Perbandingan Hidup

570 149 3
                                    

Waktu pasti berjalan, selama mesin waktu masih berputar. Tidak dapat terhenti, selama mentari masih terbit di pagi hari. Jangankan untuk bernafas lega, untuk berkedip saja sangat sulit rasanya apabila orang terkasih terkulai lemah tak berdaya di depan mata.

Dimensi waktu masih berputar, namun harapan seolah sudah terhenti. Begitulah Ricky menjalani hari-hari sepi tanpa ibunya, bekerja paruh waktu selepas pulang sekolah untuk biaya rumah sakit yang tagihannya semakin membengkak.

Music Party tinggal dua hari lagi, namun dia sama sekali tidak sempat untuk berlatih. Selepas pulang kerja dia kelelahan, lalu jalan paling tenang hanyalah tertidur di samping ibunya yang tak juga membuka mata.

Di pagi hari sekali Ricky berangkat menuju sekolah, dia sengaja meminjam sepeda milik tetangganya agar tidak perlu membayar ongkos angkutan umum. Dua temannya tentu saja hanya bisa merasa iba, sebisa mungkin mereka juga saling membagi beban walaupun yang terberat hanyalah apa yang ada di pundak Ricky.

Ricky lebih memilih diam jika tidak diajak bicara, kesedihan seolah sudah merenggut sifat ceria yang biasa dia tunjukan pada semesta. Setiap hari hanya menjadi abu-abu, mungkin muncul secercah warna apabila berkumpul dengan dua teman dekatnya. Dia juga merasa bersalah, untuk kesekian kalinya dia memakai uang Fenly untuk melengkapi administrasi agar ibunya tetap dapat dirawat di rumah sakit. Setiap kali bertemu hanya ada rasa bersalah saja di benaknya, walaupun Fenly dengan jujur mengatakan senang dapat membantunya.

"Rick, udah sampai mana latihan? Besok siap gladi?"
Fajri menghampiri Ricky yang duduk di sebelah Fenly, keduanya menoleh saat Fajri tiba.

Ricky menghela nafas, "Gue gak yakin Ji, lo tahu kan kondisi ibu gue."

Wajah Fajri berubah muram.
"Tapi lo udah siap kan?" Tanya Fajri tidak yakin.

Ricky mengangkat bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja.

"Serius, Rick."
Ucap Fajri merasa tidak tenang, karena music party dilaksanakan dua hari lagi.

"Ricky pasti udah siap, tapi sekarang dia mungkin kecapean."
Ucap Fenly dengan santai, seraya melirik Ricky yang memejamkan matanya.

Fajri menoleh ke arah Fenly, "Bisa tanggung jawab?" Tanya Fajri.

"Iya."

Fajri mengangguk, lantas berlalu meninggalkan mereka berdua walaupun dengan hati yang cemas karena jawaban Ricky tidak meyakinkan.

"Lo siap kan, Rick?" Tanya Fenly pelan.

Ricky mengangkat wajahnya, "Gue gak siap."

"Serius lah."

"Gue serius, Fen. Kapan coba gue ada waktu buat latihan?"

"Jadi lo gak siap?"

"Iya."

"Music Party kan bentar lagi, Rick. Masa lo mundur gitu aja, udah mepet loh waktunya."

Kesal mendengarkan celotehan Fenly, Ricky berdiri dan berjalan keluar dari kelas.

"Ricky!"
Fenly langsung berjalan mengejar Ricky.

*****

Suasana aula semakin lenggang, satu persatu anggota ekstrakurikuler kesenian keluar untuk membeli cemilan di sela-sela jam latihan.

"Mau ke kantin gak?"
Dengan ragu Valenia bertanya pada beberapa kakak kelas yang tengah meluruskan tubuhnya di lantai.

"Boleh, tapi males."
Timpal Friska.

"Ayo sama gue."
Ucap Salsha, orang yang membuat Valenia canggung selama latihan.

"Nitip dong," Friska menyodorkan selembar uang dua puluh ribu.

TERBUNUH SEPI (END)  || UN1TYWhere stories live. Discover now