BRAK!!

Ketegangan berakhir dengan suara pintu tertutup amat keras. Levi serta Hanji sontak terkejut menatap ke arah pintu, nampak Mikasa berjalan cepat kemudian melewati mereka di ruang beranda. Gadis itu tidak berkata-kata, hanya sibuk menyeka pipinya karena menangis. Dia mengabaikan Levi serta Hanji seolah-olah mereka tidak ada di sana. Mereka kemudian saling bertatapan, serentak bertanya dalam hati. Kenapa dia? Ada apa?

"Perlu aku menyusulnya?"

Levi menggeleng. "Tidak usah. Biarkan saja dia, percuma kamu mengajaknya bicara. Anak itu kalau sedang kesal tidak akan berdamai dengan siapa pun. Termasuk kamu, yang tidak ada sangkut pautnya dengan penyebab kenapa dia begitu."

"Tapi aku cemas." Hanji hendak bangkit bersiap untuk menyusul Mikasa. Namun Levi menyetop pergerakannya.

"Tidak usah. Besok saja kamu ajak bicara, atau biarkan dia bicara dengan sendirinya. Jangan khawatir" Hanji tetap ragu. Namun setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia setuju. "Lebih baik kita beristirahat, kita harus bekerja besok." Hanji mengusap tengkuk putih saljunya, kemudian Levi ikut bangkit dan merengkuh pundak Hanji. Membiarkan Mikasa pergi ke dalam kamar di lantai dua.



***

LANGIT tak tersaput awan.

Cahaya fajar kemerahan begitu lembut menyapa pagi. Berbanding terbalik dengan suasana hati Mikasa yang diselimuti awan kelabu. Hari itu seakan mendung tersaput awan. Tergambar jelas dari air muka Mikasa. Suram. Pagi-pagi buta Mikasa mendatangi Sasha di asrama. Kesempatan Hanji untuk berdiskusi dengan Mikasa, sirna sudah. Bahkan salah satu di antara mereka tidak tahu, bahwa Mikasa telah pergi dari rumah sebelum mereka terjaga.

Sasha serta Mikasa duduk saling berhadapan, di atas pualam beralaskan karpet berbulu lembut. Perempuan rambut ekor kuda itu bertopang dagu di atas meja lipat. Mengamati Mikasa sambil menguap malas, karena masih mengantuk. Sasha membuang napas panjang. Dia tahu bahwa Mikasa akan berkeluh kesah dengannya lagi. Sasha mencoba untuk menghadirkan hati sesabar mungkin.

"Apa yang terjadi kali ini?"

Mikasa nyenyat, hanya duduk bersandar di dinding seraya menekuk lutut. Belum siap untuk menjabarkan isi hati.

"Kamu pikir aku pelampiasan emosimu? Selalu saja kamu datang dengan wajah seperti itu. Dengar ya, mendengarkan keluh kesah seseorang juga membawa energi negatif untukku.

"Jika kamu hanya diam, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa memberikan nasehat apa pun. Lebih baik aku tidur kembali."

Alhasil Mikasa membuat respon, dia membuang napas kasar, kemudian merubah letak duduk dengan ekspresi merajuk. "Kamu tahu semalam?" Sasha menggeleng lemah, terlihat matanya masih sayu. "... Banyak yang terjadi! Dan itu membuatku sangat marah. Arg! Pokoknya perasaanku menjadi campur aduk."

Sasha mengangguk lemas. "Lalu?" Perempuan ekor kuda itu setengah mati menahan kantuk.

"Semalam aku bertemu dengan Historia, kamu tahu, kan? Kekasih Eren?" Perkataan Mikasa membuat halis Sasha naik kemudian mengerjap singkat. "Dia mengajakku bertemu dan dia memberi tahu aku sesuatu. Tentang keberadaan orang itu sekarang."

Sasha mengerjap kembali mencoba menyegarkan pikiran. "Huh? Dosen itu maksudmu?" selidiknya penasaran.

Mikasa mengangguk. "Setelah berhenti dari Universitas ternyata dia pergi ke luar negri. Dia bekerja sebagai relawan atau apa lah itu. Dia sedang berada di Afrika sekarang."

"Huh?!!" kelopak mata Sasha terbuka paripurna, membulat. "Di Afrika? Ahaha Maaf ... Itu terdengar lucu." Mikasa hanya diam saat Sasha mulai berkelakar.

Forbidden ColorDove le storie prendono vita. Scoprilo ora