Bab 1: Ayat cinta Azhar

1.3K 65 1
                                    


Challenge Menulis 30 Hari

Penerbit Sinar Pena Amala

Day 1

☘️☘️☘️

"Kapan nikah, Azhar?"

Pertanyaan itu selalu membuat Azhar kehabisan kata-kata. Mengapa semua pria dewasa selalu dituntut menikah? Sungguh bagian dari beban yang harus dipenuhi oleh Azhar. Entah apa yang harus ia jawab kali ini. Sudah terlalu sering dia menjadikan pekerjaan sebagai alasan.

"Aku belum mau menikah, Ma. Usiaku masih muda."

Ashar mengambil laptop yang ada di atas meja. Tak lupa dia memberikan kecupan di pipi ibunya supaya wanita itu merasa lebih baik. Orang tua selalu khawatir bila anak mereka belum menikah saat usia sudah matang.

"Muda bagaimana Azhar? Kau lupa usiamu sudah 32 tahun. Kau sudah sangat terlambat menikah, Nak. Mama khawatir kamu kesulitan dapat jodoh di usia begini."

Azhar mengangkat kening. Memang benar, dia tidak lagi muda. Teman-temannya pun kebanyakan sudah punya anak. Pria itu mengambil sepotong roti di atas meja kemudian melahapnya. "Jangan terlalu pikirkan aku, Ma. Atau Mama akan semakin tua."

Pria itu menyenyumi ibunya seraya berseru, "Aku pergi. Assalamu Alaikum!"

Menggunakan Ferrari berwarna merah, Azhar melajukan mobil menuju sebuah rumah. Dia seorang pemimpin perusahaan yang ia bangun saat masih di bangku kuliah. Sebuah merek pakaian yang cukup laku di pasaran. Di usianya yang sudah berumur ini, dia telah memiliki segalanya, harta, wajah rupawan. Namun, belum jua menemukan jodoh.

Di mana kau jodohku! batin Azhar seiring mobilnya berkendara.

Mobil Azhar menepi di depan rumah batu sederhana dengan cat berwarna biru muda. Di sanalah wanita idamannya tinggal. Seandainya saja perempuan yang ia sukai belum menikah. Mungkin, Azhar sudah meminang wanita itu. Mungkin, ia akan dikaruniai banyak anak. Azhar mengidamkan keluarga dengan banyak anak. Dia sudah merasakan betapa sepinya jadi anak tunggal. Sayangnya, dia belum menemukan wanita pengganti, penghuni hatinya.

"Assalamu Alaikum."

Azhar mengetuk pintu sambil memperhatikan hadiah yang ia bawa. Dia membeli mainan untuk Imran, anak dari empunya rumah. Anak itu sudah berusia tiga tahun. Azhar menyayangi anak itu seperti keponakan sendiri.

"Wa alaikum salam."

Seorang gadis muda membuka pintu. Azhar sudah tak asing dengan cewek itu, Ayesha Haniyya. Dia adik dari wanita yang ia sukai. Azhar melempar senyum hangat seiring gadis itu menuntun masuk.

"Zoya ada?"

"Ada, Kak," jawab gadis itu malu. Dia berusaha menyembunyikan semburat merah di pipinya. Astaga, ganteng sekali pria yang mampir ini? Bolehkah gadis ini mengisi kekosongan hati pria itu?

"Itu hadiah untuk Imran ya, Kak? Sini aku hantarkan ke kamar Imran."

Azhar memberikan mainan yang ada di tangannya mana kala Zoya muncul dari dalam dapur. Dia memakai pakaian hamil ditutupi blazer warna ungu dengan hijab selaras dengan pakaian itu. Perutnya membuncit. Wanita itu sudah mengandung anak ketiga sementara Azhar belum menikah juga.

Zoya menyilakan sahabat sekaligus atasannya duduk di sofa ruang tengah. Langsung saja, Azhar buka laptop dan menunjukkan beberapa desain baju gamis yang akan mereka produksi. Azhar sangat bermurah hati mengunjungi Zoya karena tak ingin wanita itu merasa terbebani oleh pekerjaan. Dia tidak memaksa Zoya kerja di kantor.

"Desainnya bagus, Mas. Aku rasa koleksi ini akan meledak di pasaran. Kebetulan aku juga suka modelnya." Rasanya meneduhkan saat Zoya yang memanggilnya 'Mas', ademnya hati ini. Tapi sayang, dia sudah jadi milik orang lain.

"Jadi menurutmu, aku setujui saja untuk memperbanyak koleksi baru ini? Rencananya mungkin bulan depan baru bisa launch." Ide untuk memasarkan produk pakaian muslimah memang datang dari Zoya, karena kebetulan beberapa teman wanita itu sudah pakai hijab. Selain memasarkan produk, ya amal juga 'kan mengajak orang hijrah?

"Iya, Mas."

Zoya menggeser gambar yang ada di layar laptop. Desainer-desainer yang mereka pekerjakan benar-benar telaten. Luar biasa. Beruntungnya mereka dapatkan partner kerja yang mau bekerja sama.

"Suamimu belum pulang, Dek? Biasanya dia pulang jam segini."

Rayyan, suami Zoya merupakan pemilik usaha bidang arsitektur. Kadang dia pulang siang hari hanya untuk makan siang dengan sang istri. Ah, romantisnya lelaki itu. Dulunya, Rayyan, Zoya, dan Azhar merupakan sahabat. Mereka selalu bersama nyaris setiap hari.

Lalu, suatu ketika Azhar sudah siap melamar Zoya, Rayyan bergerak lebih dulu. Siapa yang akan menolak Rayyan? Dia sangat populer di kalangan cewek. Dia berani ditolak sehingga tak pernah punya waktu menjomblo, sangat berbeda dengan Azhar yang takut ditolak wanita. Sebenarnya siapa yang menolak dirimu, Azhar? Percaya dirilah, kau tidak jelek!

"Mas Rayyan katanya pulang agak sore."

"Oh, gitu."

Azhar melirik majalah anak-anak di hadapannya. Waktu ia melihat anak di sampul majalah itu--memakai kopiah, Azhar ingat sesuatu. Dia menepuk jidatnya. Dia terlalu buru-buru ke rumah Zoya sampai lupa sholat dhuhur. Pria itu meminta izin agar bisa sholat di rumah Zoya. Azhar mengambil wudhu di kamar mandi utama rumah itu kemudian sholat di kamar tamu.

"Cantiknya teman Kak Zoya itu!" seru adik Zoya.

"Maksudmu Azhar? Kau ini ada-ada saja, Haniyya. Azhar itu pria, kok dibilang cantik?"

Zoya memutar bola mata sambil menggelengkan kepalanya. Ayesha Haniyya memang gadis konyol. Kadang mengomentari seseorang dengan kalimat tak masuk akal. Waktu pertama kali lihat Rayyan, dia berkomentar kalau suami kakaknya mirip pensil. Bagaimana bisa? Saat itu memang Rayyan sedikit kurus. Tapi tetap ganteng menurut Zoya.

"Justru karena teman Kak Zoya itu terlalu ganteng. Aku sebut saja dia cantik." Haniyya cekikikan lagi.

Bagi gadis itu, kata cantik memang tidak terlalu mendekskripsikan pria. Dia tidak tahu harus menyebut apa pria seperti Azhar ini. Kulit putih bersih macam aktor Korea, Song Joong Ki. Sungguh meneduhkan hati wanita saat melihatnya.

"Salamkan aku sama dia ya, Kak. Aku mau kok jadi istrinya. Pengin banget punya suami ganteng, kaya, rajin sholat lagi. Azhar ini idamanku banget. Tapi, Kak Zoya. Azhar ini bukan pecinta sesama jenis 'kan?"

Zoya mengibas tangan di depan sambil menjelingkan mata. Sembarangan sekali mulut adiknya ini. Dia kenal Azhar dengan baik. Menurutnya, Azhar tidak homo, hanya tidak berani ungkapkan rasa.

"Azhar itu cowok normal! Awas saja, aku bilang ke dia kamu tuduh dia homo."

"Jangan dong, Kak. Nanti Azhar ilfil sama aku."

Tak lama, Azhar selesai sholat. Dia muncul dengan wajah basah. Haniyya tak sadar buka mulut waktu melihat betapa memesona pria itu. Azhar berdeham karena tak nyaman dengan tatapan adik Zoya.

"Aku ke kantor dulu ya, Zoya. Mana anakmu? Aku mau ketemu dia dulu."

"Ada di kamar, Mas. Langsung cek saja ya. Zoya mau ambil file di laptop dulu."

"Oke."

Azhar masuk ke dalam kamar anak-anak Zoya. Imran tengah tertidur sementara anak sulung sahabatnya yang bernama Fattah sedang asyik belajar. Azhar menyapa Fattah, mengacak rambut anak itu sebelum pergi dari rumah Zoya.

Beberapa orang menyebut Fattah punya kemiripan dengan Azhar. Bagaimana bisa? Jelas-jelas anak itu adalah anak Zoya dan Rayyan.

Tabahlah hati..., Beginilah nasib kalau memendam perasaan sendiri. Sampai sekarang pun, saat Zoya sudah bahagia dengan Rayyan. Wanita itu belum tahu isi hati Azhar. Seperti apa reaksi wanita dengan beberapa anak itu? Mungkin dia bakalan membenci Azhar.

Cintanya pada Zoya tak akan pernah pudar. Dia membiarkan rasa tetap tumbuh tanpa berniat aneh-aneh. Cinta itu tulus. Hanya dengan melihat Zoya bahagia bersama Rayyan. Itu sudah menenangkan hati pria itu.

Pohon yang kuat akan tetap kokoh meskipun badai datang menghampiri. Begitu pun dengan hati yang tulus tak akan hancur meskipun cintanya tak terbalas. Azhar menanamkan ayat buatannya di dalam hati.

Instagram: Sastrabisu

Sekeping Hati Untuk Azhar (Per Order) SoonWhere stories live. Discover now