1

41.1K 2.5K 41
                                    

Jam pulang kantor tiba. Perempuan bernama Aura itu, buru-buru menekan tombol lift untuk mencapai lantai dasar, tepat di bangunan berlantai dua puluh di tempat kerjanya. Namun ketika pintu lift terbuka lebar, ia seketika berhenti dan mematung.

Tatapannya tidak mampu beralih, dari laki-laki yang saat ini tengah berdiri tegap seorang diri di dalam lift. Ah, rasanya Aura ingin mengurungkan niat untuk masuk ke lift yang sama, tapi kakinya berkhianat.

Dengan langkah gamang, ia berusaha mengabaikan gemuruh di dadanya. Hingga mampu berdiri sejajar dengan laki-laki yang selama lima tahun ini ia hindari.

Mengingat semua hal yang pernah terjadi, nyatanya membuat Aura hampir mati berdiri, apalagi berada di situasi yang tidak terduga seperti sekarang.

"Aura!" Perempuan yang baru saja melambaikan tangan pada mobil yang telah berlalu itu sontak menoleh. Matanya sedikit melotot kala mendapati Dhimas berdiri dengan raut yang sulit diartikan.

Laki-laki yang biasa menunjukkan wajah berseri, tatapan penuh cinta dan penuh damba, kini lenyap! Berganti wajah pucat pasi dan sorot mata redup seperti kehilangan dunianya.

"Dhi-Dhimas?!" Aura berjalan mendekati laki-laki itu, Suaranya sedikit tergagap, meski berusaha menyambut sang pujaan hati dengan ekspresi senormal mungkin.

Dhimas hanya mematung, kemudian menggengam kuat jemari Aura dengan tangannya yang dingin.

"Jadi ini alasannya?" Ucap Dhimas, membuat lidah Aura mendadak kelu.

"Dhim," Perempuan itu berusaha mencari jawaban.

"Siapa dia?" Sela Dhimas tidak ingin berbasa-basi.

"Dhim, ta-tadi..." Perempuan itu semakin kehabisan kata-kata.

"Jawab aku, siapa dia?!" Bentak Dhimas.

"Dia temanku di kantor." Putus Aura pada akhirnya, tubuhnya sedikit bergetar, tentu dia terkejut dengan bentakan yang Dhimas berikan. Selama ini laki-laki itu tidak pernah memperlakukannya sampai begini.

Dhimas menghempas jemari Aura dengan sedikit kasar, lalu tertawa sumbang.

"Hanya teman?" Ujarnya ponggah.

"Setelah apa yang aku lihat tadi, apa kamu kira aku akan langsung percaya?" Aura semakin bergetar di tempatnya.

"Dhim, dia temanku."

"Teman yang bisa memegang jemari kamu kapan saja, bahkan diijinkan mencium kening kamu. Jangan ngaco, Ra!"

"Dhim, maafin aku." Perempuan itu memohon dengan pilu, tidak ada lagi yang bisa Aura sembunyikan dari Dhimas.

Bak nasi sudah menjadi bubur, penjelasan apapun yang Aura berikan tampaknya hanya sia-sia. Laki-laki di hadapannya membuang napas pasrah. Tubuhnya mendadak lemas bahkan matanya semakin panas.

"Aku selalu berfikir berulang kali untuk sekedar menelefon atau mengirim pesan, karna aku sangat takut mengganggu pekerjaanmu." Tutur Dhimas sembari menundukkan kepalanya. Rasanya tidak sanggup mengatakan ini pada Aura, perempuan yang sejak lama mendiami hatinya.

"Aku selalu menahan diri untuk tidak mengajak kamu jalan-jalan atau pergi berlibur, karna aku takut mengganggu waktu istirahatmu." Dada Aura sesak memperhatikan kehancuran laki-laki di hadapannya.

"Aku selalu mempertimbangkan semuanya, karna aku sangat memperhatikan kenyamanan kamu."

"Aku selalu memaklumi segala perubahan sikap kamu padaku, karna aku kira kamu sedang lelah atau banyak pekerjaan di kantor."

Save The Date!Where stories live. Discover now