15. SIKAP ANEH ORANG-ORANG

34 30 20
                                    

Selamat membaca, tandai typo jangan lupa.


🚲🚲🚲

"Memangnya setampan apa sih
dia? Sampai bisa menbalihkan atensimu pada semesta," cibir Soraya saat aku berbicara perihal pertemuanku dengan Ann dua hari yang lalu.
Bukannya merasa kesal mendapat cibiran Soraya, aku malah terkekeh. Bangkit dari duduk dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
"Ray, mau kuajak tidak?" seruku dari dalam kamar mandi. Hening sebentar sebelum seruan balik soraya membuatku tersenyum.
"Boleh, asal mampir beli jeruk peras. Memangnya mau kemana?" serunya balik sembari bertanya.
"Sudah, sana siap-siap dulu. Demi jeruk peras asammu," ujarku diakhiri candaan.
Tak lagi ada sahutan, aku pikir Soraya sudah keluar karena tadi sedikit mendengar suara pintu kamar tertutup.
Mungkin mengenalkan Soraya pada Ann tidak begitu buruk.

Setengah jam bebenah, kini aku dan Soraya dalam perjalanan menuju Danau.
"Bertemu Ann?!" serunya mengulang ucapanku tatkala kuberitahu kami sedang dalam perjalanan menuju danau.
Aku mengangguk menanggapi seruan yang terdengar kaget, Soraya menatapku dengan mata yang melotot. Protes dan marah mungkin?

"Tidak ada salahnya bertemu dengan Ann, Ray. Dia baik padaku, kok. Lagipula tidak baik terus menerus dengki dengan orang yang bahkan tidak kamu kenal," jelasku memeberi nasehat.

"Bukannya dengki, hanya kurang sreg saja, Joy." Soraya menjelaskan dengan tangan yang melayang diudara.
Aku mengangguk-angguk saja, berdebat bersama Soraya tak akan pernah selelsai bila diriku tidak mengalah lebih dulu.

Perihal umur memang dia pemenangnya. Namun bicara tentang pemikiran dan sifat dewasa, aku yang menang.

Kurang lebih lima belas menit berjalan menuju danau, sekarang aku dan Soraya telah memijaki rumput basah sisa gerimis pagi tadi.
"Mana dia?" tanya Soraya dengan mata mengedar.
Aku ikut menjelajah sekitar danau, berjalan lebih dalam menuju pohon besar yang biasa menjadi tempat teduhanku bersama Ann.

Mataku berbinar tatkala menangkap sosoknya yang sedang duduk termenung di danau.
"Itu dia, Ray!" seruku. Tanganku menunjuk seseorang di samping pohon yang sudah familiar dimata.
Soraya ikut mengedarkan mata, menatap arah yang aku tunjuk menggunakan telunjuk tangan kananku.
"Dimana?" tanyanya. Mata minusnya menyipit mencari sosok Ann.
"Itu yang duduk di samping pohon besar," jelasku.
Aku meraih talapak tangan Soraya, "Ayo ke sana, Ray!"

"Joy, kamu baik-baik saja kan?" tanyanya ragu setelah kami sampai pada pohon besar tempat biasanya aku dan Ann bertemu.
"Ray, ini Ann. Ann, ini Joy."
Aku memperkenalkan dua manusia penting di dunia ini dengan senyuman yang mengembang.

Netraku mendapati Ann mengulurkan tangan kepada Soraya dengan senyuman manisnya.
Sedangkan kulihat Soraya diam saja, sorot matanya menatapku intens dan terlihat ... sendu?

"Ray, kamu kenapa?" tanyaku heran.
Ia tersentak, matanya kembali mengedar dan terlihat linglung.
"Joy, ayo pulang! Aku sesuatu tiba-tiba," ujar Soraya. Wanita itu menarik paksa tanganku meninggalkan Ann yang terdiam di samping pohon besar.

Soraya berhenti di sebuah warung kecil yang lumayan jauh jaraknya dengan Danau. Wanita itu masih terdiam, entah karena apa. Apa mungkin Soraya sudah mengenali Ann lebih dahulu dibanding diriku?
Tapi itu tidak mungkin, Soraya tak pernah menceritakan laki-laki selain Gilang padaku.

"Terima kasih, mbak," ucapku menerima kembalian setelah membeli dua botol air mineral.
Berjalan mendekat pada Soraya yang masih menatap jalanan dengan pandangan kosong, menempelkan botol kemasan air mineral dingin yang baru kubeli pada pipinya.

Ia tersentak, menoleh ke arahku dan menerima botol mineral yang kusodorkan.
"Kamu kenapa sih?" tanyaku heran.
Soraya meminum air mineral itu hingga tersisa setengah botol. Ia menatapku dengan pandangan yang diriku sendiri tidak bisa mengartikannya.

"Kapan pertama kali kamu bertemu dengan Ann?" tanyanya.
Aku berpikir sebentar, mengingat-ingat lebih dahulu danau atau halte yang menjadi tempat pertemuan kami.
"Ah, halte. Sewaktu ujian pertamaku dimulai," ucapku memberi tahu.

Kulihat Soraya menelan ludah susah payah, cengkraman tangannya pada kemasan botol mengerat hingga membuat botol plastik itu berbunyi.
"Jangan menemuinya lagi," peringatnya dengan pandangan kosong menatap jalanan di belakangku.

Mendengar penuturannya membuatku kian menyirit bingung.
"Memanganya kenapa? 'Kan sudah kubilang, dia cukup baik, Ray," tolaku secara tidak langsung.
Bagaimanapun Ann adalah laki-laki baik, lagipula ia juga sering mendengar keluh kesahku. Ya, walapun ia kuno dan mengaku tidak memiliki ponsel.

"Jangan berusaha menemuinya lagi, Joy," lirihnya mengulang perkataannya sendiri.
Aku mengangguk menurutinya kali ini. Perasaan wanita itu sedang tidak stabil. Dan yang kupertanyakan kali ini, ada apa antara Soraya dan Ann?
Mengapa teman kostnya itu bereaksi berlebihan saat bertemu dengan Ann?

🚲🚲🚲

Shift malam berhasil membuatku mengantuk. Kedai ini memang lebih ramai bila sudah dini hari. Anak muda sepantaranku yang banyak mendatangi kedai besar ini.
Aku mengembuskan napas lega setelah tumpukan piring dan gelas kotor sudah selesai kucuci bersih. Sebenarnya ini insiatif diriku sendiri mengingat Cindy meninggalkan tumpukan piring yang sudah ia sabuni begitu saja saat rekannya yang lain meminta izin dan meminta Cindy membuatkan pesanan pelanggan.

Ah, ternyata sudah hampir waktunya pulang.
"Joy, aku duluan ya," ujar Nita yang sudah berganti pakaiannya sendiri. Bukan seragam kerja lagi.
Aku mengangguk, sebenarnya bingung ingin menanggapinya apa lagi. Berbicara dengan manusia lain yang belum sepenuhnya kukenal selalu membuat canggung suasana.
"Bos bilang, kau juga pulang," jelas Nita yang membuatku mendonggak setelah menata piring dan cangkir.

"Benarkah?" tanyaku dengan kedua alis yang terangkat.
Nita terkekeh menanggapiku, jari telunjuk tangan kanannya menujuk pada jam besar yang menempel di dinding kedai.
Aku ikut terkekeh menyadari hari sudah semakin larut dan waktu pulang telah tiba.

"Siapa yang menutup kedai nanti?" tanyaku pada Nita yang masih setia berdiri di depan meja kasir.
"Ada yang lain, laki-laki," jawab Nita menunjuk beberapa pekerja shift malam yang terlihat asing dalam pandangan.

"Ganti bajumu cepat, biar aku yang jaga sebentar," ujar Nita mengambil alih pekerjaanku.
Aku langsung mengangguk, kemudian berjalan menuju ruang ganti untuk berganti baju.
Dibanding shift siang, menurutku shift malam lebih melelahkan.

🚲🚲🚲

"Ayunannya menyenangkan, ya? Kedatanganku sampai tidak kau dengar," Suara itu membuatku kaget. Aku menatap ke arah belakang tubuhku, mendapati laki-laki tiga belas sedang berjalan ke arahku dengan menuntun sepeda onthel yang biasa dinaikinya.
Seperti biasa, ia menyandarkan sepeda onthel itu pada salah satu pohon besar.

Aku tersenyum, tak berniat beranjak dari ayunan.
"Tarikkan tambangnya untukku," ujarku dengan cengiran lebar memintanya menarik tambang pada ayunan.
"Apa imbalannya?" tanya laki-laki tiga belas dengan kedua alis yang terangkat.

"Mengapa harus ada imbalannya juga?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.
Ia terkekeh menanggapi, mengusap surai pendekku dan mulai menarik tambang putih itu. Ayunan buatannya kemarin mengayun dengan aku yang menjadi beban.
Kepalaku mendonggak, menatapnya yang masih berdiri di belakangku lengkap dengan senyuman. Sesekali tangannya menarik kembali tambang ayunan.

"Joy," panggilnya masih mengayunkan ayunan yang kutunggangi.
"Ada apa?" tanyaku mengangkat alis. Aku menghentikan laju ayunan. Menatapnya yang kini berjalan dan berdiri tepat di depanku.

Raut wajahnya berubah serius, senyuman lebarnya yang tadi terbit kini sirna tiba-tiba. Ada apa sih? Mengapa orang-orang terdekatku hari ini bersikap sangat aneh?

🚲🚲🚲

See you in next part.

Publikasi 20/02/2021


Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon