07. CONGRATULATIONS!

46 39 17
                                    

Terima kasih berkenan menbaca bagian tujuh.
Selamat membaca.

🚲🚲🚲

"Congratulations, Joy!" seru Soraya sembari mengeratkan pelukannya pada tubuhku.
Aku mengangguk menanggapi, ikut memeluk balik tubuhnya dengan sisa tawanya yang masih terdengar.

"Kali ini kau benar-benar berhasil menjadi yang terbaik," pujinya lagi dengan senyuman merekah.
"Terima kasih, Ray. Kau selalu mendukungku," ujarku tulus sembari melepaskan pelukan. Aku tersenyum menatapnya dengan sorot mata penuh kebahagiaan.

"Memang kita diciptakan untuk saling mendukung satu sama lain bukan?" ujarnya dengan kedua alis yang terangkat.
Aku kembali mengangguk, lalu kami kenbali terkekeh pelan. Memeluknya lagi seolah memberi ribuan ucapan terima kasih.

Bu, Soraya sudah menggantikan peranmu sangat apik. Ia menjaga dan menampungku sebisa yang ia mampu.
Untuk Ayah, janjiku sudah lunas. Yah, putrimu berhasil menjadi siswa terbaik lulusan tahun ini.
Dan semua itu, memang kupersembahkan untukmu. Untuk menebus segala jerih payah usahamu dalam menghidupi pendidikanku.

"Kau ingin ke makam orang tuamu?" tanya Soraya.
Aku mengangguk, memang seperti biasanya. Biasanya setelah pembagian hasil belajar atau raport, yang pertama yang aku datangi adalah Tempat Pemakaman Umum di kota ini.
"Apa perlu aku ikut?" tawarnya mengangkat alis.
Aku langsung menggeleng cepat, tak ingin lebih jauh merepotkannya. Maksud dari perkataannya tadi bukan ikut dalam hal yang sebenarnya, ia hanya ingin mengawasiku bila tiba-tiba menangis.
"Tidak perlu, Ray. Lagi pula aku juga tak ingin mengganggu waktu bersantaimu," tolakku halus dengan mengulum senyum.
Soraya memutar bola mata malas dengan kedua tangan yang bersedekap dada, "Baiklah, hubungi aku segera bila terjadi sesatu."
Aku mengangguk, melambai-lambaikan tangan saat melihatnya berjalan menjauhi lapangan sekolah yang masih ramai.
Aku mengangguk-angguk saat melihatnya menekuk jari telunjuk, tengah dan manisnya sembari mendekatkan tangan kanannya itu di telinga seolah berkata "telepon aku nanti."
Kemudian kembali melambai saat ia menaiki ojek online yang entah sejak kapan wanita itu pesan.

Aku menatap Soraya lekat sebelum ia benar-benar benar hilang dari pandangan netraku. Ia baik, sangat baik.

Seakan tersadar dari batas kesadaran, aku kembali mengedar mencari sesuatu.

Mungkin terdengar bodoh bila mengharapkan kehadiran Ann di antara ratusan manusia yang ada di lapangan luas ini.

Iya, bodoh. Aku saja tidak memberitahukannya perihal ini. Ralat, lupa memberitahukannya.
"

Ah, haruskah aku terlelap cepat malam ini? Laki-laki tiga belas ingat tentang hari ini tidak, ya?" gumamku masih dengan mata mengedar dan badan yang berputar-putar.

Setelah menghela napas, aku memutuskan untuk kembali melanjutkan langkah kakiku menuju gerbang sekolah.
Menghentikan taxi yang lewat, dan segera memasukinya.
"Ke TPU Anggrek, pak," ujarku sembari menampilkan senyuman pada sopir taxi yang umurnya terlihat mulai renta. Melihatnya membuat rasa rinduku pada ayah membuncah.

Soraya bilang, naik taxi itu boros. Sedangkan nominal pada rekeningku memang sangat pas-pasan, itu pun hanya berisi uang yang biasa bibi kirimkan setiap bulan. Jika dihitung-hitung, hidupku memang selalu bergantung pada bibi dan Soraya.
Sebenarnya memang merasa aneh pada diriku sendiri yang tiba-tiba mempunyai pemikiran untuk naik taxi. Tapi lebih aneh mana bila tadi aku naik bus masih dengan toga yang melekat pada tubuhku serta buket bunga dalam genggaman? Itu jauh lebih aneh dari apa yang kubayangkan.

"Sudah sampai, Non," ujar sang sopir sembari menatapku lewat kaca yang ada di tengah-tengah mobil.
Aku menolehkan pandanganku yang sebelumnya menatap jalanan tanpa minat.
Netraku melihat nominal yang tertera dan segera membayarnya.
"Terima kasih, pak," ujarku hangat dan keluar dari mobil berwarna biru itu.

Tempat Pemakaman Umum Anggrek.
Jl. Handayayani, Kota xx, Provinsi xx.

Setelah mengembuskan napas, aku kembali melangkah memasuki area pemakaman dengan cuaca yang cukup terik.
Genggamanku mengerat pada buket bunga yang Soraya hadiahkan. Kaki terbalut sepatu hak tiga centi meter berwarna nude yang sangat jarang kupakai mulai memasuki lebih dalam TPU ini.

Dua makam yang berdampingan. Ayah dan Ibu memang punya banyak cerita dalam hidup setengah abad mereka.
Kecelakaan mobil saat kami bertiga pulang dari rumah Bibi membuat nyawa mereka berdua tak tertolong. Penyebabnya adalah pendarahan yang cukup hebat. Hingga di antara kita bertiga, hanya tersisa aku yang ditinggal dalam dunia sementara ini.
Kala itu musim penghujan, petir menggelegar saling bertaut memekikan telinga.
Mungkin harus kuakui sekarang, aku sedikit takut dengan petir atau guntur. Tetapi, tidak dengan hujan.
Itu sebabnya setiap kali hujan deras dan terdengar petir, Soraya memintaku untuk tidur bersama di kamar wanita itu. Wanita itu juga sangat takut dengan petir.

Kembali pada situasi yang sekarang, tanganku tergerak mengelus dua nisan yang menampakan nama ibu dan ayah dengan gerakan lembut.
Buket bunga yang sebelumnya kupegang kini sudah kuletakan ditengah-tengah makam mereka.
"Ibu, Ayah, Joy datang. Maaf jika jarang mengunjungi kalian," ujarku dengan nada pelan.
Tak sadar bila air mataku terjun begitu saja tanpa diminta. Mengapa sesak sekali bila mengingat tragedi mengerikan itu.

"Aku baik di sini. Menjadi lulusan terbaik ternyata tidak mudah seperti yang aku pikirkan, Yah," ujarku dengan kekehan pelan di kalimat akhir. Tanganku bergerak mengusap air mata yang seiring waktu bertambah deras keluar.
"Bu, aku juga rindu kue pelangi yang biasanya kau hadiahkan saat aku mendapat peringkat kelas, aku ingin memakannya lagi, hiks," isakku.

Batinku menampar diri sendiri. Rupannya pertahananku sudah benar-benar runtuh. Tangisan yang bertahun-tahun lamanya kutahan kini keluar.
Sesak, rasanya sangat sesak. Aku memang selalu lemah bila berhadapan dengan kalian, Yah, Bu.
Aku rindu menjadi anak kecil.

🚲🚲🚲

"Memang sudah aku prediksikan, kau pasti menangis kencang dihadapan makam orang tuamu," ujar Soraya yang sedang sibuk mengelap sisa air mataku yang masih lancang keluar menggunan tisu.
Mendengar perkataannya tak membuatku tenang. Tubuhku kembali bergetar karena rasa sesak itu masih terasa.
"Sudahlah, berhenti menangis. Sudah kuperingatkan berkali-kali, Joy. Tahan tangisanmu di depan mereka, setidaknya jangan buat mereka merasa bersalah di alam sana," ujarnya lagi.
Kulihat ia mendudukan tubuhnya di depanku.
"Kau tahu aku, Ray. Akan terasa sulit bila menahannya di hadapan makam mereka," lirihku.
Tanganku bergerak menutupi seluruh wajahku menggunakan kedua telapak tangan. Rambut pendek yang sudah acak-acakan tak kuhiraukan sama sekali.
Yang ingin kulakukan saat ini hanyalah menenangkan diri dan kembali membangun tembok pertahanan lagi.

"Ya sudah, tenangkan dirimu dulu. Aku ada di kamar, telepon saja jika kau membutuhkan sesuatu," ujarnya dengan tangan mengusap-usap bahu kiriku.
Aku mengangguk, "Terima kasih, Ray."

Setelah menatap kepergiannya dan menatap pintu keluar berwarna coklat kamarku lumayan lama, aku merebahkan tubuhku memiring dan memeluk bantal guling.
Tak sadar bila waktu merenggut kesadaranku, aku terlelap setelah tiga jam lamanya menangis tanpa henti.
Bolehkah aku serakah kali ini? Aku ingin bertemu laki-laki tiga belas.

Tuhan, boleh ya?

🚲🚲🚲

See you in next part.

Publikasi 15/02/2021

Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Where stories live. Discover now