27. Ujung koridor

Start from the beginning
                                    

Setelahnya, Pelangi merasa tak nyaman begitu Rayden memandangnya dengan tatapan… tajam?

“Ya udah, iya.” Gadis itu menyerah. “Tapi satu bait doang.”

Si Dewa Guntur beralih menatap makam di hadapan mereka. “Stand by kuping, Pa. Kalo gambreng, kita tutup kuping.” Dia mengangguk-angguk. Seolah menyakinkan jika menistakan Pelangi sekali-kali tidaklah masalah, demi keamanan telinganya.

Pelangi mencibir sebelum menarik nafas dalam-dalam.

“Near, far, wher ever you are…”

Reflek, Rayden menoleh ke samping dengan tatapan kaget begitu mendengar suara Pelangi yang terkesan tiba-tiba. Dia memandang gadis itu yang tampak menghayati, matanya bahkan sampai terpejam.

Wajah gadis itu tampak lebih indah dari biasanya dengan cahaya senja yang menerpa permukaannya. Rayden sampai dibuat terpukau dengan titik fokus tatapannya sekarang, juga telinganya yang merasa dimanjakan oleh suara Pelangi yang mengalun merdu, seolah sengaja membuatnya candu.

“I believe that the heart does go on
Once more, you open the door
And you're here in my herat
And my heart will on and on…”

Gadis itu menoleh ke samping. “Udah,” lapornya kemudian.

Rayden masih diam saja, tidak memberi respon apapun, membuat Pelangi menggoyangkan lengan cowok itu sembari memanggil namanya berulang-ulang. “Rayden!”

Rayden masih diam kala secara tiba-tiba Pelangi bersin di wajah cowok itu.

“Aduh.” Gadis itu agak panik, ia segera mengelap wajah Rayden dengan tangannya cepat-cepat. Soalnya Rayden itu kayak motor, kalo nggak ngegas nggak akan jalan. Belum lagi, dia juga suka ngomel. “Nyantuy, Den. Nggak usah ngegas, ini wangi kok kayak parfum.”

Pelangi terperangah saat Rayden menyingkirkan tangannya dari wajah cowok itu. “Keren,” pujinya kemudian.

“Hah?” Pelangi kebingungan. Dia tidak menyangka jika mendapat sembur air liurnya adalah sesuatu yang layak dibilang keren. Keren dari mananya?

“Ternyata nggak gambreng…”

Barulah Pelangi mengerti kemana arah pembicaraan cowok itu. Dia hanya tersenyum tipis.

“Besok gue anter ke tempat kelas musik!”

“Hah?”

“Malah hah heh hoh! Katanya Lo pengen ikut kelas musik, kan?” tanya Rayden dengan sebelah alis terangkat. “Atau mau ikut kelas barongan aja?”

“Bego!” gumam Pelangi sembari memutar bola matanya. “Ya… emang pengin sih, tapi kayaknya enggak deh.”

“Kenapa?”

Pelangi menggeleng. “Nggak pa-pa…” Ia perlu— setidaknya membuat Ayah bangga dengan meningkatkan nilainya. Pelangi memang ingin, tapi sepertinya mengikuti kelas musik bukanlah ide yang tepat saat ini.

“Makasih, ya.” Dia merasa harus mengatakan itu. Karena sadar tidak sadar, Rayden terasa seperti selalu mendukungnya. Mau ia melangkah ke arah manapun itu.

“Gue nggak nyumbangin ginjal ke elo, kenapa bilang makasih?”

Gadis itu menggeleng lagi. “Kalo aja Ayah itu kayak Lo… bukan malah bilang kalo gue nggak bisa apa-apa, masa depannya nggak jelas.”

“Nggak usah mewek, Lo!” ucap Rayden penuh peringatan kala melihat wajah Pelangi yang mulai tidak beres. “Males gue.”

“Nggak, lah. Gue strong!”

“Strong apanya.” Cowok itu menyingkirkan tangan Pelangi dari lengannya, lantas menyenggolkan bahu keduanya. Pelangi nyaris nyungsruk lagi ke arah samping kalau saja Rayden tidak segera menangkap tubuhnya sambil terkekeh. “Lembek gini.”

CERAUNOPHILE [Completed]Where stories live. Discover now