Berlin

59 22 1
                                    

Kini Liyya sudah ada dirumahnya bersama Juna. Ya dia sepertinya akan menginap di rumah Liyya karena sudah lama dia tidak menginap, berhubung besok hari libur.

Mereka sedang berada di balkon kamar Liyya. Walaupun Liyya sedang bersama Juna, tetapi pikirannya tertuju kepada seseorang.

"Jun, lo inget Bima ga?"

"Ya inget lah. Yakali engga, dia kan juga suka nanyain kabar gue."

"Hah, nanyain kabar Lo gimana? Emang Lo punya nomornya?"

"Punya lah. Emang Lo ngggak punya? Nomornya kan masih sama kaya yang dulu."

"Ah gila lo. Gue WhatsApp dia, telepon dia nggak pernah ada jawaban."

"Ah masa sih. Nih kalo Lo nggak percaya." ucap Juna sambil menunjukan nomor dan chatnya bersama Bima kepada Liyya.

"Berarti gue di blok sama dia. Kenapa ya? Apa dia udah lupain gue?"

"Ya mungkin. Lagian cewek di Jerman cantik-cantik mana mungkin si Bima nggak ke centol."

"Tapi Bima tuh beda. Dia nggak mungkin kaya gitu."

"Nggak mungkin gimana? Buktinya dia ninggalin Lo."

Liyya menghela nafas berat. "Gue rindu Bima, Jun."

"Yaudah lo susul aja ke Jerman."

"Iya juga ya. Tapi apa gue bakal ketemu sama dia?"

"Gini aja deh lo sekarang beres-beres, besok kita berangkat."

"Serius?" tanyanya

"Iya." Liyya pun memeluk Juna. Dia semakin sayang kepada sahabatnya yang satu ini.

****

Liyya dan Juna kini sudah ada di bandara. Menunggu di lobi sampai jam jadwal penerbangan nya.

"Emang lo tau nanti Bima tinggal di mana?" tanya Liyya

"Lo mah remehin gue. Gue semalem chat Bima bahwa gue bakal ke Jerman. Gue bilang jemput nanti di lobi bandara."

"Oh iya juga ya, tumben pinter. Tapi lo bilang sama gue nggak?"

"Nggak lah. Biar susurupise."

"Tu mulut belibet banget dah." Lalu keduanya tertawa

Liyya dan Juna kini sudah berada di pesawat. Mereka berdialog ringan.

"Kalo gue loncat awan bakal nahan gue ngga ya?"

"Kalo loncat, ya loncat aja! Pengen banget di tahan-tahan?"

"Ye lu. Ngegas Mulu. Gue cuman nanya."

"Ya lagian lo sih Li. Lo kan pinter sastra, anak sastra itu memandang dunia dengan cara yang berbeda. Apapun yang diketahui pasti mengandung makna tersendiri."

"Ya kan gue masuk kelas IPA, udah lupa gue yang begituan."

"Apa lagi itu lo masuk IPA. Awan berada diantara lemah dan tegar Li, Sama hujan aja dia kalah. Tapi dia juga tegar, kuat melihat beban-beban manusia yang berada di bawahnya."

"Idih so banget Lo!"

"Yaelah gue itu tau semua hal. Lo mau tau makna tai itu apa?"

"Wah boleh, apaan tuc?"

"Tai itu istimewa Li. Kalo nggak ada tai mungkin manusia udah mati karena perutnya ngga bisa menampung makanan yang di tampung bertahun-tahun. Dan yang istimewanya tai itu mudah untuk di lakukan, tidak perlu banyak tenaga buat menerbitkannya. Coba Lo bayangin, gimana kalo tai itu kaya uang? Kita butuh kerja keras untuk mendapatkannya. Apalagi sekarang nih tai bisa jadi penambah penghasilan ekonomi." jelas Juna panjang lebar

"Iya juga ye bener. Tapi gila Lo mana mungkin bisa jadi penghasil ekonomi?"

"Ah elah, lomah kudet. Noh di China ada berita tai di bikin kripik. Bisa-bisa nanti jadi skincare. Lo mau skincare an pake tai? banyak vitamin nya loh."

"Ogah bos, bisa kek alien muka gue. Iwwh jijik Lo tai. Udah lah kita ini ngomongin tai aja terus."

Juna tertawa. Sedangkan Liyya mengabaikannya dan memilih melihat pemandangan negri di atas awan. Sayangnya awan kali ini suasana gelap, langit terlihat abu abu.

"Liat apaan sih, warna langit abu-abu aje lo pantengin. Nggak ada indah-indahnya." ucap Juna

"Abu-abu itu bukan warna. Yang abu-abu tuh dia."

"Manusia silver dong."

"Serah lu ah junjun Junaedi."

"Gila lo nama gue di lecehin."

Di sela mereka berbicara, tiba-tiba terdengar suara. "Selamat datang di Bandara Otto Lilienthal, Reinickendorf, Berlin tegel, Jerman. Terima kasih sudah memilih perjalanan bersama kami. Sampai jumpa di penerbangan berikutnya."

Kok cepat?

"Gila, cepet amat gak kerasa." ucap Liyya

"Ya iya lah. Gue yang bantu pake tenaga dalam."

"Serah lu ah."

Liyya dan Juna turun dari pesawat. Mereka berdiri di lobi bandara. Satu hal yang bisa mendeskripsikan Ramai. Keramaian di bandara adalah ramai paling menyebalkan. Orang-orang yang terburu-buru, tidak mau bersabar dan saling takbar-menabrak koper.

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang laki-laki tinggi menggunakan kaus putih dengan luaran kemeja biru gelap dan jeans. Lelaki itu berada di seberangnya, menatap kedua mata Liyya tanpa berkedip, tanpa sedikit pun membuang pandangannya.

Liyya membalas tatapan laki-laki itu, menjatuhkan ransel dan kopernya di lantai, tersenyum lebar lalu berlari cepat kearah lelaki itu.

Begitu juga dengan lelaki itu, ia ikut tersenyum, lebar membuka tangannya seakan siap untuk memeluk Liyya.

"Liyya..."

"Bima!!"

GAAREEZWhere stories live. Discover now