27. Luka yang membekas

Mulai dari awal
                                    

Satya mencoba menelpon Wira dan Edric yang masih ada di rumah Dirga, mereka sengaja tidak menyuruh Wira dan Edric untuk pergi dulu karena jika sewaktu-waktu Jeno pergi ke rumah itu, mereka bisa mengabari Johnny juga Satya.

"Pa, Wira gak angkat telponnya."

"Kamu ngapain telpon dia?"

"Siapa tau dia lihat Jeno di rumah Dirga."

Johnny mengabaikan jawaban Satya dan kembali fokus pada jalanan yang mulai sepi. Ia berharap dimana pun Jeno saat ini, anak itu dalam keadaan baik-baik saja.

Setelah berapa lama melakukan perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Dirga. Namun yang mereka lihat rumah itu begitu gelap seperti tidak ada orang di dalam rumah itu.

"Loh? Ilang semua orang rumahnya?"

"Telepati kali Pa."

"Apa urusannya sama telepati sih? Aneh-aneh aja kamu."

"Idih canda doang si Bapak baper amat."

"Ck, ya udah sekarang mau kemana lagi?"

"Rumah sakit aja ayo, siapa tau Dirga jagain Jaevir di sana."

"Pinter kamu."

"Lah baru nyadar si Bapak."

Pria itu hanya tertawa kemudian menyuruh Satya untuk masuk kembali ke mobil dan mereka bergerak menuju rumah sakit tempat Jaevir di rawat kemarin.

Tiba di rumah sakit mereka langsung pergi ke ruang rawat Jaevir dan benar saja disana ada Dirga dan kedua bodyguardnya.

"Dir, Jeno sama lo?"

Dirga menatap Johnny sesaat, "Enggak, ngapain juga gue ngurusin dia lagi, kan dia anak lo."

"Gue tau, tapi dia masih sayang sama lo. Dia gak nemuin lo gitu?"

"Gak."

"Ck, terus tuh anak kemana.."

"Jeno kabur dari rumah lo?" Johnny mengangguk.

"Paling juga ke club."

BUGHH

Johnny sebenarnya tidak ingin terpancing emosi, tapi ucapan Dirga barusan seakan-akan kembali merendahkan derajat Jeno didepan matanya.

"Jeno bukan anak kayak gitu, lo gak perlu sembarang ngomong."

Dirga tertawa, "Gue jagain dia selama 16 tahun ini, gue lebih tau dari pada lo, John."

"Lo kira gue gak pernah lihat perkembangan Jeno? Gue gak bodoh, Dir."

"Udahlah, gue males debat sama lo! Gak guna anjing."

Memilih mengalah akhirnya Johnny diam dan menyandarkan tubuhnya di dinding, bersebrangan dengan tempat Dirga duduk. Sedangkan Satya mengintip ke ruang rawat Jaevir. Ia bergidik ngeri saat melihat berapa banyak alat yang di pasang di tubuh Jaevir untuk menunjang kehidupannya.

Melihat kondisi Jaevir mengingatkannya kembali pada Marven yang pernah di kondisi seperti itu juga. Jadi paling tidak ia tau gimana rasanya menjadi Jeno, apalagi saat melihat kakaknya sendiri dalam kondisi seperti ini.

Mau bagaimanapun, Jaevir tetap saja ia anggap sebagai adik sendiri walaupun Jaevir bukan adik kandungnya Tidak ingin melihat kondisi pemuda itu lebih lama, akhirnya Satya memilih untuk pergi dari tempat itu sekedar untuk mencari angin dan menjernihkan pikirannya.

Setelah beberapa lama berjalan sambil menunduk, ia mengangkat kepalanya dan matanya membulat saat melihat Jeno yang berjalan ke arahnya dengan tatapan kosong, tidak lupa dengan baju anak itu yang penuh dengan darah yang sudah mengering.

Ephemeral [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang