Bab 16

446 48 2
                                    

☘️☘️☘️

Setelah memarahi istrinya, Azhar merasa bersalah. Pria itu berpikir kalau ia terlalu bersikap keras terhadap Haniyya. Gara-gara cintanya pada Zoya, ia lupa kalau istrinya juga perlu diperhatikan. Azhar sempat mengutuk dirinya sendiri.

Percuma, Azhar. Kalau sudah terlanjur ciptakan luka di hati istrimu buat apa menyesal?

"Hani..., Mas ingin bicara sama kamu."

Mengusir semua ego dalam dirinya, Azhar mendekati Haniyya yang sibuk mengayunkan Harraz. Haniyya cuma menolehkan wajahnya sebentar ketika suaminya sedang bicara. Bila lama-lama memandangi wajah rupawan Azhar, rasanya seperti ada goresan luka dalam hatinya.

"Bagaimana keadaan Zoya, Mas?"

Bukankah kamu senang membahas Zoya, Azhar? Haniyya berusaha menguatkan hatinya. Diabaikan oleh Azhar bukanlah sesuatu yang baru. Tak perlu memikirkan hatinya yang luka.

"Keadaannya sudah membaik. Dia sudah tidur di kamar."

Azhar duduk di samping istrinya. Ada apa gerangan? Masih berusaha bujuk Haniyya? Minta kesempatan lagi? Setelah membuat Haniyya berderai air mata tadi, kamu baru menyadari kalau dirimu bersalah?

"Bagaimana keadaanmu?" Azhar bertanya sambil memandang serius istrinya.

"Seperti yang Mas Azhar lihat, aku baik-baik saja. Mas Azhar tidak usah cemaskan Hani." Pikirkan saja bagaimana cara bahagiakan Zoya. Bukankah itu yang kamu inginkan, Azhar? Zoya adalah prioritas sementara Haniyya berada di urutan terakhir.

"Kalau Mas Azhar ingin membantu, lebih baik Mas Azhar temani Kak Rayyan mengurus segala sesuatu. Tidak usah pikirkan Hani."

Azhar memegang tangan istrinya. Dia mencium punggung tangan itu. "Maafkan Mas yang sudah bentak kamu tadi ya... Sungguh tak ada niat buat dirimu bersedih." Haniyya melepaskan tangan suaminya perlahan-lahan.

"Aku sudah maafkan Mas Azhar. Hanya itu 'kan yang Mas Azhar ingin dengar? Sekarang Mas Azhar boleh pergi." Haniyya sudah tidak butuh perhatian lagi. Dia bisa tangani patah hatinya sendirian.

Azhar menggeleng keras. "Kamu berhak marah sama Mas," kata Azhar. Memang Haniyya berhak marah! Dia tidak ingin bicara dengan dirimu dulu. Paling-paling perhatian Azhar merupakan kebohongan lagi seperti biasanya.

"Tapi ingat, marahnya jangan sampai tiga hari. Takut Allah marah sama kita." Kenapa jadi berceramah?

"Hani tidak marah Mas. Beneran. Hani sudah iklhas dengan takdir Hani. Apa yang harus Hani lakukan kalau Mas Azhar memiliki cinta untuk orang lain?"

Kata orang, cinta itu murni dari dalam hati. Kalau Azhar sudah cinta kepada orang lain, Haniyya bisa apa? Cinta sifatnya cacat logika. Istri orang pun kalau sudah cinta bukanlah sebuah masalah.

"Cinta Mas akan berakhir untukmu, Hani. Itu sudah pasti. Tapi semua butuh proses. Bantu Mas Azhar lewati proses itu."

Harraz sudah tidur sehingga Haniyya bisa meninggalkan anak itu sekarang. "Apapun yang mau Mas Azhar lakukan maka laksanakan saja. Namun, untuk saat ini Hani ingin sendirian. Hani belum bisa melupakan Mama. Pikiran Hani masih kacau, Mas."

Terlalu banyak duka yang mampir dalam hidupnya. Haniyya tidak tahu mau menyembuhkan duka yang mana dulu. Kalau ingat ibunya, pikiran Haniyya perlahan drop. Pesan terakhir ibunya adalah agar ia tidak berpisah dari Azhar. Apakah Haniyya bisa laksanakan keinginan itu? Apakah Haniya sanggup tinggal bersama Azhar? Walau hati serasa dihancurkan berkeping-keping setiap hari?

Haniyya sudah berjalan menuju arah dapur ketika Azhar mendadak menghampiri sambil memeluk dari belakang. Sudah beberapa hari mereka tak berpelukan. Ketika Azhar memberikan pelukan hangat itu, amarah Haniyya beringsut padam. Tangan Azhar yang melingkari perutnya berhasil menciptakan debaran di jantung wanita itu.

Kalau sudah diperlakukan semanis itu, bagaimana caranya Haniyya mampu menolak?

"Mas menyesal marahi kamu sebelumnya. Sungguh, Mas tidak mau kamu menghindari Mas. Hanya kamu yang bisa memahami Mas dengan baik. Meskipun Mas sakiti hatimu, kamu selalu berusaha menjadi istri sempurna buat Mas."

Baguslah kalau kamu sudah sadar, Azhar.

Azhar memutar tubuh istrinya sehingga mereka saling berhadapan. Mata mereka beradu. Mata Haniyya berkaca-kaca. Kemudian Azhar mengelap air mata yang menggenang di sana. "Jadi, apa yang membuat kamu marah sama Mas? Kamu bisa keluarkan semua uneg-uneg-mu kepada Mas."

"Hani tidak senang dengan perhatian Mas Azhar kepada Kak Zoya. Hani cemburu. Tapi, Mas Azhar tidak mau mengerti. Hani juga terluka, Mas." Haniyya menumpahkan isi hatinya.

Azhar tidak menyela, membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan hatinya.

"Dan soal kematian Mama. Ini semua gara-gara, Hani, Mas."

Tak ada seorang pun yang tahu kalau sebelum meninggal Fatimah dan putrinya punya momen bersama. Fatimah masih sempat menemani Haniyya berbelanja di supermarket, masih sempat nasihati Hani soal pernikahan dan komitmen di dalamnya.

"Mama meninggal karena Hani membuatnya banyak pikiran. Hani buat Mama kaget. Hani ceritakan masalah pribadi Hani tanpa memikirkan penyakit jantung Mama."

Pertahanan Haniyya runtuh.

"Stttt. Jangan bicara begitu. Mama meninggal karena memang sudah takdirnya," bisik Azhar.

Pria itu memberikan dekapan kepada istrinya. Dia tidak pernah tahu seberapa berat yang harus dilalui istrinya sendirian.

"Maafin Mas yang tidak memahami perasaanmu. Kedepannya Mas Azhar akan usahakan untuk menjaga hatimu." Haniyya tidak membalas. Dia tahu sedikit tentang Azhar. Wanita itu tak mau banyak komentar.

☘️☘️☘️

Setelah membaca ayat suci Al-Qur'an untuk mendiang ibunya, Haniyya mengambil napas panjang. Jam menunjukkan pukul 23:00 malam. Satu per satu para tetangga mulai meninggalkan rumah mendiang ibunya. Setelah menumpahkan kesedihan dalam dekapan Azhar, Haniyya jadi malu membayangkan dirinya sendiri tadi.

Malu-lah, Haniyya. Azhar sudah melihat sisi paling kemahnya. Haniyya sejak tadi berusaha menghindari lelaki itu. Ia mencoba tenangkan jiwanya dengan cara banyak mengaji.

Saat Haniyya masuk kamar, ia mendapati suaminya sedang sholat malam. Pria itu selalu buat Haniyya terpesona akan kesolehannya. Seandainya cinta lelaki itu hanya untuknya. Mungkin ia akan menjadi perempuan paling beruntung di dunia.

Tanpa menunggu suaminya, Haniyya memilih berbaring lebih dulu di tempat tidur. Meskipun tak bisa tidur, ia mencoba menutup matanya. Kalau ia membuka matanya, apa yang harus ia katakan ke Azhar?

Tak lama terdengar langkah kaki Azhar mendekat ke arahnya. Lelaki itu berhenti di sisi ranjang. Kecupan hangat di kening Haniyya terasa begitu memabukkan. Debaran jantung yang biasa terasa semakin berkobar. Azhar sudah membalikkan tubuh waktu Haniyya menahan tangan suaminya.

"Mau kemana?"

"Tidur di ruang tengah," katanya.

Wajah Haniyyah tampak muram. "Mas pikir kamu masih marah sama Mas. Kamu menghindari Mas hari ini. Karena itulah Mas tidak ingin kamu merasa tidak nyaman." Cepat-cepat Azhar berujar supaya istrinya tak salah paham.

"Hani tidak marah. Mas Azhar bisa tidur di kamar ini," jelas Haniyya.

"Lalu, Mas Azhar juga bisa dapatkan jatah seandainya Mas Azhar menginginkannya malam ini. Hani sudah siap."

Sudah lama Haniyya penasaran dengan hubungan suami-istri. Sekali lagi, dia mengusir perasaan marah yang mengganjal dalam hatinya. Bagaimanapun Azhar suaminya. Pria itu berhak dapatkan kesenangan.

"Kamu yakin?"

Haniyya mengangguk penuh semangat. Ini mungkin awal yang baik bagi mereka? Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan cinta itu akan bersemi?

Instagram: Sastrabisu

Sekeping Hati Untuk Azhar (Per Order) SoonWhere stories live. Discover now