24

12 5 0
                                    

Beruntung karena sate datang di waktu yang tepat. Buru-buru Zea memakan miliknya tanpa menanggapi apa yang baru saja Alarikh katakan. Yang tadinya duduk di bangku, kedua remaja itu jadi duduk lesehan beralas rumput dengan bangku sebagai meja. "Lo sering ke sini?" tanya Zea karena merasa mereka masih dalam atmosfer canggung sejak tadi.

Kepala cowok itu mengangguk sekali kemudian bertanya, "Satenya enak?"

"Enak! Pantas aja rame."

Setelahnya mereka saling mendiamkan. Terhanyut dalam pikiran dan makanan masing-masing. Kalau Zea sih, lebih fokus ke makanannya saat ini. Dia sudah cukup lama tidak makan sate, dan sekalinya makan malah dapat seenak ini. Gratis pula! Haram hukumnya tidak dinikmati.

Makanan mereka habis, tersisa tusukan sate dan wadah sekali pakainya lagi. Dirasa hari juga semakin petang, Alarikh hendak mengucapkan kepada Zea tujuan utamanya mengajak cewek itu ke sini.

"Makasih ya Ze," ucap Alarikh membuat Zea menoleh kebingungan.

"Lo mau nyuruh gue yang bayar?" tanya Zea dengan wajah kewalahan. Haduh, dompetnya saja tertinggal di dalam tasnya. Zea mana bawa tas ke sini, dia tinggal saja tadi di mobil Alarikh. Belum lagi isi dompet Zea tinggal sepuluh ribu, selebihnya kosong.

Kekehan cowok itu kembali keluar akibat tingkah Zea. Mungkin bagi beberapa orang, Zea tidak melakukan hal apa pun yang lucu. Tapi bagi Alarikh, Zea diam saja sudah lucu. Hadeh, susah kalau sudah jadi bucin. "Udah dibayar dari tadi kok itu."

Akhirnya Zea bisa bernapas lega lagi dan membiarkan makanannya kembali turun ke perut. "Terus, makasih buat apa?"

Cowok itu tersenyum, lalu menunduk, menatap jemarinya yang baik-baik saja. "Bu Ghina kasih tau gue," cicitnya pelan, untung saja pendengaran Zea masih sangat sangat baik.

Tapi, bukan ini yang Zea inginkan. Dia memang memberi saran kepada Bu Ghina semata-mata untuk kepentingan Alarikg dan sekolahnya, dia sama sekali tidak berharap cowok ini tahu. Yang ada nanti Zea semakin sulit terlepas darinya. "Soal apa?" Lebih baik berpura-pura tidak tahu saja.

Alih-alih menjawab pertanyaan Zea, Alarikh malah menatapnya dalam. Membuat Zea memerhatikan manik cowok itu. Terbesit sesuatu yang berat di sana, entahlah. Zea tidak tahu itu apa. Tapi yang jelas, situasi yang teramat sulit sedang dihadapi cowok itu. "Gue yakin lo paham. Dan makasih, lo memang bener-bener cewek yang baik." Zea masih menatap Alarikh yang kini tersenyum, pun dengan cowok itu. Semakin dia mengenal Zea, semakin dia tidak ingin menyakiti cewek ini. Dari awal pun, keinginannya untuk bisa dekat dengan Zea, bukannya obsesi untuk memiliki. Karena dia takut, kalau mereka terikat hubungan yang disebut 'Pacar', nanti akan terpisahkan. Dia masih ingin terus dekat dengan Zea. Apalagi setelag berhasil mendekati cewek itu dan setelah apa yang cewek itu lakukan untuknya, Alarikh semakin jatuh hati. Semakin dalam, semakin tidak ingin berpisah.

"Gue senang Ze, karena ada satu orang yang benar-benar ngertiin perasaan gue, ngertiin apa yang gue butuhin. Dan gue lebih senang lagi, karena orang itu lo."

"Dan gue lebih senang lagi karena orang itu lo."

Kalimat itu berhasil membuat Zea memalingkan pandangannya. Hatinya sedang tidak stabil saat ini. Cukup lama suasana hening, hingga akhirnya Zea kembali menatap cowok itu. Kini dengan sebuah senyuman, senyuman yang tanpa kata pun diyakini Alarikh bisa membuatnya lebih kuat. "Lo udah melakukan yang terbaik, bertahan di situasi yang berat itu, benar-benar menyulitkan, enggak apa-apa kok ngerasa cape dan lelah."

Lihatlah. Padahal Alarikh belum memberitahu apa yang terjadi, tapi cewek ini sudah menyemangatinya. Alarikh sangat senang, karena alih-alih bertanya mengenai masalahnya, Zea justru menyemangatinya sekaligus menyampaikan kalimat yang selalu ia keluhkan, 'Lelah'.

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang