Bab 14

368 39 2
                                    

☘️☘️☘️

Haniyya memilih tinggal di rumah orang tuanya untuk sementara. Intuisi wanita itu membawa dia ke sana. Perasaan tidak tenang muncul dalam benak Haniyya seakan ada sesuatu yang besar akan terjadi di rumah itu. Mungkin karena ia terlalu membayangkan kemarahan orang tuanya bila mengetahui dia berusaha menjauhi Azhar.

"Ponselmu mati, Nak? Zoya menelepon katanya Azhar sulit menghubungi dirimu."

Lamunan Haniyya buyar. Dia menoleh ke arah ibunya yang kelihatan pucat. Tunggu..., ada sesuatu yang berbeda dari ibunya hari ini. "Bilang padanya kalau Hani baik-baik saja. Ponsel Hani rusak, Ma."

Rusak kalau diaktifkan. Ponsel itu hanya akan menyakiti Haniyya kalau membaca pesan mesra suaminya. "Oh ya, Ma. Mengapa hari ini ada yang berbeda dari Mama? Apakah Mama sakit?"

"Tidak."

Fatimah duduk di samping putrinya. Tangan wanita itu membelai lembut jilbab Haniyya. "Apapun yang terjadi antara kau dan Azhar. Dia tetaplah suamimu. Mama tidak mau kamu menjadi istri durhaka."

Apa yang harus Haniyya lakukan? Jika cinta Azhar bukan untuknya apakah ia harus bertahan dalam sebuah kepalsuan? Dia seorang wanita. Punya perasaan. Baginya cinta bukanlah sebuah permainan.

"Tidak ada masalah apapun yang terjadi antara aku dan Mas Azhar, Ma."

Ada helaan napas sebelum Fatimah berucap, "Mama sudah percayakan kamu kepada Azhar. Dengan bersama suamimu, Mama bisa tenang meninggalkan kamu di dunia ini."

Mata Haniyya membelalak. "Apa maksud Mama bicara begitu? Mama sakit? Mama tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari Hani, 'kan?"

Mengapa Fatimah harus bahas kematian? Haniyya belum bisa kehilangan ibunya. Bagaimana jika nanti Azhar menceraikannya. Tekad Haniyya menciut untuk memperjuangkan Azhar. Dia pernah menyemangati dirinya sendiri untuk taklukkan hati Azhar. Namun, itu tak semudah bayangannya. Wanita itu tak sanggup kendalikan patah hatinya. Sekuat apapun ia mencoba, usahanya mengkhianati hasil.

"Mama tidak sakit. Jangan alihkan pembicaraan, Hani. Mama sedang membahas kau dan Azhar. Mama merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Azhar. Mama tahu ponselmu tidak rusak."

Fatimah mengambil ponsel Haniyya di meja lalu menyalakannya. Dia menunjukkan ponsel itu yang sedang dalam proses menyala. Ah, ketahuan sudah. Naluri seorang ibu memang kuat. Atau mungkin ada sesuatu yang Zoya katakan kepada ibunya? Pernikahan Azhar-Haniyya memang hanyalah sebuah proyek Zoya dan Azhar. Kemudian Rayyan sebagai arsitek yang merancang semuanya. Haniyya hanyalah bahan yang tidak berharga.

"Sekarang angkat panggilan suamimu."

Saat ponsel Haniyya hidup, secara otomatis nama Azhar tertera di layar I-phone itu. Usaha Azhar menghubungi wanita itu sepertinya tidak putus. Mau tidak mau Haniyya mengangkat panggilan suaminya. Dia berusaha mengabaikan hatinya yang luka, dan mulai bicara dengan Azhar.

"Assalamu Alaikum, Mas."

Rasanya tidak sebahagia dulu saat Azhar menelepon. Haniyya memang hanya gadis polos sehingga ia mudah dibohongi.

"Wa Alaikum Salam. Mengapa baru aktif sekarang, Sayang? Mas sudah hubungi sejak tadi pagi. Apa kurir pembawa hadiahnya sudah sampai?"

Setiap kali memanggil Sayang, Haniyya merasa sesuatu menggores hatinya. Azhar terlalu pandai berakting, dan Haniyya tidak bisa membedakan mana pura-pura dan kenyataan.

"Belum, Mas. Hani baru baca pesan Mas sore ini."

"Ya sudah. Kalau ada waktu besok, kamu ke kantor Pos ya. Semoga kamu suka hadiah dari Mas."

Sekeping Hati Untuk Azhar (Per Order) SoonWhere stories live. Discover now