05. GADIS TEH

66 50 29
                                    

Aku terkekeh sendirian kala membayangkan bagaimana penampilanku besok.
Dress milik Soraya yang kupinjam kini digantung rapih di belakang pintu yang sebelumnya sudah kubersihkan debunya.
Mengulum senyum sembari menggigit selimut halus berwarna biru tua yang baru kuganti beberapa hari lalu.

Knop pintu bergerak disusul terbukanya pintu kamar, Soraya muncul dengan badan bersandar pada pintu dan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
Aku mengangkat kedua alis tanda bertanya lewat ekspresi wajah.

Ia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, "Benar-benar gadis gila," ledeknya.
Aku mendelik dua detik setelah ejekan singkat itu terlontar dari bibirnya.
"Kembali ke kamarmu, aku sudah mengantuk," usirku halus. Merebahlan badan yang cukup penat dan membenarkan letak selimut.
"Sudah mengantuk atau memang karena ingin bertemu laki-laki tiga belas?" ledeknya dengan menaik-turunkan kedua alisnya.
Aku memutar bola mata malas, kedua tanganku mengibas-ngibas seolah memintanya untuk segera enyah dari pandangan.

"Kau pikir aku ayam?!" sewotnya dengan bibir maju beberapa centi, mencebik.
Aku terkekeh sebentar, kukira Soraya tidak akan tahu apa maksud sebenarnya dari kibasan tanganku.
Pasalnya, aku hanya melihat hal ini dilakukan oleh orang-orang desa seperti nenek-kakekku saat mengusir unggas.

"Ray, sudahlah jangan mencoba berdebat denganku. Segeralah tidur, besok kau beranglat kerja bukan?"
Soraya mengangguk-angguk, terlihat sedang memikirkan ucapanku barusan, "Baiklah kau benar kali ini, Joy. Aku akan segera tidur."
Ia menegakan tubuhnya, kemudian berlari kecil keluar kamarku tanpa menutup pintunya lebih dahulu.
Oh God, mengapa kebiasaan buruknya yang satu ini tak pernah hilang?

"Sebenarnya aku bingung, yang gila itu diriku atau Soraya, sih?" tanyaku pada semilir angin.
Dengan sangat terpaksa, kembali menegakan tubuh dan beranjak menutup pintu kamar dengan kaki yang dihentak-hentakan kesal. Tak lupa juga mematikan lampu kamar, aku tidak bisa tidur bila lampu menyala.

Kembali merebahkan tubuhku di atas ranjang kecil yang sudah menampungku tiga tahun ini, memeluk guling dan bersiap terlelap. Mencoba memasuki dunia putih walau aku tahu ini jauh dari tanggal tiga belas.

🚲🚲🚲

"Bagaimana dengan ujianmu?"
Ah, suara itu. Mengapa selalu terdengar merdu sekali?
Aku tersenyum sembari menatapnya dari samping, kami berdua duduk disebuah panggok kecil yang lumayan nyaman.
"Aku berusaha sebaik mungkin agar bisa jadi yang terbaik," jawabku.
Ia berhenti menatap buku sejarah tebal yang ada dipangkuannya itu.

Tangannya yang sebelum itu menggaris bawahi beberapa kalimat menggunakan stabilo berwarna orannye juga terhenti.

"Jangan jadi manusia yang terlalu ambisius, Joy. Tidak baik," tegurnya dengan sorot mata lembut menatapku.
Aku terdiam sebentar, perkataannya benar. Tiga tahun berada di SMA, waktu yang kuhabiskan untuk belajar lebih banyak dibanding waktu istirahatku. Sampai-sampai, untuk berbaur dengan manusia lain pun rasanya sulit dan asing.

"Menurutku, ambisius itu bagus," belaku pada diri sendiri.
Ia mengembuskan napasnya, kembali menatap buku sejarahnya sembari menggaris bawahi sesuatu yang dirasanya penting.

"Aku sudah cukup lama mengenalmu, Joy. Ya walaupun hanya bersapa beberapa kali dalam satu bulan. Aku tahu kebiasaanmu, kebiasaan yang membuat tubuhmu kian memburuk," ujarnya panjang lebar tanpa mengalihkan pndangannya.

Aku berpikir sebentar, "Kau tahu banyak tentangku. Namun mengapa perihalmu aku tak mengerti apapun walau sebatas nama saja?" tanyaku protes.
"Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan," ujarnnya dengan nada datar.
Aku terdiam dengan mulut terlipat ke dalam.
Menerima fakta bila laki-laki di sampingku ini sangat hebat dalam bercakap.

Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora