"Tidak gratis, ya."

"... Berapa?"

"Sepuluh ribu yen," tukas Mikasa membuat Jean terperangah, kemudian tertawa.

"Mahal sekali. Kamu memasukan serbuk emas ke dalamnya? Tidak mau."

"Kalau kamu tidak mau, ya sudah."

Tawa Jean kian renyah, perasaanya tiba-tiba seperti melambung ke udara. Meluap. Entah bagai mana harus menjelaskan ketika Jean mendengar---kata kamu kepadanya untuk yang pertama kali. Jean merasa ada kembang api meledak-ledak di atas kepalanya, begitu meriah dan suka cita. Ah ... tidak bisa digambarkan lagi, Jean diam-diam mengusap wajah, menutup rona malu, jangan sampai Mikasa sadar dan memandangnya aneh. Kata kamu yang keluar dari lisan Mikasa begitu istimewa untuknya. Selama ini Mikasa menggunakan kata kau yang terkesan formal kepada Jean, tapi tiba-tiba dia merubahnya menjadi kamu, apa hanya refleks? Atau memang Mikasa sedang membuka batas agar hubungan meraka bisa jauh lebih dekat?

Tidak tahu, yang jelas Jean seperti akan mati karena terlalu bahagia. Jantungnya berdegup, peredaran darahnya mengalir cepat terasa sesuatu menyusup halus ke dalam hatinya. Namun perasaan itu tidak berlangsung lama sebab suasana pecah saat tiba-tiba smartphone Mikasa di atas meja berdering. Layarnya menyala mengalihkan perhatian Mikasa.

"... Tunggu sebentar." Dia menatap layar ponselnya, izin memotong kemudian membuat wajah serius, sebab Levi yang berada dalam panggilan tersebut.

Levi meminta tolong kepada Mikasa untuk pergi ke apotek dan mengantarkan obat yang dibelinya ke sebuah alamat. Levi merangkum jika obat tersebut untuk temannya yang sedang sakit keras, sementara orang itu tidak bisa melakukan apapun. Mulanya Mikasa berdalih memangnya dia jasa pengantar barang, Mikasa menolak. Levi bisa pergi dan mengantarnya sendiri apa lagi orang tersebut temannya. Namun tidak bisa, Levi amat sibuk dan dia tidak enak untuk menyuruh orang lain selain adiknya sendiri. Mikasa juga tetap tidak mau karena dia juga sedang sibuk makan malam.

Levi kemudian membuat keputusan sambil terus memohon. Mikasa boleh menuntaskan kegiatannya terlebih dahulu, lalu pergi sesuai dengan apa yang Levi pinta. Apa boleh buat untung saja ada Jean yang mau membantu untuk ikut menemaninya, pemuda itu sama sekali tidak keberatan.

Tengah malam.

Mikasa serta Jean sudah berada di depan pintu apartemen. Tidak sulit untuk mencari alamat yang Levi berikan, hunian itu berada di tengah kota membuatnya mudah ditemukan. Mikasa membawa sekantung obat dengan logo apotek, yang terdiri dari analgesik, obat tidur, dan multi vitamin. Mikasa tidak tahu siapa pemilik unit apartemen tersebut, rasanya agak sungkan untuk menekan bel terkesan tidak etis bertamu tengah malam seperti ini.

Bel pertama yang Mikasa buat tidak ada jawaban, lalu bel kedua, ketiga, berkali-kali Mikasa memanggil sang pemilik rumah namun tetap hening seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Alhasil, Mikasa menelepon Levi memberi tahu bahwa sang pemilik unit tidak juga membukakan pintu, apa orang itu benar ada di sana?

Levi hanya menjawab tidak tahu, coba saja Mikasa masuk ke dalam dan periksa. Levi takut siapa tau temannya itu bersemaput tidak sadarkan diri, kalau tebakan Levi benar lantas siapa yang memberikan pertolongan untuknya? Dia tinggal seorang diri. Mikasa menghela napas mengetahui hal itu, lalu apa yang bisa Mikasa perbuat? Dia jadi kebingungan. Levi hanya meminta Mikasa agar tetap tenang, kemudian menyuruh kedua orang itu masuk ke dalam rumah, Levi memberikan kode aksesnya. Mikasa sontak terkejut, apa Levi gila? Mereka tidak mau jika sampai dikira penyusup lalu dilaporkan ke polisi. Mikasa menolak, tapi Levi tetap bersikeras, Mikasa mengumpat. Ah, sial. Orang itu sangat merepotkan. Mikasa akhirnya menyerah dan memilih untuk terus mengikuti ucapan sang kakak.

Forbidden ColorWhere stories live. Discover now