Bab 3: Perjodohan

398 38 0
                                    

***

"Makasih ya, Mas Azhar. Semalam sudah antar Hani pulang. Kalau tidak ada Mas. Aku enggak tahu harus gimana lagi," kata Zoya tulus.

Semalam dia begitu khawatir mendapati adiknya terjebak di tengah perjalanan. Beruntung Azhar sukarela mau menolong adiknya.

"Enggak apa-apa, Dek. Aku senang bantu kamu dan keluargamu. Kalian adalah bagian terpenting dalam hidupku."

Azhar menyenyumi wanita itu. Matanya masih memandangi Zoya ketika tiba-tiba Rayyan merangkul istrinya dengan begitu posesif. Ya ampun, pria itu sama sekali tak menghiraukan perasaan Azhar yang tengah mengamati.

"Mobilnya Hani sudah di-servis 'kan ya?" tanya Rayyan.

Tangannya masih memegangi tubuh sang istri. Tentu saja Azhar tak bisa tahan memandang ke arah mereka. "Iya. Nanti aku hubungi Hani kalau mobilnya sudah beres," ujar Azhar. Rayyan mengangguk.

Meskipun Zoya dan Rayyan telah menikah, hubungan persahabatan dengan Azhar masih terjalin. Mereka sering mengadakan makan siang bersama. Kebetulan Azhar dan Zoya terlibat proyek pekerjaan bersama. Lalu, Rayyan sendiri adalah pemimpin perusahaan. Dia bisa mengatur jadwal kapan saja sesuai keinginannya.

Rayyan dan istrinya tidak datang berdua saja. Ada putra kedua mereka, Imran. Suasana akan terasa lebih hidup saat ada anak-anak. Apalagi Imran suka menanyakan sesuatu hal. Lihatlah, anak itu sekarang. Dia asyik mengelus perut ibunya dan memberikan pertanyaan, mengalihkan pembicaraan orang tuanya.

"Kapan adek keluar, Umi?"

"Tidak lama lagi, Sayang. Adek akan keluar kalau kakak Imran tetap sehat. Kalau kakak Imran sakit, siapa yang jaga adek?"

"Abi," jawab Imran sambil menunjuk ayahnya.

"Abi 'kan kerja."

Imran menunjuk Azhar kemudian menyebut satu per satu anggota keluarganya mulai dari tantenya Haniyya, kakek dan neneknya, serta kakaknya Fattah. Rayyan yang dengarkan celotehan putranya merasa begitu gemas. Dia sempat mencubit pipi tembem putranya itu.

"Bahagia sekali kalian ini. Bikin iri saja."

Azhar berkomentar sambil menyesap kopi pesanannya. Setiap saat selalu begini. Dia harus menahan rasa cemburu dalam hatinya. Wanita yang disukainya terlihat begitu bahagia bersama pria lain. Azhar sudah terbiasa. Tabah, ini bukan yang pertama kali.

Ada kalanya ketika Azhar menyendiri. Pikiran untuk menggoda Zoya hadir dalam hati kecilnya. Azhar punya banyak kesempatan mengungkapkan isi hatinya. Tetapi, dia tidak akan pernah melakukan itu. Demi persatuan, dan kokohnya persahabatan mereka, Azhar merelakan perasaan cintanya mati lalu terkubur dalam-dalam.

"Makanya Azhar. Menikahlah cepat. Kau punya segalanya. Tunggu apa lagi?"

Rayyan melirik sahabatnya dengan tatapan serius. Ada sedikit perasaan prihatin melihat Azhar masih sendiri. Mungkin itu memang pilihannya. Sebagai teman Rayyan hanya ingin Azhar merasakan indahnya memiliki keluarga.

"Kau ini sudah seperti ibuku, Ray. Setiap hari selalu menasihatiku soal pernikahan." Rayyan tertawa kecil mendengarnya.

"Mau bagaimana lagi, Azhar? Aku hanya ingin yang terbaik dalam hidupmu."

Azhar tidak membalas. Dia menoleh ke arah lain. Kemudian berdecit, "Sebetulnya aku ragu meminang seorang wanita. Kau tahu bahwa aku sudah terlalu tua untuk menikah. Kalian bahkan sudah punya dua anak. Sebentar lagi tiga. Lalu aku? Gadis malang mana yang mau dengan aku."

Kalau bisa, terserah siapa saja perempuan yang mau dinikahi oleh Azhar. Bosan juga terus didesak orang tua dan kerabat terdekat. Azhar tidak ambil pusing paras wanita itu. Yang paling penting perempuan itu setuju dijadikan istri meskipun tanpa cinta. Dia hanya butuh kepingan hati bukan seluruh bagian hati seseorang.

"Kalau kau sadar sudah tua, mengapa tidak disegerakan? Semakin lama usiamu akan bertambah. Jangan jadikan alasan tua untuk menghindari pernikahan. Ada banyak nenek-nenek menikah di zaman moderen ini."

Rayyan benar. Seminggu lalu, Azhar membaca sebuah berita tentang seorang nenek menikah dengan tetangganya. Kalau dipikir-pikir, yang sudah sangat tua saja bisa dapatkan jodoh, apalagi yang seumuran Azhar.

"Aku sudah lama mikirkan ini, Mas. Tapi, aku takut kamu nolak."

Zoya mendadak mengeluarkan pendapat. Pembicaraan tengah serius dan Imran berujar, "Umi mau minum." Alhasil, Zoya menghentikan obrolan dan memberikan minuman kepada putranya. Suasana hening sesaat. Azhar menunggu Zoya kembali fokus padanya.

"Memangnya apa yang kamu pikirkan, Zoya?"

Zoya memberikan ponsel kepada Imran supaya tidak mengganggu jalannya pembicaraan mereka. "Aku berniat mengajukan adikku Haniyya sebagai calon istri untukmu, Mas. Aku mengatakannya karena kebetulan Mas membicarakan soal pasangan hidup."

Azhar tidak berkomentar. Dia mencoba mencerna kalimat yang diucapkan oleh Zoya. "Sebenarnya, itu ide dariku, Azhar. Aku sering membicarakan kamu dan Haniyya. Ditambah lagi semalam kalian sempat berada di dalam mobil yang sama. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Namun, aku yakin kamu dan Haniyya punya momen."

"Momen itulah yang akan menumbuhkan cinta di antara kalian."

Azhar termenung. Betulkah ia bisa mencintai adik dari wanita yang disukainya? Apakah dia sanggup melakukan itu? Rasa cinta dan sayangnya hanya untuk Zoya seorang.

"Apakah Haniyya mau menikah denganku? Bukankah adikmu masih kuliah?"

Azhar tidak mau merusak rencana hidup Haniyya. Semua orang punya keinginan untuk dicapai. Begitu pun adik Zoya. Apalagi gadis itu masih aktif kuliah. "Itu bisa diatur, Mas. Tenang saja. Nanti aku beritahu Hani soal ini."

Walaupun Zoya sudah menenangkan, hati Azhar masih bimbang. Dia bertanya lagi, "Kamu yakin mau jodohkan adikmu dengan lelaki sepertiku? Aku mungkin tidak sebaik yang kamu duga." Sebab Azhar memendam rasa terhadap dirimu, Zoya. Dia telah membunuh perasaannya sendiri, menutup hati terhadap wanita di luar sana. Hatinya pernah hancur, lalu kepingannya hilang entah kemana.

"Kenapa Mas Azhar bertanya begitu? Tentu aku sangat setuju dengan rencana ini. Aku sudah kenal kamu sejak lama, Mas. Aku yakin kamulah orang yang tepat untuk menjadi imam adikku."

Mau alasan apa lagi, Azhar? Pintu cinta telah terbuka lebar. Jangan sia-siakan kesempatan yang tak datang dua kali. "Kamu mau atau tidak, Azhar? Atau kamu mau menolak Hani? Tidak apa-apa. Kami akan mengerti dirimu. Lagipula cinta tak bisa dipaksakan." Rayyan menambahkan.

"Aku setuju, asalkan Hani siap menikah tanpa cinta. Aku akan mencoba pacaran sesudah menikah. Jika kalian berdua sudah yakin ini yang terbaik buatku. Maka aku tak akan menolak. Kalian berdua jauh mengenal aku dari orang lain."

Mata Zoya dan Rayyan berbinar-binar. "Mas mau menikahi Hani?" ulang Zoya memastikan.

Azhar mengangguk sebagai tanda setuju. Akhirnya ada calon wanita yang bisa dibawa ke hadapan ibunya. Azhar menghabiskan kopinya. Dia menatap meja dengan tatapan kosong. Apakah ini keputusan yang baik untuknya? Mampukah ia memberi cinta kepada gadis yang tidak pernah ia sangka akan menjadi calon istrinya?

Selama ini, Azhar tidak pernah melirik Haniyya sebagai wanita spesial. Gadis itu hanyalah adik Zoya, Azhar selalu menganggapnya begitu. Kamu pasti bisa, Azhar. Inilah saatnya kamu melabuhkan hati kepada wanita lain. Buktikan bahwa kamu mampu berpindah ke lain hati, wanita selain Zoya.

"Awal yang baru!" batin Azhar.

Instagram: Sastrabisu

Sekeping Hati Untuk Azhar (Per Order) SoonOnde histórias criam vida. Descubra agora