[35-e n d] Akhir yang Berawal

85 3 1
                                    

"Halo Belva,"

"Tolong lo urusin surat dispen gue sama Ify. Abis itu lo nyusul kita ke rumah sakit. Oke? Thanks." Zenia menutup teleponnya lalu kembali sibuk menenangkan Ify yang menangis sesenggukan. Saat ini, mereka sedang menaiki taksi menuju rumah sakit.

Ify tidak bisa berkata apa-apa sejak di UKS sekolah. Apa yang baru saja dialaminya ketika pingsan membuat Ify diam seribu bahasa. Apakah mimpi itu adalah suatu pertanda? Ify juga tidak tahu. Hatinya begitu hancur mendengar bagaimana keadaan Alvan saat ini. Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menangis dan terus berdoa untuk kekasihnya itu.

Begitu sampai di rumah sakit, Ify bergegas turun dari mobil. Dia berlari menuju ruang tempat Alvan di rawat dengan Zenia mengikuti di belakangnya. Wajah Ify tampak sangat kacau. Di depan ruang rawat Alvan sudah banyak orang. Aksa dan teman-temannya juga sudah ada di sana. Melihat kedatangan Ify dengan kondisi yang tidak baik, Aksa menyambutnya dengan sedikit cemas.

"Kak, Alvan..." lirih Ify begitu berhadapan dengan Aksa. Aksa memeluknya erat. Isakan Ify semakin menjadi. Beberapa saat kemadian, Ify melepaskan pelukannya lalu berlari melewati orang-orang yang ada di sana. Setelah itu, dia membuka pintu ruang rawat Alvan dengan tergesa.

Ify terhenti di balik pintu dan melihat Alvan terkulai tak berdaya dengan berbagai macam alat medis yang terpasang di tubuhnya. Ify histeris. Orang tua dan kakak Alvan terkejut. Luna menghampiri Ify dan membantunya mendekat ke ranjang Alvan. Ify menyapa mama dan papa Alvan sebagai tanda izin dan dibalas anggukan oleh keduanya.

"Kita tunggu di luar ya, Fy," ucap Luna sambil mengelus bahu Ify mencoba menguatkan. Ify mengangguk pelan. Mereka bertiga keluar dari ruang rawat Alvan. Menyisakan Ify yang tak percaya atas apa yang terjadi. Ify menggenggam tangan Alvan erat.

"Al..." panggil Ify ditemani isak tangisnya.

"Alvan bangun, hiks hiks." Ify menempelkan dahinya di tangan Alvan. Sungguh, dia tak tahu harus berbuat apa. Tidak adanya sahutan dari Alvan begitu membuat hatinya perih.

"Aku minta maaf Al. Aku memang bodoh karena nggak bisa jujur sama diri aku sendiri. Kamu bikin aku makin bodoh karena nggak bisa ngapa-ngapain saat kamu kayak gini. Al, bangun." Ify meracau dengan masih membenamkan kepalanya tak sanggup melihat Alvan.

Ergh

Ify terkejut merasakan tangan Alvan yang tengah digenggamnya bergerak. Dia melihat wajah Alvan. Bibirnya juga bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Alvan! Al, kamu bangun?" Ify menangis bercampur senyum lega.

"Bentar ya, aku panggil dokter." Ify hendak beranjak tetapi Alvan tak melepaskan genggamannya.

"Ng-nggak usah. Aku mau kamu temenin aku," pinta Alvan lemah.

"Iya iya. Aku di sini ya," sahut Ify mengiyakan.

"Ma-af udah bik-in kamu nangis," ucap Alvan pelan.

"Nggak nggak. Udah ya, kamu jangan mikir yang macem-macem dulu. Sekarang-"

"Ma-af ka-lau nanti a-ku nggak bis-a tepatin janji aku buat ja-gain kamu," imbuh Alvan terbata.

"Alvan udah yaa, ja-"

"Aku sayang sama kamu, Steffy Aliyaza." Tangis Ify pecah melihat kekasihnya seperti ini.

"Iya. Kamu tahu kan, aku juga sayang sama kamu," ucap Ify bergetar.

"Aku cinta sama kamu, Alvan Pramuda," imbuhnya.

Senyum Alvan tercipta walau samar. Ify tahu, Alvan tulus. Dia membalas senyum Alvan. Kelegaan Ify terenggut saat napas Alvan tiba-tiba tersengal. Dia seolah tak bisa lagi mengendalikan oksigen yang masuk ke tubuhnya. Beberapa kali dia terbatuk.

ALKASA✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum