Gerakan jari dan tangan yang menggesek senar menajadi semakin cepat seiring dengan emosi yang membuncah. Semakin merebak seperti spora yang menginvasi udara. Air mataku menetes tanpa kusadari, hingga isakan pelan mulai terdengar.

Aku tidak peduli dengan diriku saat ini. Apa pun yang terjadi bisa membuatku meledak seketika. Emosi tanpa kontrol yang pada akhirnya menimbulkan amarah yang begitu besar. Hingga pada akhirnya, pergerakanku terhenti ketika senar biola yang kugesek terlalu cepat dan keras terputus, menimbulkan luka irisan yang cukup dalam pada ujung jari tengahku.

"Aaaaaah!!!"

Aku berteriak. Tidak peduli pada siapa pun yang akan bisa mendengar di luar sana. Tidak peduli pada biola yang baru seminggu berada di pelukanku itu kubanting berkali-kali hingga patah. Aku menangis dengan suara keras yang menyayat.

Memangnya apa yang bisa kulakukan sekarang? Jika sesuatu terjadi pun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku membenci diriku sendiri yang tenggelam dalam kegelapan. Hingga suara gedoran di pintu kamar terdengar nyaring.

"Elle! Elle! Apa kau baik-baik saja? Elle, buka pintunya!"

Tidak. Aku tidak baik-baik saja dan aku tidak ingin membuka pintu. Aku hanya ingin menangis!

"Elle, Mama mohon buka pintunya!" Ia terisak pelan, menyuarakan protesnya atas aksiku yang seenaknya. Aku tahu aku sangat egois karena tidak bisa menerima apa yang telah terjadi, tetapi aku berusaha. Aku tidak bisa melakukan apa pun, ingat?

"Elle! Ini aku, buka pintunya!"

Sahutan suara lain menggema, menanamkan kecamuk dalam hati yang tengah tersakiti. Kenapa dia ada di sini? Bukankah dia seharusnya berada di kantor?

"Elle, tolong! Abang mohon!"

Dengan derai air mata dan tangis yang masih saja tidak mampu kutahan, amukanku perlahan terhenti saat mendengarnya memohon. Dengan terseok aku melangkah, membawa diriku ke arah pintu dan membukanya.

Betapa kejut membekukan tubuh. Mataku memelotot saat menyaksikan apa yang ada di hadapanku. Dia … pria yang mendampingiku sejak kelahiranku, kakak lelakiku sedang terengah-engah dengan paras pucat. Tangan kanannya mencengkeram dada. Saat detik kami bersemuka, ia langsung menghambur memelukku erat. Dapat kurasakan tubuhnya gemetar hebat.

"Abang mohon tenangkan dirimu, Elle. Abang tidak sanggup melihatmu seperti ini."

Kubalas pelukannya, mencengkeram erat punggung kokoh pria tercintaku setelah Papa. Tangisanku semakin keras demi mengingat bahwa sesuatu yang buruk tengah menggelayut. Semuanya, efek yang terjadi pada tubuh Jarrel, saudaraku, ketika emosiku meluap tak terkendali. Bahwa hal seperti ini yang mampu menyakitinya membuatku jadi semakin menyalahkan diri sendiri.

"Maaf …." suaraku parau.

Tangisku menggema, membuat Mama yang berada di belakang Jarrel tak kuasa untuk melanjutkan isaknya yang semakin dalam.

"Aku minta maaf!"

Tangisan dua insan saling bersahutan. Lara semakin mendrama hingga aku tidak sanggup mengolah kata untuk bicara. Rasanya tidak pernah sesakit ini kehilangan seseorang. Atau pernah, tetapi aku lupa?

🌸🌸🌸

Diamku membeku, terpaku pada setiap gerak gelombang di kepala. Isakanku masih terdengar sengau. Gadis di sebelahku tetap bungkam meski tangannya dengan telaten membungkus jemariku yang terluka akibat senar biola.

Kemarahanku membawa petaka. Itulah yang terjadi seiring aku tumbuh dewasa. Meski kali ini tidak seekstrem sebelumnya. Embusan sesak yang kukeluarkan memancing Froza untuk melirik penuh tanya. Aku yakin di kepalanya tengah menumpuk berbagai pemikiran kompleks mengenai kenapa aku berakhir seberantakan ini.

Selaras RasaWhere stories live. Discover now