24. Hati yang sudah mati

Börja om från början
                                    

"Ayah lagi kan? Apalagi sekarang? Lo baru balik dari rumah sakit aja udah diginiin, lo masih sayang sama Ayah yang modelan kayak gitu?"

Jeno tersenyum lalu mengangguk, "Gak ada alasan buat benci sama Ayah kan? Jeno gak bisa benci sama siapapun."

"Gak mungkin, semua perkataan lo tuh bohong. Sebenernya lo mau buat benci sama Ayah tapi lo gak berani karena takut Ayah tambah marah sama lo kan?"

"E-enggak gitu bang, maksud Jeno-"

Jaevir menghempas kasar wajah Jeno membuat remaja itu kaget, baru kali ini ia melihat kakaknya melakukan hal seperti ini padanya.

"Jangan bego, lo berhak benci orang Jen! Jangan tolol jadi orang, jangan mendem semua kesedihan sendirian."

Jeno tersenyum, "Emang kalau Jeno cerita, siapa yang mau percaya? Siapa yang mau peduli? Siapa..yang mau dengerin?"

"Kenapa sih bego banget-"

Tangan Jaevir yang hendak memukul Jeno tiba-tiba saja ditahan oleh Wira yang tidak sengaja lewat dan melihat keadaan di dalam kamar Dirga.

"Jaevir, kamu mau jadi kayak Tuan Dirga? Kenapa kamu mau mukul Jeno?"

"Tanya aja sama dia kenapa tolol banget jadi orang. Mendem semua masalah sendirian seakan-akan dia paling kuat, sok kuat padahal aslinya lemah banget."

Hati Jeno kembali tergores kala mendengar kata lemah yang diberikan oleh Jaevir. Apa sekarang Jaevir yang akan membencinya sama seperti yang dilakukan Dirga padanya? Hidup macam apa ini? Setelah menjatuhkan hidup seseorang, semesta kembali menginjak dan menendangnya hingga orang itu tak dapat berkutik.

"Dia yang tolol atau kamu? Semua orang punya porsi kesedihan dan kebahagiaan masing-masing, Jae. Hak Jeno kalau dia gak mau cerita tentang kesedihannya kebanyak orang, kamu gak ada hak buat ngatur dia."

"Gak ada hak? Gue abangnya! Lo gak usah sok tau, lo gak lebih dari seorang pembantu di rumah ini tau gak? Gue yang lebih tau kondisi adek gue."

"Kamu gak tau Jae, kamu cuma pura-pura tau biar orang-orang anggap kamu itu kakak paling pengertian padahal kenyataannya enggak."

Jaevir berdecak kesal dan membuang asal salep yang tadinya ia pegang. Meninggalkan Jeno kembali dalam sendiri dan membuatnya kembali berpikir bahwa semua yang terjadi adalah karena salahnya.

"Jen kamu gapapa?"

Jeno tersenyum lalu mengangguk, ia mencoba bangun namun sedetik kemudian tubuhnya limbung dan dengan sigap Wira menahan tubuh Jeno dan langsung membawa tubuh itu kedalam pelukannya.

"Saya tau, saya paham kamu sedih. Kalau kamu takut cerita ke orang lain, kamu bisa cerita ke saya. Anggap saya kayak kakak kamu sendiri."

Jeno terdiam, ia meremas kuat jas milik Wira dan menangis. Kembali ia melampiaskan semua sesaknya hanya pada Wira, ia tidak tau bagaimana hidupnya jika Wira tidak masuk dalam kehidupannya sekarang.

"Sekarang kamu istirahat ya? Maaf saya gak bisa temani kamu istirahat karena Tuan Dirga meminta saya untuk mengantarnya pergi, sebagai gantinya saya sudah menyuruh Hesta untuk menjaga kamu."

Remaja itu hanya mengangguk dan kemudian mengikuti Wira untuk kembali ke kamarnya. Ketika ia membuka pintu kamarnya ia dapat melihat Hesta yang menyambutnya dengan senyuman hangat membuat Jeno ikut tersenyum walau senyum itu terlihat begitu tipis.

"Dek, gue titip Jeno ya? Gue pergi dulu."

"Hati-hati kak." Wira mengacungkan jempolnya.

Hesta menatap Jeno yang masih diam di depan kamarnya, dengan cepat Hesta menarik tangan Jeno untuk masuk dan ia meminta Jeno untuk mengganti bajunya terlebih dahulu sambil menunggu makanan yang akan di antarkan oleh Bi Ima.

Ephemeral [TERBIT]Där berättelser lever. Upptäck nu