16. NIGHTMARE

31 29 15
                                    

Selamat membaca, dear. Tandai typo boleh?

🚲🚲🚲

"Silahkan duduk, Nek," ucapku pada wanita renta dengan bentong kayu yang menjadi tumpuan tubuhnya.
Nenek itu menoleh ke arahku, tersenyum diantara kulit keriputnya dengan rambut yang terlihat sudah memutih sebagian.

"Terima kasih, nak," ujarnya setelah mendudukan tubuhnya di tempat yang sebelumnya aku duduki. Aku mengangguk menanggapi seraya tersenyum.
Netraku kembali menatap jalanan di depan sana yang basah akan guyuran hujan deras sore ini.
Beberapa orang yang berlari di trotoar ikut meneduh pada halte yang aku singgahi.

"Shh," ringisku saat badanku dihimpit dua orang laki-laki bertubuh cukup besar.
Kali ini biarkan aku menanggungnya, tak melawan adegan kehidupan yang entah namanya takdir atau bukan.

Lupakan saja, tidak penting.
Peganganku pada tas slempangku yang sedikit basah kian mengerat.
Rasanya menyesal tak meminjam payung Nita saat wanita itu menawarkannya di Caffe.

Bus yang datang dari arah kiri membuat senyumku mengembang. Setidaknya kali ini penderitaan kecil ini terhentikan.
Aku masuk ke dalam bus dan dudul di salah satu kursi singgle dekat jendela.
Mengembuskan napas lega karena penumpang sore ini tidak banyak seperti biasanya. Mungkin banyak yang memilih menunda pulang dan duduk santai di gedung lebih lama.

Meraih earphone dan menyalahkan musik kuno yang tersimpan pada ponselku lima tahun lamanya.
Bila bertanya bosan atau tidak, jawabannnya netral. Setengah bosan dan setengah menikmatinya.

Tanganku terangkat menuju kaca jendela yang tertutup dengan embun yang tampak.
Tak sadar bila tanganku bergerak dan menuliskan nama Ann di sana.
Mengulum senyum, sementara pikiranku bergelut penasaran sedang apa dia? Dan sekarang ada dimana?

Namun begitu mengingat Soraya, ini terasa seperti teka-teki menyebalkan yang harus kucari tahu secara bertahap.
Harusnya kalian tahu bila manusia tidak bisa hidup dengan rasa penasaran.

Tubuhku bersandar pada kursi dengan mata masih menatap jalanan basah lewat jendela.
Mengapa bila memikirkan hal ini firasatku buruk?
Rasanya ada bagian dari diriku yang menolak untuk mencari tahu hal ini.
Apa mungkin Soraya dan Ann memiliki hubungan bebrapa tahun silam? Mengingat ekspresi wajah Soraya yang serasa kalang kabut saat aku memperkenalkannya pada Ann.

"Sial, ini membuatku pusing," rutukku. Kepalaku berdenyut sakit sekarang. Entah karena memikirkan hal ini atau karena terkena air hujan saat di halte tadi.
"Shh," ringisku lagi. Pandanganku semakin memburam. Dua detik setelahnya, entah yang terjadi apa. Merasa bila tubuhku tak berdaya, terlelap dengan artian tak sadar baik badan maupun jiwa.

🚲🚲🚲

"Dek, mau turun dimana? Sekarang sudah halte terakhir hari ini." Samar-samar aku mendengar suara asing dan tepukan ada bahuku.
Sontak aku langaung tersadar dengan badan berjingkrak kaget. Tanganku memeluk tubuhku sendiri dengan padangan menatap sang sopir bus yang terlihat kebingungan atas tindakanku.

"Ini halte terakhir, dek. Silahkan turun," ujar sopir itu mempersilahkan.
Mataku membola, mengedar ke segala penjuru arah dan berdecak kesal.
Bagaimana bisa aku tertidur sedari langit menjingga hingga langit gelap seperti ini?

"Terima kasih, pak," ucapku pada sopir. Kulihat paruh baya itu mengangguk seraya tersenyum menghadapku.
"Hati-hati dijalan, dek. Sudah malam," ujar sopir itu setelah aku turun dari bus.

Aku mengangguk saja, menatap kepergian bus itu dengan pandangan penuh artian.
Tiba-tiba rasa rinduku pada ayah membuncah hanya karena perhatian kecil sopir paruh baya itu.
Mengapa sekrang semuanya terasa rumit dan menyesakan?

Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Where stories live. Discover now