Bab 17

590 44 3
                                    

☘️☘️☘️

"Hani... Ayo bangun."

Haniyya masih mengantuk. Namun Azhar membangunkannya. Bukan karena pria itu tak sayang istri. Dia hanya menuanaikan amanat yang diberikan istrinya sejam lalu. Mereka sempat bersenggama untuk pertama kali. Haniyya berpesan agar ia dibangunkan bila tertidur. Ia ingin bangun lebih awal untuk mandi wajib. 

"Mas Azhar sudah mandi?"

Haniyya menyergapkan mata, menyaksikan suaminya. Azhar hanya memakai celemek yang melilit di bagian bawah tubuhnya. Ngomong-ngomong Haniyya jadi salah fokus. Postur tubuh Azhar lumayan juga. Bisa jadi bintang iklan L-Men seandainya pria itu mau.

"Iya. Kamu buruan mandi ya. Kita sholat tahajjud bersama-sama."

Haniyya mengangguk. Tak apalah hidup tanpa cinta, yang penting kepura-puraan ini cukup menenangkan. Ah, nikmati sajalah dulu. Tak usah larut dalam patah hati. Meskipun bertahan hanya kepingan hati, Toh ia masih bisa hidup. Masih sanggup bernapas. Meskipun agak sesak.

Azhar mendekati tasnya, hendak berpakaian. Dia memang sempat bawa beberapa helai pakaian dari rumah. Mungkin Azhar akan tinggal lebih lama di rumah mertuanya dulu, sampai Haniyya dan keluarga tak lagi berkabung.

Haniyya bangkit dan bergegas untuk mandi.

Di dalam kamar mandi, Haniyya mulai membersihkan diri. Dia mengingat kembali momen antara dirinya dan Azhar. Tanpa cinta dari Azhar pun, mereka berhasil melewati malam pertama. Haniyya melakukan hubungan intim bukan karena ia haus akan seks? Dia melakukan itu hanya karena semua pasangan suami istri melakukannya. Tidak sesakit yang dipikirkan orang-orang. Ya, begitulah. 

Seperti kebiasaannya saat belum menikah, Haniyya menghabiskan satu jam di kamar mandi. Ketika ia keluar dari dalam sana, Azhar sibuk membaca Al-Qur'an. Wah, kalau berada di rumah, Azhar menjadi begitu sangat religius. Bangga punya suami sholeh macam dia.

"Maafkan Hani kalau terlalu lama ya, Mas." Ada perasaan tak enak bila menyaksikan suaminya menunggu.

Satu jam di kamar mandi memang agak keterlaluan? Istri Azhar itu hanya tidak mau mandi asal-asalan. Dia mengutamakan kebersihan. Wanita itu tak tahu cara mandi terburu-buru. Kalau buru-buru maka tidak bersih lah. "Tak apa. Segera pakai pakaianmu. Setelah itu kita tunaikan ibadah sholat sunnah."

Butuh 20 menit bagi Haniyya untuk mengganti pakaiannya. Ini adalah waktu tercepat yang ia lakukan. Biasanya Haniyya akan bersantai ria dulu.

Setelah semua siap, Azhar dan istrinya pun menjalankan ibadah sholat malam bersama.

☘️☘️☘️

"Bagaimana kabar mesjid Al-Azhar yang Mas bangun itu?" Haniyya bertanya setelah mereka selesai sholat subuh berjamaah.

Tak bisa dipungkiri oleh Haniyya bahwasanya, dia dan sang suami memiliki hubungan yang agak renggang beberapa hari ini. Wanita itu berusaha menghilangkan perasaan canggung di antara mereka.

"Oh, mesjid itu? Mungkin dua minggu lagi baru selesai. Kenapa? Berniat mengunjungi tempat itu lagi?"

Kencan pertama mereka adalah mengunjungi mesjid itu. Haniyya berpikir kalau mereka kembali mengenang masa-masa awal pertemuan mereka, mungkin Azhar bisa lupakan Zoya, dan Haniyya pun bisa tenangkan pikiran setelah kehilangan ibunya.

"Berarti sudah 75% yang selesai?" tebak Haniyya.

Azhar mengangguk. Dia mengamati istrinya dengan intens. Setelah kejadian manis semalam. Azhar tak bisa melupakan kesenangan antara dirinya dan sang istri. Sebetulnya Haniyya tidak buruk, hanya hati Azhar saja yang plin-plan. Kalau mau egois, ia ingin sekali dapatkan Zoya.

"Ya, mungkin begitu."

"Hani...," panggil Azhar.

"Ada apa, Mas?"

Azhar merubah posisinya menjadi berdiri. Di melangkah semakin dekat ke arah istrinya. Lelaki itu memberikan hadiah kecupan di kening istrinya seperti yang selalu ia lakukan sejak awal-awal menikah. Haniyya merasa gugup dengan perlakuan suaminya.

Haniyya sudah berusaha hancurkan tembok kegugupan itu, lalu Azhar memunculkan perasaan itu lagi. Bagaimana Haniyya tidak larut dalam cintanya kalau Azhar sendiri selalu berikan dirinya perhatian?

☘️☘️☘️

Sebelum meninggalkan rumah, Azhar sudah berpesan pada Rayyan bahwa jika lelaki itu butuh bantuan, ia siap membantu. Meskipun ia dan istrinya sedang keluar rumah bukan berarti mereka tak peduli pada kematian Fatimah. Dia bahkan sudah pesan seribu buku Yasin mungil yang siap dibagikan kepada orang-orang.

Sekarang, di sinilah Azhar dan istrinya berada. Mesjid yang cukup jauh dari keramaian. Mereka terpukau memandangi mesjid yang ada di hadapan mereka. Mesjid yang dulu hanya berupa konstruksi, kini sudah terlihat begitu memukau. Ada taman bunga di depan mesjid itu. Beraneka ragam jenis bunga, sampai Haniyya tidak tahu bunga apa saja yang ada di sana.

"Apa Mas Azhar yang menanam semua bunga ini?"

Nyaris mustahil membayangkan seorang pria memikirkan keindahan. Apalagi dengan menanam bunga beraneka ragam. Di dunia ini, apakah ada seorang lelaki yang mau melakukan itu.

"Tidak sepenuhnya benar. Mas hanya beli bunganya di toko bunga lalu Mas minta bantuan arsitek wanita merancang dekorasi tamannya. Mas hanya menanam beberapa." Azhar menunjuk bunga matahari yang telah mekar.

"Di sana ada bunga matahari."

Bunga matahari sangat spesial di hati Haniyya. Bagaimanapun juga, ada momen antara dirinya dan Azhar yang berkaitan dengan bunga tersebut.

"Setiap kali melihat bunga matahari, Mas selalu ingat dirimu. Itulah sebabnya Mas membeli dan membiarkan bunga matahari itu tertanam di sana."

Oke. Jangan terbawa oleh perasaan. Bayangkan ini semua hanyalah sementara. Azhar hanya berusaha menyenangkan hatimu. Haniyya menanamkan kalimat itu dalam hatinya.

"Terima kasih sudah tanam bunga matahari ini, Mas. Mesjid ini akan ramai setiap hari. Hani yakin akan hal itu."

Dengan adanya pemandangan menakjubkan di halaman mesjid, tentu akan menarik para jamaah untuk mampir di sana. Keindahan visual akan menarik lebih banyak umat Islam untuk giat beribadah.

"Mas ingin menunjukkanmu sesuatu. Ada satu hal yang menarik yang tak kalah indah. Kamu tidak tidak boleh melewatkannya."

Azhar menarik tangan istrinya menuju halaman samping mesjid. Secara harfiah, mesjid itu memang bukan hadiah untuk Haniyya. Mesjid itu ada karena memang Azhar membangunkan dengan niat yang tulus. Haniyya hanya merasa senang sebab ia menjadi orang pertama yang mengetahui sisi baik Azhar membangun tepat ibadah itu.

Soal perasaan, mungkin Azhar sangat kaku mengekspresikan rasa cintanya. Bahkan ia bisa menyakiti hati seseorang tanpa ia sadari. Azhar tidak peka terhadap perasaan wanita. Namun, perihal ibadah ia sangat menjadikannya prioritas, nomor satu dalam hidupnya.

"Apa ini kolam ikan?" tebak Haniyya.

"Entahlah."

Azhar mendekati sebuah kolam dangkal yang ukurannya tidak lebar namun tidak kecil, tepatnya medium. Pria itu menekan satu tombol sampai di tengah kolam itu muncul air yang menyembur ke atas. Itu semacam air mancur. Haniyya sempat membuka mulut karena kagum.

"Kita bisa tambahkan ikan di dalam kolam itu kalau memang itu perlu."

Azhar bergabung dengan istrinya, berdiri di samping wanita itu sambil bersedekap. Ide menambahkan ikan di dalam sana timbul karena sang istri sempat membahasnya tadi.

"Tidak perlu. Kita tidak diperkenankan menyakiti ikan hanya untuk keindahan. Ikan lebih baik bila berada di alam bebas."

Memikirkan ada ikan dalam kolam air mancur itu memang sangat luar biasa. Tapi, kolam itu terlalu dangkal untuk kebebasan ikan.

"Kau benar."

Mata Azhar masih memandangi semburan air mancur saat ia merasakan sesuatu melingkar di tangan kanannya. Ya, Haniyya mengaitkan tangan mereka. Azhar bergeming, membiarkan istrinya membaringkan kepala di pundaknya. Berdebar.... Hati lelaki itu berdetak lagi. Perasaan apa ini? Azhar mengelus rambut istrinya lembut. Mungkin ini permulaan yang baik untuk mereka.

Instagram: Sastrabisu

Sekeping Hati Untuk Azhar (Per Order) SoonNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ