06. KENCAN PERTAMA

52 42 21
                                    

"Namaku Ann," ujarnya setelah kami berada dalam keheningan selama beberapa menit.
Aku menoleh, menatapnya dari samping dengan kedua mata yang sedikit menyipit karena sialauan matahari pagi.
"Nama yang bagus," pujiku sembari menampakan senyuman terbaik.

Ia mengadah, menatap langit biru di atas sana tanpa menjawab pujianku barusan.
"Mengapa kembali terdiam?' tanyaku bingung dengan kedua alis yang terangkat. Duduk menyerong ke kanan agar lebih leluasa memandangnya dari jarak sedekat ini.
"Apa yang harus kujawab? Itu hanya sebuah nama, Joy."

Ia menoleh ke arahku, menatap dalam dan membuatku hanyut dalam pandangannya yang tak bisa diriku sendiri tahu apa maknanya.

"Perihal nama, ya? Mengapa raut wajahmu sedikit terlihat sedih?" tanyaku hati-hati.
"Aku yang memberi namaku sendiri. Bukan orang lain," jelasnya memperjelas raut wajahnya itu.
Aku tertegun, memangnya dimana orang tuannya?

"Sudahlah, kau bilang hanya nama bukan? Tak perlu bersedih." Tanganku tergerak mengusap-usap bahunya, berharap ia nyaman dan tenang secara bersamaan.

Lagi-lagi perasaan ini, perasaan yang biasanya ada saat diriku bersama laki-laki tiga belas.
Ponsel genggam miliku berbunyi, aku meraihnya di dalam tas dan membukanya sekilas. Pesan dari Soraya.

"Joy, bisa kau pulang sekarang? Kau pergi dengan kunci yang tidak kau letakan dibawah pot seperti biasanya? Sepikun itukah dirmu saat hendak berkencan?"

Aku terkekeh membacanya, kemudian kembali menggerogoh isi tas dan menemukan kunci pintu ada dalam genggaman tangan kananku sekarang.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku menoleh sembari tersenyum. Sial, ada saja yang mengganggu kegiatan bahagiaku, dan itu pasti Soraya.
"Teman kostku sudah pulang, kunci pintunya ada padaku." Aku memperlihatkan kunci yang masih kupegang.
"Aku harus pulang," pamitku setelah melihatnya mengangguk-angguk singkat.
"Hati-hati," ujarnya menimpali.
Aku mengangguk, kemudian berdiri dari duduk setelah merapihkan dress yang kupakai hari ini, sebenarnya merasa tidak nyaman.

"Ann," panggilku. Tubuhku berbalik setelah tiga langkah menjauhi kursi yang sebelumnya aku duduki.
Dahiku menyirit, di bangku putih itu. Bangku yang sebelumnya Aku dan Ann duduki, sekarang telah kosong. Mengapa ia pergi begitu cepat?
Netraku menatap jalanan kecil yang berlawanan arah dengan jalan tikus untuk pulang menuju Indekosku.

"Apa ia sedang terburu-buru?" tanyaku pada semilir angin masih dengan dahi yang menyirit bingung.
Tiba-tiba ponsel dalam genggamku bergetar dengan dering ponsel panggilan dari seseorang. Soraya.
"JOY, CEPAT PULANG! AKU SUDAH MENUNGGUMU DI DEPAN INDEKOS SELAMA SETENGAH JAM!" teriakan Soraya langsung terdengar setelah aku menggeser ikon panggilan berwarna hijau.

Dengan segera menjauhkan telepon genggamku sendiri dari telinga sembari membola mata malas menanggapinya.
"Iya, aku sedang berjalan untuk pulang sekarang." Aku kembali berjalan menuju gang kecil yang biasa aku lewati setelah menutup panggilan telepon dari Soraya. Sesekali mataku kembali menatap ke arah kursi dan jalan yang berlawanan arah denganku saat ini.
"Ann, kau pergi sangat cepat," gumamku.

🚲🚲🚲

"Ah, nyaman sekali," ujar Soraya setelah merebahkan tubuhnya pada ranjang kecil milikku. Dibanding menuju kamarnya, wanita karier itu jauh lebih senang dan betah berlama-lama dalam kamarku.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, berjalan menuju slakar dan menyalakan kipas angin yang menggantung di dinding.
"Mengapa pulang lebih awal?" tanyaku setelah mendudukan tubuh pada kursi belajar.
Ia menoleh sebentar, kemudian menghela napas kecil entah karena apa.
"Pekerjaanku bulan ini sudah selesai, bos memintaku libur," ujarnya dengan nada tak mengenakan.

Aku menyirit mendengarnya, bukankah itu hal baik? Ia punya banyak waktu mengingat ini masih tanggal dua puluh satu.
"Lalu? Kau tidak terlihat senang," ujarku.
Tanganku meraih sebuah buku kecil untuk menuliskan ide cerita yang tiba-tiba terintas dalam otakku. Memang begitu, Penulis harus gesit saat menemukan ide cerita yang baru. Bila dibiarkan saja, endingnya hilang entah kemana.

"Kau tahu aku, Joy. Aku tidak bisa hidup bila tak bekerja," lesunya. Kulihat dari ekor mataku Soraya bangkit dari duduknya dan memeluk bantal kecil menghadapku.
Sedangkan yang bisa kulakukan saat ini hanyalah memutar bola mata malas.
"Wanita bodoh, pikirkan jalan jalan romansamu. Aku merasa iba dengan Gilang," ujarku mengejek. Gilang, kekasih Soraya yang sangat jarang wanita itu urusi.

Soraya mendelik, "Dia juga sibuk dengan pekerjaannya," balasnya membela diri.

Hanya anggukan kecil yang kuberikan sebagai tanggapan atas balasan tidak terimannya itu.
"Sudahlah, nikmati saja sisa liburanmu dengan bersantai. Kau tidak lihat bagaimana kondisi otakmu saat ini? Berkobar," timpalku lagi.
Ia melayangkan bantal kecil yang sebelumnya Soraya dekap ke arahku.
"Aku mandi," ujarnya lesu. Soraya bangkit dari duduk nya dan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku.

Aku menghela napas melihatnya, selain senang duduk menatap komputer, wanita itu sangat senang berada dalam kamarku.
Mungkin karena kamarnya sendiri lebih cocok dinamai dengan ruang kerja minimalisnya. Kertas ada dimana-mana, komputer yang selalu menyala, dan handuk basah di atas ranjangnya. Mengingat itu membuatku bergidik ngeri.
"Joy, bagaimana kencan pertamamu?!" serunya dari dalam kamar mandi.
Aku menghentikan aktivitas menulisku pada keyboard laptop, "Berjalan dengan baik," ujarku enteng.
"Maksudku, ceritakan semuanya!" serunya lagi.
"Hanya berbincang-bincang santai, Ray. Lagi pula tidak bertahan lama karena kau menyuruhku untuk segera pulang," jelasku setelah menyandarkan seluruh beban tubuh pada kepala kursi putar yang sedang aku duduki.
"Apa dia mengatakan sesuatu yang penting?" tanya Soraya lagi.
"Ada, dia memberitahukanku siapa namanya," ujarku dengan senyuman yang tiba-tiba terbit.

Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Soraya dengan handuk baju yang membalut tubuhnya. Ia berjalan ke arahku dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Kau bilang itu penting?" tanyanya seolah tak percaya.
Aku mengangguk beberapa kali masih dengan senyuman yang merekah.
Tak sadar, kedua tangan Soraya melayang menuju ke arah kepala bagian belakangku, menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri lumayan kencang.
"Aku benar-benar ingin memukul kepalamu, Joy. Kau pantas dikonfirmasi menjadi orang gila."
"Enak saja!" balasku tidak terima. Tanganku menghempaskan tangan Soraya yang ada di belakang kepalaku.
"Sudah sana, hari ini kau yang bertugas membeli makan siang," ujar Soraya mengingatkan.

🚲🚲🚲

Aku menghentikan langkah kakiku setelah mendapati notif pada ponsel yang berbunyi lumayan nyaring. Kresek hitam berisi makan siang untuk diriku sendiri dan Soraya aku letakan di sisi kiri kursi yang sekarang sedang aku duduki.
Letaknya ada di sepanjang trotoar yang cukup rindang karena tertutup banyaknya pohon beringin.
Rambut pendek bergelombang milikku tersapu semilir angin siang yang sangat terik.
Notifikasi Email dari sekolahku masuk. Aku membukanya dengan segera dengan senyuman bungah yang muncul.Tanganku menggapai beberapa helai rambut yang menerpa wajahku, membawanya ke belakang telinga dan terus berulang seperti itu.

"Pengumuman kelulusan SMA Bhakti Jaya 02"
Aku memeluk ponselku sendiri, segera bangkit dari duduk dan menggapai kresek hitam tadi. Berlari kecil untuk pulang ke Indekos untuk memberitahukan hal besar ini pada Soraya.
Mengingat perihal ujian dan kelulusan, tiba-tiba benaku penuh dengan ucapan-ucapan laki-laki tiga belas semalam.
"Mungkin dia benar, terlalu ambisius juga tidak baik."

🚲🚲🚲

See you in next part.

Publikasi 14/02/2021



Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt