15

15 5 0
                                    

"K-kenapa?" Sial. Selain sakit jantung, Zea juga punya masalah dalam suaranya?

Cowok itu terkekeh, habis sudah. Zea bisa-bisa gagal move on yang sebenarnya kalau begini. "Enggak bilang selamat pagi juga buat gue?"

Setelah merasa lebih baik dengan kondisi jantungnya, Zea mengangkat sebelah alisnya sembari berkata, "Mau apa?"

Terkesan jutek? Percayalah, Zea begitu bukan hanya ke Alarikh. Memang seperti itu ke semua cowok, kecuali kalau mereka sudah cukup dekat, barulah Zea bisa lebih ramah.

'Ya Allah jutek banget, tapi gapapa tetep sayang,' ujar cowok itu dalam hati sembari senyum-senyum tidak jelas. Juki dan Jeno yang mau masuk kelas memilih putar balik dan menonton dari balik tiang. "Selama gue enggak masuk, ada tugas?" tanya Alarikh baik-baik.

Kalau Alarikh sebaik dan selembut ini padanya, bagaimana bisa Zea jutek lagi?! Bagaimana bisa Zea pura-pura tidak menyukainya?! Tolong, Zea saat ini mau move on, bukan mau didekatkan lagi dengan Alarikh.

"Oh, ada tugas matematika sama biologi. Yang lainnya juga ada, tapi udah dikumpul. Lo enggak dapat nilai."

Astaga, senangnya. Terakhir kali mereka mengobrol panjang adalah saat hujan-hujan itu. Dan sekarang mendengar Zea mengucapkan kalimat cukup panjang untuknya, tentu Alarikh kelewat senang. Kalau tidak jaga harga diri, sudah salto dia di depan Zea.

"Boleh liat punya lo?" pintanya dengan senyum penuh harap. Andai saja Alarikh tahu, Zea sedang menahan lututnya untuk tidak bergetar di depan cowok itu. Niatnya yang sudah terencana sejak satu minggu yang lalu, hancur berantakan. Salah Alarikh kenapa manis lembut bagai permen kapas begini?! Zea itu juga cewek, tau.

"Oke sebentar." Lantas Zea menuju tempat duduknya, membuka tas, dan mengeluarkan dua buah buku yang berisi tugasnya. Setelah diserahkan, Alarikh melihat tugas tersebut. Susah ternyata, apalagi yang matematika. Kalau biologi tugasnya menggambar, ya gampang lah bisa diatur. Kalau matematika, bisa dong jadi bahan modus.

"Ini matematika seriusan empat lembar ini, Ze?" tanyanya sungguh-sungguh. Iya, udah banyak, panjang, angka semua pula!

"Iya, tiga puluh soal. Kenapa?"

Alarikh tentu ingat dengan jelas kalau Zea termasuk golongan cewek pintar. Makanya, dia mau modus. Hehe.

"Eeee ... Ze, lo kan tau ya gue sering absen pelajaran matematika, dan ini gue yang paham cuma nomor satu."

"Terus?"

"Lo ... bisa enggak jelasin sama gue? Nanti gue salin, tapi kalau ada yang enggak ngerti gue tanya lo, gitu. Bisa enggak?"

Zea berpikir keras. Kalau diberi kesempatan lagi, yang akan hilang adalah kesempatan Zea untuk move on. Tapi jujur, kasihan juga Alarikh karena dia memang sangat jarang masuk jam pelajaran matematika. Zea mungkin sering pelit jawaban ulangan, tapi dia tidak pelit ilmu. "Tapi gue enggak pinter ngejelasin, kalau lo enggak paham juga gimana?" tanyanya setelah bergulat cukup lama dengan hatinya.

'Mau enggak nyambung, mau nyambung, enggak apa-apa Ze, asal kamu yang ajarin.'

"Enggak apa-apa kok, dicoba aja dulu."

Duh, coba Alarikh menolak. Zea akan lebih senang tentunya. Kalau begini, tidak ada lagi jalan baginya untuk keluar. Zea harus menuruti permintaan cowok itu. Menghembuskan napas pelan namun terasa sangat berat yang dilakukan Zea saat ini.

Hati, yang kuat ya. Jangan baper. Ingat, Zea maunya move on. Jangan lemah dong!

"Ya udah, duduk."

"Sebentar."

Zea duduk di tempatnya, sedangkan Alarikh mengambil buku matematikanya lalu duduk di tempat Khansa, di samping Zea tentunya.

"Pepet terus Jen!" Juki berkata tepat ketika melewati Zea dan Alarikh. Modusnya sih, pura-pura sedang main game dengan Jeno, padahal jelas-jelas tadi Zea lihat ponsel kedua cowok itu hanya menampilkan layar kunci.

"Santai bang, bensinnya masih penuh kok."

"Kita bukannya lagi main minecraft Jen? Kok lo pakai bensin?" tanya Juki dengan gamblangnya ketika tiba di tempat duduk. Perhatian Zea masih belum teralihkan dari mereka. Ya daripada memerhatikan Alarikh, kan bisa jantungan. Lebih baik memerhatikan dua cowok itu saja, walaupun sangat sangat tidak jelas.

"Lah pinter kalau main minecraft apa yang dipepet?!" sulut Jeno tidak terima.

"Yang dipepet? Ya Z--" Juki menggantungkan kalimatnya ketika tatapannya dan Zea bertumbuk. Cewek itu menatapnya datar, tapi pasti dia mendengarnya. Huh, ini salah Jeno yang tidak bisa diajak kerja sama. "Zzz ... Zuma!"

"Jadi lo berdua main apa? Zuma? Minecraft? Atau Pou?" ujar Alarikh, namun tangannya masih terus menyalin tugas. Refleks, Zea mengalihkan pandangan ke cowok di sampingnya. "Jangan berisik masih pagi," lanjut Alarikh dan kemudian Zea mengalihkan lagi perhatiannya. Kali ini, perhatian cewek itu jatuh kepada Khansa yang baru saja tiba.

Wajah Khansa kentara tidak suka melihat Zea dan Alarikh duduk berdua. Kan, Alarikh, sih!

"Rik minggir deh itu kursi gue!" usir Khansa sembari melirik Zea sebentar.

"Duduk tempat gue dulu gih, gue masih nyalin tugas," jawab Alarikh tanpa menatap Khansa sedikit pun.

"Nyalin tempat lo kan bisa, ngapain harus di kursi gue?"

"Ze, kok ini bisa dikali?" tanya cowok itu mengabaikan Khansa. Yang merasa tidak enak jelas saja Zea. Kalau posisinya Khansa itu tidak memiliki rasa apa-apa kepada Alarikh, tentu akan berbeda.

"Ze?" panggil Alarikh lagi, mengalihkan atensi cewek bernama Zea itu agar fokus padanya.

"Tuh kan, lo sih Sa ganggu aja. Zea enggak fokus kan ngajarin gue nya, udah sana minggir dulu," usir Alarikh. Sebenarnya kalimat itu biasa saja, tapi mengingat yang dituju itu Khansa yang bernotabene menyimpan perasaan terhadap Alarikh, pasti sangat menyakitkan. Diusir sama doi, siapa yang enggak sakit hati?!

"Yeee dasar enggak tau diri. Tempat duduk siapa, yang ngusir-ngusir siapa!" gerutu Khansa sembari berlalu pergi. Alih-alih duduk di kursi Alarikh, ia memilih mengungsi di tempat Vanka dan Wanda, tepat di belakang Zea dan Alarikh.

"Ya udah, jadi ini tadi gimana Ze?" tanya Alarikh lagi. Sebenarnya tiap kali Alarikh bicara pada Zea itu, nada suaranya berbeda. Seperti lebih lembut dan penuh hati-hati.

Argh, tidak tidak! Zea, ingat kamu move on!

"Oh, ini tuh rumusnya berkaitan sama nomor tiga, coba deh sini pulpen sama kertas biar gue jelasin cara ngerjainnya," ucap Zea berusaha konsisten. Padahal dia sedang dilanda dilema besar-besaran. Antara merasa senang karena dekat dengan Alarikh, merasa kesal karena nyatanya Alarikh masih menempel padanya padahal ia mau move on, dan merasa tidak enak pada Khansa di belakang sana.

Alarikh yang dijelaskan, merasa nyambung, ya walaupun di beberapa poin sedikit lambat dengan meminta Zea mengulang berkali-kali. Tapi dia merasa kagum, meski begitu Zea tetap menjelaskan lagi dan lagi dengan sabarnya sampai Alarikh paham. Ah, jadi makin sayang!

Semakin hari, Alarikh semakin jatuh cinta dibuat Zea. Cewek itu cantik, pintar, baik, dan ramah sepertinya kalau sudah dekat, kalau baru kenal sih iya, jutek. Jika terus begini, Alarikh malah semakin takut mengungkapkan perasaan kepada Zea. Takut Zea menghindar dan menjauhinya. Bisa menatap dan dekat seperti ini terus dengan Zea jelas jauh lebih baik.

Tepat dengan bel masuk yang berbunyi, Alarikh bisa menyelesaikan sepuluh soal, tersisa dua puluh lagi. "Ya udah gue pinjam dulu ya bukunya, nanti kalau ada yang enggak paham gue tanya lo lagi, boleh kan?" tanya Alarikh yang diiyakan saja oleh Zea. Jauh di dalam hati ia merasa lega akhirnya bel masuk berbunyi juga.

"ARIK LO PUTUS SAMA NESYA, YA?!"

(((-)))

Never Started (Complete)Where stories live. Discover now