32. Sakit yang berkelanjutan

3.9K 573 252
                                    

"Sudah cukup, dunia terlalu kejam, biarkan aku pergi saja."

Hai ketemu lagi, semoga masih pada nungguin chapt ini🙌🏻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai ketemu lagi, semoga masih pada nungguin chapt ini🙌🏻

🎶Duncan Laurence-Arcade🎶

-√-

-

Jeno pertama kali hadir di tempat ini, tempat yang penuh dengan tanah dan juga jarang ada orang yang mengunjungi tempat ini kecuali bagi mereka yang merasa ditinggalkan oleh keluarganya.

Remaja itu mendekati tumpukan tanah yang sudah rapi dilengkapi dengan batu nisan yang terlihat indah, namun nama yang diukir di batu nisan tersebut membuat hati Jeno terasa sangat sakit.

Ia duduk di samping makan Jaevir dan menaburkan beberapa bunga di atas tanah itu. Kini tidak akan ada lagi suara tawa Jaevir, tidak ada lagi sosok tegap yang akan selalu memeluknya, tidak ada lagi sosok kuat yang selalu melindunginya, karena sosok itu sudah pulang ke rumah.

Rumah yang lebih indah dan tidak akan pernah ada rumah yang seperti itu di dunia.

Ini adalah hari ke 3 sejak Jaevir meninggal dan Jeno bahkan belum mengisi perutnya dengan makanan sama sekali. Ia marah pada Dirga dan Johnny yang membiarkannya melewatkan proses pemakaman Jaevir padahal itu adalah momen terakhir Jeno untuk bisa melihat kakaknya.

Belum lagi ternyata Johnny, Nean, dan yang lainnya sudah tahu bahwa ia yang mendonorkan ginjalnya untuk Nean. Dan sekarang Jeno tidak tahu harus melakukan apa karena Nean sangat marah dengannya.

"Bang, pergi kok gak ngajak-ngajak sih? Tau gak Bang, Ayah bilang Abang bunuh diri tapi Jeno percaya kalau Abang gak bunuh diri, mereka semua pasti bohong. Terus Nean juga lagi marah sama Jeno.."

Tangan mungil Jeno menyentuh batu nisan itu bersamaan dengan kristal bening yang turun begitu saja namun tidak ada isak tangis sama sekali.

"Jeno capek hidup Bang, ditambah Abang yang udah pergi. Kalau nanti Jeno jadi gila gimana? HAHAHA."

Suara tawanya dibawa oleh angin, suara tawa yang begitu menyakitkan seakan-seakan semua jiwa dan raganya sudah terluka dan bahkan sudah hancur lebur. Segala macam sakit yang diterima raga maupun jiwanya benar-benar menyiksa dirinya sendiri, walau rasa sakit itu dapat diobati, namun sayangnya bekas luka itu akan membekas selamanya.

"Bang, abis ini yang meluk Jeno kalau lagi sakit siapa? Yang hibur Jeno siapa? Abang tuh alasan Jeno masih ada di dunia, kalau Abang pergi harusnya Jeno juga pergi dong."

Jeno tidak peduli jika ada orang yang mengiranya gila karena bicara sendiri, padahal kenyataannya ia sedang berbicara dengan kakaknya walau tidak akan pernah mendapat balasan.

Remaja itu memeluk lututnya kuat dan badannya mulai bergetar hebat, akhirnya semua kesedihan dan kesesakan itu tumpah begitu saja setelah sekian lama di tahan olehnya.

Ephemeral [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang