, tapi … yang menjadi masalah adalah Rosela akan menyayat dada Sera menggunakan belati itu. Aku takut, cemas karena Rosela sendiri juga tidak yakin dengan keputusannya."

"Jadi, belenggu keraguan, ya?"

Aku mengangguk. Adam yang tadinya berbaring kini mendudukkan dirinya untuk berhadapan denganku. Kedua tanganya terangkat, menangkup kedua pipiku kemudian menggoyang-goyangkannya.

"Kau itu kebiasaan sekali. Kenapa sekarang jadi selemah ini? Mana Elle yang selalu optimis?"

Aku mengerenyitkan dahi. "Sejak kapan aku optimis?"

"Sejak kecil."

"Orang yang optimis tidak akan melakukan percobaan bunuh diri, Dam."

Pemuda di hadapanku terkekeh. "Saat itu … mungkin kau hanya sedang bingung dan kalut."

Aku terdiam. Rasanya seperti disentil di ulu hati mendengar pernyataan Adam yang hari ini tampak hangat dan serius di setiap obrolan. Tidak seperti biasanya yang akan ada saja umpatan dan lontaran kalimat saling ejek di antara kami.

Aku pun tersenyum dalam senyap, kemudian memeluknya. Terasa pula tangkupan sepasang tangan di punggungku, membuat aku terlarut dalam kenyamanan yang hanya aku saja malam ini yang merasakannya.

"Elle, aku udah bisa meluk, dong!"

"Setan!"

Selaras RasaWhere stories live. Discover now