Mata Dyba mengikuti pergerakan Sam yang sudah menghilang dari balik dinding ruang makan. Ia tersenyum, Sam ayah yang baik-- benar-benar ayah dan suami yang baik. Sam tidak peduli kapanpun Rion menangis, Sam pasti akan langsung bangun dan menggendong jagoan mereka.

"Hai bunda, tuh bunda masih makan kamu udah nangis aja," ucap Sam sambil menggerak-gerakkan tangan Rion ke arah Dyba.

Dyba tertawa, ia memasukkan satu suapan besar ke mulutnya agar makanan di piringnya sudah habis. Dyba meneguk air mineral, kemudian tangannya terulur untuk menggendong Rion. "Apa embul?"

"Aammahh ...."

Dyba terkikik, ia mencium perut Rion. "Mau mimik cucu?"

"Uuamm ... aaammm ...."

Dyba menurunkan bajunya. "Bunda baru aja makan udah diisep lagi sama kamu paling bentar lagi laper lagi nih," gumam Dyba sambil mengelus jari-jari mungil Rion.

Dyba menatap ke depan, di sana Sam sedang membereskan piring makan bekas mereka. "Duduk aja Sam, itu biar aku entar yang ngurusin."

Sam menggeleng. "Kamu aja yang duduk diem, kamu udah masak sekarang saatnya aku yang bersih-bersihin ini. Kalau enggak kamu ke kamar aja sana susuin si embul."

"Tap-"

"Gak ada penolakan sayang. Kalau gak mau ke kamar ke sofa aja sana nonton film, film jangan bokep tapi."

Dyba menggendong Rion, sebelum ke ruang keluarga Dyba mengecup pipi Sam sekilas. "Makasih."

Dyba duduk di dekat jendela, menghadap ke taman yang dipenuhi lampu tumblr. "Dek, jangan mimik terus, liat tuh banyak lampu-lampu."

Bagai mengerti Rion melepas susunya, ia menoleh dan suaranya langsung keluar saat melihat lampu-lampu yang kerlap-kerlip. Dyba mengarahkan gendongan Rion supaya bayi itu lebih jelas melihat lampu-lampu.

"Suka sayang?"

"Uumm ... aaammmahh  ...."

Dyba terkikik sendiri, ia mengecup pipi Rion. "Ngomong apa sih kamu ini?"

"Dy, kamu dicariin malah di sini ternyata."

Dyba menyengir, ia menyenderkan kepalanya di bahu Sam yang sudah duduk di sampingnya. Tangan Sam memegang jari-jari Rion. "Embul suka ya?"

"Sam ...."

Tangan Sam dilepas dari genggaman Rion, sekarang tangan itu beralih mengelus rambut Dyba. "Apa sayang?"

"Aku boleh kuliah lagi?"

"Untuk apa?"

"Ya biar aku bisa jadi psikolog Sam. Aku mau kerja di rumah sakit gitu."

Sam menghela nafas kasar, tangannya menangkup tangan Dyba, membawa tangan itu ke bibirnya. "Aku gak papa sebenernya, itu terserah kamu. Aku sebagai suami juga bakalan ngedukung apapun yang terpenting itu baik buat kamu. Tapi, sekarang kamu udah punya anak sayang, gimana sama Rion?"

"Ya maksudnya gak sekarang juga, kalau Rion udah agak gede gitu."

"Emang gak bisa kalau gak kuliah lagi?"

Dyba menggeleng. "Psikolog yang bisa kerja di rumah sakit gitu cuma lulusan S2."

"Kenapa kamu pengen banget sih kerja di rumah sakit? Suami kamu udah bisa biayain keluarga sampai tujuh turunan Dy."

Dyba mengangkat kepalanya dari bahu Sam. Tangannya mengelus-elus punggung Rion, tetapi pandangannya fokus ke depan. "Bukan masalah harta atau uang Sam. Mental healt di Indonesia jarang diperhatiin Sam. Mental healt dianggap sepele, padahal aslinya itu penting. Kalau luka fisik bisa dilihat, tapi kalau lukanya di mental susah, kita bahkan gak mengetahui kalau kita punya itu."

"Iya Dy, maaf aku salah ngomong."

"Setiap individu dapat mengalami gangguan mental. Kalau kesehatan mentalnya terganggu, ia akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikirnya menurun, hingga tindakannya dapat mengarah pada perilaku yang buruk. Dan aku gak mau generasi ke depannya bakalan kayak gitu. Setidaknya aku bisa dengerin keluh kesah mereka. Datang ke psikolog dianggap orang itu kayak orang stress, gila, padahal semua orang butuh konsultasi masalah mental healt nya. Anggapan di masyarakat tentang datang ke psikolog itu salah, makannya banyak yang mau datang tapi karena di lingkungan mereka mengatakan kalau ke psikolog berarti orang gila jadi mereka gak jadi."

"Iya sayang iya, kalau bisa aku bangun deh rumah sakit khusus psikolog gitu."

Dyba tersenyum, ia mengecup pipi Sam. "Istri orang lain pengennya buka toko kue, butik, atau apalah, istri kamu malah pengen jadi psikolog."

Sam terkekeh. "Berani beda itu baik."

Deringan ponsel milik Dyba dari kamar bawah membuat fokus keduanya terganggu. Sam berdiri. "Aku ambil dulu ya?" Dyba hanya mengangguk.

Saat sudah sampai di dekat ponsel Dyba panggilan itu sudah berakhir. Sam membuka ponsel Dyba dengan sidik jarinya kemudian dahinya mengerut. "Abian?"

Dengan rasa kepo Sam membuka aplikasi whatsapp milik Dyba dan seketika darahnya naik melihat chat Abian di pin di bawah chat miliknya. Sam kemudian membuka log panggilan dan di sana terlihat bawah Abian memanggil video Dyba di jam sepuluh pagi, itu berarti saat Sam kerja.

Sam meremas ponsel Dyba. "Adyba Bailey Zudianto!"

***

Sampai jumpa di part selanjutnya
(❁´◡'❁)

Jangan lupa vote dan comment
Terima kasih yang udah baca, vote, dan comment cerita ku ♡♡

10 Januari 2021

DySam (After Marriage)  [Selesai]Where stories live. Discover now