1. Yang tak diinginkan

Start from the beginning
                                    

Azam tersentak, tubuhnya menegang mendengar pernyataan Naura. Dalam diam pandangan Azam menatap Naura, namun sebenarnya pikiran itu berkelana entah kemana. Takut, ragu, rasa ketidakpercayaan lebih mendominasi. Bermacam kemungkinan Azam pikirkan membuat hatinya merasa gelisah.

"Mas Azam!" seru Naura memanggil Azam. Saat diberi pertanyaan, Azam bukannya menjawab tapi melamun.

"Kita bicarakan ini di tempat lain, ya, Ra?" pinta Azam. Pembicaraan ini terlalu pribadi menurutnya. Ia tidak ingin jika ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.

Nafas Azam tertahan saat Naura menyipitkan mata menatapnya. Azam berusaha bersikap tenang meski sebenarnya rasa gelisah semakin menggerayanginya.

Naura diam memikirkan saran Azam. Menatap sekelilingnya dan terlalu banyak orang. Ia tidak menyukai saran Azam. Setelah pembicaraan dengan kedua orang tuanya, memikirkan berduaan dengan Azam membuatnya tak nyaman. Mengingatkannya kembali akan kata pernikahan. Namun di satu sisi Naura juga ingin membicarakan hal itu dengan nyaman tanpa ada orang lain atau bahkan suara orang lain yang mungkin akan mengalihkan perhatiannya. Setelah berpikir sesaat, Naura lantas mengangguk menyetujui saran Azam.

Azam mengendarai mobilnya dengan bimbang dan tiba di sebuah pantai saat matahari telah bersinar dengan terangnya tepat diatas kepala. Tidak terlalu banyak orang di tempat itu. Hingga tempat itu menjadi pilihan yang tepat untuk memberi keduanya waktu berbicara. Azam menghentikan mobil tepat di bawah pohon besar. Jika matahari bergeser sedikit, maka bayangan pohon akan menimpa mobil, menjadi tempat yang tepat untuk berteduh.

Naura menjulurkan kepala keluar dari jendela mobil, merasakan segarnya angin menerpa kulit wajahnya. Menyenangkan, menenangkan. Beberapa saat ia menikmati hembusan angin diantara panasnya matahari lalu kembali menarik diri menatap Azam yang masih duduk setia di tempatnya. Hanya raga, berbeda dengan pikirannya yang melayang entah kemana.

"Mas!" tegur Naura, menggoyang pelan lengan Azam.

Azam tersentak yang langsung menatap Naura. Bingung, namun tersadar kemudian.

"Ya," jawab Azam menaikkan sepasang alisnya. "Kamu bicara apa?"

Naura merengut. "Tentang perjodohan kita, kamu udah tau nggak?" tanya Naura mengulang kembali pertanyaannya yang sejak tadi Azam abaikan sebab terlalu asyik dengan berbagai macam pikirannya.

"Dijodohkan?" tanya Azam. Naura mengangguk. "Kenapa kamu beranggapan begitu?"

"Ini bukan sekedar beranggapan, Mas." Naura mendesah. "Orang tua kamu, dan orang tuaku udah sepakat untuk menikahkan kita."

Azam menatap ke depan, menikmati deburan ombak yang selalu datang menghampiri tepian pantai. Menerjang, lantas berlalu kemudian. Begitu terus menerus. Azam menyukai tempat itu. Tenang, nyaman, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan, menjadi tempat pertama yang ia kunjungi dalam kekalutan. Suasana masih sama seperti terakhir kali ia berkunjung. Dan yang berbeda saat ini hanyalah, ia sedang tidak sendiri, ada seorang gadis yang kini tenang duduk bersamanya, di sampingnya, menanti jawaban yang akan keluar dari mulutnya.

"Kita nggak dijodohkan, Ra," lirih Azam. Ada kebimbangan saat mengatakannya.

Naura terkejut, alisnya berkerut bingung. Menatap Azam dengan banyak pertanyaan.

"Maksudnya bagaimana, Mas?" tanyanya.

"Enggak ada perjodohan seperti yang kamu katakan," jelas Azam. Naura tersenyum lega. Azam menghela nafas berat lalu menatap Naura kemudian. "Aku yang datang langsung, meminta kamu untuk menjadi istriku pada orang tuamu."

Naura tersentak, matanya membulat dengan mulut terbuka. Pernyataan Azam bukan hanya mengejutkan tapi juga sangat mengecewakan. Harapan Naura saat menghubungi Azam agar ia bisa berbicara dengan pria itu, menjadi teman mencari solusi agar dibatalkannya perjodohan itu. Tapi dibalik semua itu, Azam-lah yang menjadi penyebab semua itu terjadi. Menarik Naura dari kehidupan bebasnya dan berniat membawanya dalam kehidupan yang terikat.

"K-kenapa?" tanya Naura menatap Azam dengan perasaan terluka. "Kenapa kamu lakukan itu, Mas? Kenapa harus aku? Kenapa bukan perempuan lain aja?!" teriak Naura. Dadanya terasa sesak serta tenggorokannya seolah tercekat menahan gumpalan air mata serta kesedihan dihatinya.

"Aku nggak mau, Mas! Aku nggak mau menikah ... apalagi sama kamu!"

Azam tersentak, namun sesaat kemudian raut wajahnya kembali tenang.

Azam merasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpit dadanya hingga membuatnya terasa sulit untuk bernafas. Naura, dengan terus terang gadis itu menolak bahkan tidak berniat memberi kesempatan sedikit pun padanya.

"Apa yang salah denganku, Ra?" tanya Azam bersikap tenang.

Naura diam, menatap Azam kemudian. ""Kamu itu pria yang baik, Mas. Kamu tampan, cerdas, berpendidikan dan juga punya pekerjaan ... banyak perempuan lain yang akan menyukai kamu. Menerima kamu jadi pendamping hidupnya."

"Lalu kamu? Apa semua kelebihan yang kamu katakan itu nggak bisa membuat kamu menyukaiku?" tanya Azam, tenang. "Apa dengan semua kelebihan itu aku nggak bisa menjadikan kamu istriku?"

Naura terdiam. Ia merasa terjebak dengan pernyataanya sendiri. Mengapa ia harus mengatakan hal demikian pada Azam?

"Aku nggak suka kamu, Mas," jujur Naura. "Enggak sedikit pun kelebihanmu mampu menyentuhku. Aku nggak tertarik ... jangankan jadi istri, jadi pacarmu saja aku nggak mau."

Azam terdiam dengan wajah menegang. Perkataan Naura bagai penghinaan baginya. Menyakitinya jauh dari sebuah kata penolakan.

"Apa begitu menjijikkannya kah menjadi pendampingku sampai kamu tega berkata seperti itu?" lirih Azam. "Aku ingin membicarakan hal ini baik-baik, tapi aku nggak tau kalau ternyata sambutannya akan sehebat ini," sindir Azam. "Padahal aku nggak meminta kamu untuk mengatakan ya. Hanya beri aku waktu untuk mengubah keputusanmu ... tapi kata-katamu." Azam terdiam sesaat. "Yah, sepertinya itulah keputusanmu."

Naura terdiam. Perasaan sakit dihatinya semakin terasa saat melihat raut wajah Azam yang tampak terluka. Pria yang mudah tersenyum itu tidak lagi tampak bahagia.

Naura menghela nafas. Ia harus memperbaiki semuanya. Paling tidak, menolak Azam dengan cara baik-baik, yang pastinya tidak akan menyakiti hatinya.

"Bukan begitu, Mas, maksudku..."

"Kita pulang aja, ya, Ra," potong Azam. Memaksa senyum terukir di bibirnya. "Udah sore."

Selesai mengatakan hal demikian, Azam lantas menghidupkan mesin mobilnya lalu membawa kendaraan itu keluar dari area pantai dengan Naura yang hanya bisa menatap dengan perasaan bersalah. Semuanya sudah Naura katakan. Bagaimana pun ia berusaha memperbaikinya. Perkataan itu sudah terlanjur keluar dan menyakiti hati Azam.

____________

Kamis, 22 April 2021, (23.20)

Part ini sebenarnya udah aku tulis sampai selesai dan harusnya aku publish kemarin. Tapi ternyata aku gak sadar kalau ceritanya gak tersimpan. Alhasil aku harus nulis lagi dari awal dan kembali merangkai cerita yang tentunya kembali menguras isi kepalaku 😓

Udah, sekian dan terimakasih 😂😂

PENDAMPING PILIHAN (SELESAI)Where stories live. Discover now