34. Kehilangan lagi

Mulai dari awal
                                    

Jeno terdiam lalu tertawa, "Sialan, jadi lo yang menangin taruhan kita dulu ya? Padahal gue cuma bercanda.."

Satya yang melihat Jeno hanya bisa terdiam dan tidak tahu ingin melakukan apa. Adiknya pasti sangat tertekan sekarang, setelah menghadapi kepergian Jaevir kini ia harus kembali diperhadapkan oleh kepergian sahabat yang selalu menemaninya sejak kecil.

"Nean udah dikubur?" Satya mengangguk pelan.

Anak itu kembali tertawa namun kali ini diiringi air mata yang jatuh begitu saja, "Bahkan lo gak ngasih gue kesempatan buat lihat lo untuk yang terakhir kali ya, dasar Nean.."

Pemuda itu mendekati Jeno, menghapus air mata adiknya lalu memeluk tubuh kecil yang masih penuh luka itu. Tangannya tergerak untuk mengelus lembut surai cokelat milik Jeno dan sebisa mungkin Satya tidak menunjukkan kesedihan di depan Jeno karena ia harus menjadi sandaran bagi adiknya itu.

"Bang, beberapa hari yang lalu Bang Jaevir pergi, sekarang Nean yang pergi. Terus nanti siapa lagi yang bakalan pergi? Kalau Jeno yang pergi gapapa, tapi jangan orang-orang yang Jeno sayang.."

"Kamu ngomong apa sih? Selama Abang masih hidup, kamu juga harus hidup! Abang udah seneng sejak pertama denger kalau ternyata kamu masih hidup, kamu mau buat Abang nyesel buat kesekian kalinya?"

"Abang jangan egois..J-Jeno juga capek.."

Satya membulatkan matanya saat ia merasa bahwa tubuh Jeno bergetar dan suara isak tangis itu terdengar jelas di telinga. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya barusan benar-benar membuat Jeno menangis hingga seperti ini. Tapi paling tidak dengan seperti ini, Jeno bisa meluapkan semua kesedihan nya daripada harus menahan semuanya sendirian.

"Abang bukan egois, Abang cuma mau kamu bahagia. Kita buka lembaran baru ya?"

Remaja itu berhenti menangis, ia mendorong pelan tubuh Satya dan melepas paksa pelukan itu. Ia menatap Satya dengan wajah datar nya yang terlihat seperti orang bodoh yang akan kembali mengemis belas kasihan.

"Lembaran baru? Sejak Jeno tinggal sama kalian, hidup Jeno gak beda jauh sama waktu Jeno tinggal sama Ayah. Tapi hebatnya? Sejak tinggal sama kalian, satu persatu orang yang Jeno sayangi pergi gitu aja. Dan mereka pergi selamanya, bukan sebentar. Jadi siapa lagi yang harus Jeno percaya sekarang?"

"Jen.."

"Keluar Bang, Jeno mau sendiri."

"Jeno dengerin Abang dulu-"

"KELUAR!! J-Jeno mohon.."

Satya menghela nafasnya kasar, akhirnya ia memilih untuk menuruti permintaan Jeno daripada membuat adiknya itu kembali tertekan.

"Kalau butuh sesuatu panggil Abang ya?"

"Gak perlu apa-apa."

Pemuda itu hanya tersenyum lalu memberi Jeno waktu untuk sendirian. Melihat Satya sudah keluar membuat Jeno mulai meluapkan semua kesedihan yang sedari tadi ia pendam.

Jeno menangis sekencang mungkin dengan wajahnya yang ia sembunyikan di balik bantal, berharap agar tidak ada orang yang akan mendengar suara tangisannya itu. Namun sayangnya, Jeno tidak menyadari bahwa sedari tadi sahabat-sahabatnya memperhatikannya dari luar ruang rawat itu.

Saka menatap Jeno iba, tangannya bahkan kembali mengepal saat mengingat semua kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu itu. Jika saja Wira tidak menahannya, wanita itu pasti sudah ia bunuh dengan tangannya sendiri.

Kepergian Nean membawa kesedihan yang teramat baik bagi keluarganya maupun bagi Jeno dan sahabat-sahabatnya. Andai saja ia bisa melihat masa depan, Saka pasti tidak akan mengajak Nean untuk ikut menolong Jeno saat itu. Tapi sayangnya semua itu sudah terlambat dan tidak ada yang dapat disesali lagi.

Ephemeral [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang