23

14 3 0
                                    

"Ze ayo balik!" Khansa kini berdiri di samping meja Zea, menunggu temannya itu selesai mengemasi buku dan alat tulis.

"Zeanya gue pinjem ya, mau pulang bareng. Hari ini aja," sergah Alarikh dengan senyuman manis. Manis-manis menghanyutkan yang membuat Khansa mau tidak mau mengiyakan saja. Alarikh pakai pelet apa, sih?!

Sepergian Khansa, Zea menatap Alarikh datar. Padahal tadi siang dia sudah menolak dengan alibi akan pulang Bersama Khansa. Tapi lihat apa yang cowok ini lakukan! Khansa juga, kenapa begitu mudah mengizinkan? Katanya dia suka Alarikh.

"Tuh, udah diizinin sama Khansanya, berarti jadi kan pulang sama gue?" seringai cowok itu sembari mengekori Zea yang mulai keluar kelas.

"Mau ngapain sih memangnya?"

"Mau pulang bareng. Kok masih ditanya?" Jawaban Alarikh benar-benar menyebalkan. Tidak mungkin dia mendadak mau pulang bersama Zea tanpa suatu alasan. Kaki Zea berhenti melangkah, membuat cowok yang mengikutinya itu ikut berhenti juga. Zea menghadap ke samping, berdiri bagai patung sampai Alarikh mengatakan alasannya. Biar saja mereka pulang kesorean.

Melihat tingkah cewek yang kini sedang menatapnya itu, Alarikh terkekeh geli. Zea benar-benar lucu, jadi tambah sayang.

"Iya iya, ada yang mau gue omongin sama lo."

"Soal?" "Alarikh enggak mau nembak gue, kan?"

Cowok itu tersenyum girang, lantas menyondongkan tubuhnya ke arah Zea untuk membisikkan sesuatu. Tapi yang Alarikh lakukan saat ini sangat sangat tidak baik untuk jantung dan peredaran darah Zea. Mendadak ada hajatan di organ dalamnya.

"Ikut dulu, biar tau," bisik cowok itu kemudian memundurkan kembali badannya. "Ayo!" ajaknya yang sudah tidak lagi mendapat penolakan dari Zea. Bagaimana mau menolak, kalau di dalam sedang ada pergulatan batin sangat hebat. Antara otak dan hati yang tidak pernah bisa sejalan.

***

Akhirnya Zea dapat bernapas lega kala mobil berhenti. Namun, tak ayal keningnya berkerut bingung jua. Alarikh bukannya mengantar ke rumah, melainkan berhenti di depan taman kanak-kanak. Apa maksudnya? Mau menurunkan Zea di tengah jalan, gitu?

"Kok berhenti di sini?" tanya Zea kebingungan. Tidak mungkin jika Alarikh tidak tahu rumahnya, karena Zea baru saja memberitahunya beberapa menit yang lalu.

"Turun dulu deh."

Zea bergeming di tempatnya, tanpa niat untuk turun sedikit pun. Bahkan melepas sabuk pengaman dia enggan. Enak saja. Siapa yang bisa menjamin Alarikh tidak akan macam-macam?!

"Enggak, gue mau pulang," tolak Zea menatap lurus ke depan.

"Kan gue udah bilang, ada yang mau gue omongin," ucap Alarikh lembut. Padahal harusnya dia kesal karena tanggapan Zea barusan.

"Mau ngapain sih ke tk? Lo main perosotan?"

Alarikh langsung saja melepaskan tawa renyahnya. Apakah Zea benar-benar berpikir mereka akan ke taman kanak-kanak itu? Yang benar saja. Untuk apa? "Bukan ke tk juga kali Ze."

"Terus?"

Alarikh menoleh ke seberang, menunjuk sebuah taman bermain dengan dagunya. Di sana cukup ramai, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Wahana permainannya juga cukup memadai untuk menyenangkan hati anak-anak. Bukan hanya anak kecil saja yang bisa bermain, tapi juga orang dewasa. Contohnya ada ayunan yang cukup kuat untuk menahan bobot orang dewasa.

"Mau enggak?" tawar Alarikh sekali lagi, membuat Zea melepaskan sabuk pengamannya. Ya kalau ke sana tidak masalah. Melihat Zea yang mau melepaskan sabuk pengamannya, Alarikh tersenyum senang dan lebih dulu turun dari mobil.

Never Started (Complete)Where stories live. Discover now