09. "JADI PACARKU?"

38 30 16
                                    

Terima kasih berkenan membaca bagian sembilan.

🚲🚲🚲

Satu bulan berlalu, Ann dan aku kian hari semakin dekat. Danau adalah tempat satu-satunya kami berkomunikasi dan bertemu.
Perihal laki-laki tiga belas, ia kembali pada tempatnya. Menemuiku tidak blak-blakan alias hanya tanggal tiga belas. Walau ada secuil bagian dari hatiku merasa kehilangan, menurutku itu wajar.

Aku memutuskan untuk gap year, melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya satu tahun kemudian. Sebenarnya Soraya tidak setuju akan keputusan finalku yang memang agak sedikit mendadak.
Namun apa daya, biaya masuk Universitas tidak murah, dan dari mana asal uang yang nantinya aku pergunakan untuk menyambung kehidupan?

"Hal buruk yang menempel erat pada dirimu, selalu melamun," ujar Ann mengagetkanku.
Aku tersentak, menoleh ke kanan menatapnya yang masih mencatat sesuatu pada buku tebalnya dengan paha sebagai alas.
"Tidak tuh," belaku sembari memalingkan wajah menatap air danau yang amat sunyi.

Kekehan kecil keluar dari mulutnya, aku sama sekali tidak menoleh. Lebih memilih bersandar pada pohon besar di belakangku dan memejamkan mata. Danau ini selau berhasil membuatku mengantuk.
"Ann," panggilku menggumam.
"Ada apa, Joy?" tanyanya menghentikan kegiatan menulis sesuatu pada bukunya.
"Jika ka boleh memilih hidup seperti orang normal atau hanyut dalam mimpimu sendiri, mana yang kau pilih?" tanyaku.
Ia tampak menimang-nimang sembari ikut menatap danau, "Mungkin hidup layaknya orang normal. Memangnya apa yang menyenangkan dari mimpi yang akan kau lupakan sebagian setelah bangun tidur?"

Aku mengangguk-angguk, membenarkan ucapannya. Namun tetap saja, aku ini gadis yang tidak terlalu senang berbaur dengan banyak manusia. Dan selama hidup di kota besar ini, yang aku kenal hanya tiga orang. Leon, Soraya, dan Ann. Ah, laki-laki tiga belas tidak termasuk karena aku mengenalnya di dalam mimpi. Tunggu, mengapa aku menanyakan hal ini pada Ann?
"Ada apa? Mengapa bertanya seperti itu?" tanyanya mengangkat alis. Kulihat ia sudah selesai menulis sesautu pada catatannya, terbukti karena Ann mulai memasukan buku dan bolpoint itu pada tas slempang yang biasa dibawanya.
"Hanya meminta pendapatmu," jawabku enteng. Kembali memejamkan mata dan menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa.
Ann kembali terkekeh, "Kau berniat untuk hanyut ke dalam mimpimu huh?"
Sontak aku langsung membuka mata, menoleh ke arahnya dengan mata yang sedikit melotot.
"Sembarangan," ujarku ragu.

"Joy, belajarlah berbaur dengan orang lain," nasehatnya dengan nada lembut, sangat lembut.
"Kau tahu bukan? Aku tidak bisa,"
"Bukan tidak bisa, kau hanya takut mencobannya. Takut bila nanti hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan," jawabnya panjang lebar yang berhasil membungkam mulutku beberapa saat.
Kami hanyut dalam keheningan beberapa saat. Ia ikut menyandarkan tubuhnya pada pohon yang sama sepertiku.
"Kau mengerti ucapanku barusan 'kan?" tanyanya menolehkan kepala.

Aku mengangguk sebagai respon walau masih memikirkan perkataannya yang terngiang-ngiang.
"Jadi?"
"Jadi apa?" tanyaku tak paham.
"Jadi pacarku?" jawabnya.

DEG...

"Bercandamu tidak lucu," ucapku tenang dengan mata yang kembali terpejam sekaligus berusaha menenangkan gemuruh dalam dada yang menggila entah karena apa.

"Memangnya aku pernah bercanda denganmu, Joy?"

🚲🚲🚲

"Sudah menemukan pekerjaan?" tanya Soraya yang tiba-tiba ikut duduk dibangku yang ada di parkiran pada indekos kami
Aku menoleh seraya memamerkan senyuman, mencoba mengalihkan perhatianku pada laptop dalam pangkuan.
"

Dapat, menjadi kasir," jawabku girang.
Soraya menepuk-nepuk bahuku, "Itu keputusanmu, Joy. Kuharap kau tidak berhenti ditengah jalan walau aku tahu kau bukan manusia yang seperti itu," ujar Soraya.
Tiga tahun ini, wanita muda itu masih terus menyibukan dirinya sendiri dengan pekerjaannya, ya walaupun kisah cintanya masih tetap berlangsung tanpa ada cerita di dalamnya.
"Aku tidak akan mundur karena hanya ini satu-satunya kesibukanku satu tahun ke depan," ucapku penuh semangat.
"Baiklah, ayo makan malam di luar. Aku yang traktir," ujar Soraya menaik-turunkan kedua alisnya.
"Ah, tanggal tiga belas rupannya. Kau gajian," ujarku ikut girang.

Soraya tersenyum, bangkit dari duduk diikuti olehku. Kami berjalan santai menuju warung Mbak Ammi untuk makan malam di sana.
"Tanggal tiga belas, Joy," ulangnya lagi.
Aku mengangguk saja, memasukan kedua tanganku pada saku depan hodie yang kupakai sekarang.
"Kau melupakan sesuatu?" tanya Soraya menghentikan jalannya.
Aku menghela napas, menatapnya jengah dan kembali melangkah memasuki warung Mbak Ammi yang lumayan padat pengunjung.

"Mana mungkin aku melupakannya," ucapku cepat sebelum Soraya bersuara. Wanita itu duduk di samping kiriku karena samping kananku tembok.

"Mbak Ammi, seperti biasa ya," ujarku pada Mbak Ammi yang diangguki wanita renta itu.
"Kupikir setelah Ann hadir, kau berniat melupakan laki-laki tiga belas," ujar Soraya sembari memakan kerupuk yang tersedia gratis di warung ini.
Aku berhenti bergerak, jantungku berdetak dua kali lipat saat mendengar namanya. Siang tadi ia memintaku menjadi ... kekasihnya. Haruskah aku bercerita pada Soraya? Kurasa iya.

"Ray," panggilku.
"Ada apa?" tanyanya. Wanita di sampingku itu mengambil dua piring berisi makan malam kami yang disodorkan oleh salah anak perempuan Mbak Ammi.
"Ann,"
"Kenapa? Dia menyakitimu?" tanya Soraya penasaran tetapi masih dengan ekspresi yang tenang.
"Dia memintaku menjadi kekasihnya," sambungku dengan cepat.

Soraya langsung menoleh ke arah kanan, lebih tepatnya menatapku tidak percaya.
"Lalu? Kau tidak ingat pesan ayahmu?" ingatnya.
Memang, ayah tak pernah memperbolehkan diriku untuk memulai hubungan dengan laki-laki manapun sebelum benar-benar menuntaskan pendidikan.
"Karena itu. Aku tidak menjawabnya, lebih tepatnya bimbang," lirihku. Tanganku menggapai sendok, memulai makan malamku bersama Soraya.
"Itu kau ingat, jangan pernah memulai. Itu pendapatku," ujarnya dan langsung ikut hanyut ke dalam sesi makan malamnya.

Aku masih menatap Soraya. Sejak kejadian kami kehujanan dan berteduh di halte, Soraya terlihat tidak senang dengan kehadiran Ann.
Selalu menanggapi singkat bila arah pembicaraanku merujuk pada Ann.

Aku mengembuskan napasku kasar, mengalihkan perhatian menjadi menatap piring berisi nasi dan beberapa lauk pauk. Untuk saat ini, mungkin makan lebih baik.

🚲🚲🚲

Apa kami akan bertemu lagi?
Kakiku mulai melangkah, gaun putih yang selalu menjadi pakaianku saat berada di dunia putih ikut bergerak seirama dengan langkah kakiku.
M

ataku mengedar, mencari sosok yang kucari satu bulan belakangan ini, laki-laki tiga belas.

"Dia dimana?" tanyaku menggumam saat tak melihat keberadaanya dimanapun.
Aku mutuskan untuk duduk di panggok kecil yang biasa kami duduki, mengayun-ayunkan kedua kaki masih dengan sesekali mendedarkan pandangan.

Kring... Kring...
Aku langsung menoleh ke arah bunyi yang berasal dari sepedanya itu, senyumanku terbit tatkala melihatnya tersenyum simpul kearahku.
"Hai," sapaku hangat setelah ia memarkirkan sepeda ontelnya pada pohon.

Ia tak bersuara, lebih tepatnya hanya menanggapiku dengan senyuman singkat.
Namun hal itu malah tak kuhiraukan saat melihatnya ikut duduk di sampingku pada panggok besar ini.
"Mengapa kemari?" tanyanya singkat.

Dahiku bergelombang tanda bingung, mengapa nada bicaranya begitu berbeda? Terdengar tidak senang akan kehadiranku sekarang. Ah, atau mungkin hanya perasaanku saja karena sudah lumayan lama kami tidak bertemu di dunia putih.

"Hari ini tanggal tiga belas, jadi aku kemari," jawabku apa adanya.
Ia mengembuskan napas entah karena apa. Namun yang jelas aku tidak menyukai embusan napas itu!

Senyuman yang biasa ia paparkan saat melihatku sama sekali tidak ada, hanya ada raut datar yang terkesan kesal.
"Ada apa? Kau tidak merindukanku?"
"Memangnya tidak lancang merindukan gadis yang sudah memiliki kekasih?"

🚲🚲🚲

See you in next part.

Publikasi 17/02/2021


Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora