Bau obat yang menyebar di atmosfer membuatku sedikit merasa mual. Kakiku mengikuti ke mana sosok besar ini membawaku. Menaiki lift hingga ke lantai tiga dan membiarkan aku tetap di sampingnya meski semua ketakutanku semakin menggelayut kurang ajar di atas punggung.

"Lihatlah, Elle! Lihat bagaimana pandangan semua orang yang menghakimimu!"

Suara itu lagi! Tuhan, aku ingin egois dan berbalik pulang. Namun, naluriku menolak. Aku pun tetap mengikuti Jarrel seberat apa pun magnet-magnet pada telapak kakiku menahan. Aku gemetar ketakutan.

Di sana, berkumpul beberapa orang di depan sebuah ruang rawat. Mataku mengedar memperhatikan semua orang yang ada di sana. James, Marcus, dan Paman Reynald tengah berkumpul entah untuk menyelenggarakan konferensi macam apa. Tatapan mereka tampak tajam satu sama lain. Semua emosi terasa menusuk, membuat ketakutanku menggelap dan semakin pekat. Terlebih, saat tatapan penghakiman itu terarah padaku. Aku tidak bisa bernapas.

"Bagaimana kondisinya?" Razel bertanya pada Marcus yang berdiri, bersandar pada dinding bercat putih tulang tersebut.

Tatapan Marcus yang terarah padaku membuat nyaliku semakin tak berbentuk. Mungkin jika bisa terlihat, emosi yang satu itu hanya akan berbentuk neuron kecil yang siap lebur bersama non-partikel.

Helaan napas pria berambut hitam yang dikuncir kuda itu tampak pasrah. "Siang tadi dia tidak sadarkan diri setelah membaca surat dari Elle. Dan Zo pingsan."

Hantaman keras pada jantungku membuatku membeku seketika. Aku menatap Marcus yang masih memperhatikanku. Kini tatapannya melunak dengan senyum teduh yang ia salurkan melalui gelombang udara. Rasa-rasanya aneh melihatnya selunak itu.

Sedangkan Paman Reyn masih menatapku. Matanya membengkak dengan guratan keriput yang tampak jelas. Wajahnya tampak garang meski aku tahu dia tidak seburuk penampilannya. Aku cukup dekat dengannya sebelum semua permasalahan ini datang.

Aku semakin menyembunyikan diriku di balik tubuh tegap Jarrel. Namun, Rosela malah menggenggam tangaku dan menariknya agar aku keluar dari persembunyian.

"Ayo ...."

Aku menggeleng pelan. "Seharusnya aku tidak datang."

Rosela tersenyum, menangkupkan tangannya yang lain pada tangan kiriku yang berada di genggamannya. Ia menepuk-nepuk perlahan.

"Dia mengharapkanmu, Elle."

Aku menunduk semakin dalam, menutupi wajahku yang kini memerah menahan tangis. "Aku takut kedatanganku malah membuatnya semakin parah."

"Tidak akan."

"Aku takut, Ro."

"Aku akan masuk bersamamu."

"Jangan ditinggal berdua," pintaku pelan.

Rosela mengangguk, kemudian menuntunku masuk ke dalam ruangan yang cahayanya jauh lebih terang daripada lorong lengang di luar.

Sosok Zo tengah duduk di sofa menyandarkan kepalanya. Ia menoleh saat mendengar suara pintu yang tertutup. Tatapannya langsung tertuju padaku yang kini bersembunyi di balik tubuh tinggi Rosela. Wajah lelaki itu tampak pucat pasi, membuatku seketika menyalahkan diri sendiri.

Pasti gara-gara aku.

Setan-setan yang bergerombol di kepalaku seolah tertawa terbahak-bahak menistakan inangnya.

Ekspektasiku ambyar seketika, saat sosok itu berjalan mendekat dengan agak terhuyung. Bibirnya membentuk simpul tipis seperti garis lengkung ke atas. Persis seperti bulan sabit yang kulihat dari halaman rumah tadi. Ia menatapku lembut sebelum tangan itu terulur untuk mengelus kepalaku.

"Terima kasih sudah datang. Aku akan menunggu di luar," bisiknya sembari masih berusaha berjalan dengan normal. Hingga saat ia membuka pintu, Jarrel sudah berada di sana untuk bersiap memapahnya.

Helaan napasku kembali terembus. Langkahku gamang mendekati sosok yang tengah terbaring dalam lelapnya. Wajahnya pucat, sepucat kulit tanpa aliran darah di musim dingin. Dadanya bergerak teratur dengan selang oksigen yang menancap di kedua lubang hidungnya. Sosok itulah Seraphine.

Kududukkan diriku di kursi di sisi ranjang. Dengan gemetar, jemariku merangkak untuk menyentuh tangan yang tampak kecil itu. Dia lebih kurus daripada terakhir kali kami bertemu.

Omong-omong, kapan terakhir kali kami bertemu?

Aku merunduk, meratapi betapa takdir harus membuat sebuah pertemuan yang baik-baik harus renggang dengan cara seperti ini. Kuelus jemari kurusnya yang bebas dari selang infus. Kuangkat untuk kutumpukan pada tangan kiriku dan menggenggamnya lembut.

"S-sera ...."

Air mataku menetes, seolah-olah memang sengaja mendesak keluar untuk menghukumku yang telah bertingkah kekanakan.

Maafkan aku, maafkan egoku yang membuat aku tampak tak berempati.

Maafkan ambisiku yang membuatku tenggelam dalam ayal tak berdasar.

Maafkan anganku yang selalu berekspektasi tentang mimpi yang sebenarnya aku sendiri pesimis untuk mewujudkannya.

Maafkan aku ... karena itu adalah ... aku.

Selaras RasaWhere stories live. Discover now