02. JOY, BUKANNYA KAU SUDAH MEMBERIKU NAMA?

100 64 54
                                    

Happy reading

🚲🚲🚲

"Joy!"

Aku langsung menoleh ke belakang, mendapati Soraya sedang berlari kecil menuju kearahku.
Tak lupa beberapa paperbag ramah lingkungan yang dicangkingnya ikut mengayun seiring langkahnya berjalan.

Aku tersenyum simpul, menawari tangan untuk mengambil alih dua paperbag ditangannya.
"Kukira kau sudah pulang," ucapku memulai pembicaraan.

Soraya terlebih dahulu mengembuskan napas, tampak  sangat kelelahan sekarang.
"Aku sedikit kesal, Gilang harus menemui klien untuk kasus yang sedang ditanganinya. Oh iya, Joy. Kau tahu? Anak pemilik rumah yang sedang aku tangani ternyata masih muda."

Kami berdua melanjutkan perjalanan lagi. Aku menoleh setelah mendengar kalimat akhir yang Soraya lontarkan.
"Bukannya sudah punya anak katamu?" tanyaku dengan dahi menyirit.

"Menurutku juga seperti itu, tetapi jika dia sudah mempunyai keluarga, mengapa kamarnya terlihat seperti anak kuliahan?"

Aku memutar otakku sebentar, setelahnya membelalakkan mata.
"Kau masuk ke dalam kamarnya?" tanyaku tak percaya.
Soraya hanya terkekeh sembari menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
"Hanya sedikit mengintip."

Jawaban entengnya membuat aku kembali melebarkan bola mata, seenteng itu jawabannya?

"Sudah, tidak perlu dibahas lagi."

Aku membuka pintu kos kami yang nampak asri.
Sewaannya cukup mahal, itu sebabnya aku dan Soraya tinggal bersama.

Jika ditanya mengapa, membayar setengahan jawabannya.

🚲🚲🚲


"Mbak, teh tanpa gulanya satu, ya," pesanku pada pemilik Warung yang sedang kusinggahi, Mbak Ami.
Tanganku meraba kedalam tas slempang berwarna putih yang selalu kubawa, mengambil notebook yang selalu kubawa kemana-mana.

Kini mataku terpejam, mencari ide cerita baru yang niatnya akan kuikut sertakan untuk lomba menulis tiga bulan.
Namun karena suasana Warung yang cukup ramai, ditambah suara dentingan sendok bersahutan, aku kembali menutup notebook itu.

"Terima kasih, mbak."
Mbak Ami selaku pemilik warung hanya tersenyum sebentar kepadaku. Ia kembali menuju meja belakang untuk melanjutkan pekerjaannya.

Tanganku meraih gagang cangkir berisi teh tanpa gula yang kupesan beberapa menit lalu.
Mataku mengedar, siap menyesap minuman melegakan itu. Namun sialnya, aku tersedak.
Terbatuk-batuk walau tak lama sembari memfokuskan objek di balik kaca Warung yang tembus pandang.

Aku langsung berdiri, mengambil selebaran rupiah berwarna kuning untuk membayar teh yang baru kuminum sedikit.
Kemudian keluar dari Warung dekat perempatan kota masih dengan pandangan tertuju pada objek di depan sana.

Aku meraih tangannya lumayan cepat setelah mendapatinya hendak kembali melangkahkan kakinya. Mencoba meyakinkan diri bahwa laki-laki yang sedang kupegang tangannya ini adalah laki-laki yang kemarin kutemui di halte buss dekat Sekolah.

Ia menoleh, lagi-lagi sinar matahari siang membuat mataku menyipit karena silau.
Namun setelah ia kembali menegakan tubuhnya sehingga matahari tertutup oleh badannya.

Tampak beberapa helai rambutnya yang terjatuh didahi, sama seperti di halte kemarin. Satu tangannya yang terbebas dari cekalanku memegangi tas slempang berwarna hitam yang dibawanya.

Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang