25

9 3 0
                                    

"Lo cerita ke Juki sama Jeno?" tanya Zea kemarin saat mereka di jalan pulang.

"Enggak."

"Kenapa?"

"Gue percaya kalau mereka pasti jaga rahasia gue. Tapi lo liat sendiri kan, gue cerita sampai nangis-nangis gitu--"

"Lo enggak sanggup buat cerita sama mereka?" tebak Zea yang dijawab Alarikh dengan satu anggukan. "Enggak masalah kalau lo enggak sanggup. Kalau mereka maksa lo buat cerita, bilang ke gue aja, nanti gue laporin Vanka."

Alarikh tertawa mendengarnya. Dia pikir Zea sendiri yang akan menanganinya, ternyata laporan dulu ke Vanka. "Memang sih, lawan dua anak itu paling cocok ya Jopan." Zea tersenyum karena akhirnya Alarikh bisa tertawa lagi.

"Tapi, lo jangan lupa ya Rik, kalau mereka temen dekat lo. Gue tau lo enggak sanggup cerita keseluruhannya, tapi mereka juga berhak tau. Enggak harus sekarang, mungkin nanti aja kalau lo udah siap. Dan lo harus tau, hal sekecil berbagi kayak gitu, bisa membuat mereka ngerasa berharga jadi teman lo."

***

Zea melihat ketiga cowok itu sedang berpeluk-pelukan di bawah pohon yang cukup sepi dan jauh dari lapangan. Bahkan Jeno sampai menyeka matanya, membuat Zea yakin kalau Alarikh baru saja memberitahu mereka apa yang terjadi. Tepat ketika pandangan mereka saling bertumbuk, Alarikh tersenyum, nampak jelas walau jarak mereka terpaut jauh. Cewek itu ikut tersenyum, namun langsung beringsut ke lapangan ketika ditarik Wanda.

Sekarang, sudah masuk jam olahraga. Tentu baik Zea mau pun Alarikh tidak ada yang melupakan kesepakatan mereka kemarin. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

***

"Gue iri sama lo." Entah bagaimana ceritanya, Juki tiba-tiba saja sudah berlari di samping Zea. Ya, seperti biasanya, sebelum memulai olahraga, mereka disuruh berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali. Pemanasan katanya, sampai kelewat panas iya.

Zea tidak menanggapi Juki, melainkan terus berlari walau dalam tempo pelan. Tentu saja Juki dengan mudah menyelaraskan langkah mereka. "Makasih ya, lo udah yakinin Arik buat cerita ke gue sama Jeno. Maaf ngedebat lo hari itu." Juki kembali berkicau, namun lagi-lagi Zea masih enggan membuka mulutnya untuk bicara. Sekarang, cewek itu hanya menganggukkan kepala.

"Ze, lo banyak ngomong ke Arik sama temen-temen lo doang, ya?"

"Enggak juga."

"Lo suka Arik?" tanya Juki berhasil membuat langkah Zea terhenti. Cewek itu memutar badannya hingga berhadapan dengan Juki.

"Kata siapa?"

"Dibanding jawab enggak, lo milih kata siapa?" Zea terdiam dibuatnya. Memangnya, apa yang salah? "Lo suka, sama Arik?"

"Enggak." Lalu Zea kembali melanjutkan langkahnya karena mendapat peringatan dari sang guru olahraga di ujung sana.

"Ya udah, enggak apa-apa kalau lo enggak suka sama temen gue itu. Tapi tetap jadi orang kepercayaan dia, ya? Jangan ngejauh dari dia, gue harap lo bisa jadi teman baiknya Arik juga." Cowok itu masih terus mengatakan kalimat-kalimat yang ada di dalam kepalanya. Terkadang, Zea juga ingin menjadi orang seperti Juki, Jeno, Alarikh, dan Vanka yang bebas mengatakan apa pun yang mereka mau.

Sayup-sayup terdengar suara Alarikh dan Jeno di belakang. Dari ekor matanya, Zea dapat melihat Juki yang menoleh ke belakang. Setelahnya, cowok itu berlari mendahului Zea, sembari mengucapkan kalimat yang langsung bisa membuat kaki Zea kehilangan tenaga untuk terus berlari.

Never Started (Complete)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें