13. Kita ini apa?

Start from the beginning
                                    

“Mau numpang mandi, nggak?” Pelangi melirik jam dinding. Sudah pukul setengah delapan malam. Syukurlah, dia sempat membersihkan diri tadi. Karena dia tahu betul, bertahan dengan badan lengket sangatlah tidak nyaman.

“Nggak. Habis ini gue juga langsung cabut.”

“Enak banget ya, Lo. Habis makan langsung pulang.”

“Iya, lah. Mau ngapain lagi? Masa cuci piring.”

Pelangi melirik sini, lalu berseru, “Terserah!”

Rayden nyengir. Dia yang sepertinya tidak betah dengan tubuhnya yang lengket, tiba-tiba mengendus ketiaknya sendiri. “Mana bau lagi. Coba Lo cium deh, Tung.”

Pelangi mendekatkan wajahnya ke arah ketiak cowok itu. Mengendusnya dengan seksama, lalu berucap, “Iya ih, asem!”

Seolah tersadar, Pelangi lantas menjauh dengan cepat dan memukul lengan cowok itu dengan sendok sup. “Ngapain juga gue mau ngendus ketek, Lo! Najis banget sumpah!!”

Rayden tertawa. Pelangi yang melihatnya sampai dibuat terpaku sejenak sebelum sepenuhnya tersadar.

“Lagian Lo nurut-nurut aja jadi orang.” Dia masih tertawa. “Lucu banget… sedep nggak?”

“Sedep banget dong!” sahut Pelangi dengan nada sinis. Gadis itu menyahut mangkuk, sengaja menuangkan lebih banyak daging serta wortel di sana. Lalu menyodorkannya di depan Rayden. “Nih.”

“Yaelah, itu kenapa wortel banyak banget?” Bukannya segera mengambil mangkuk di tangan Pelangi, Rayden malah ngoceh. “Gue nggak lagi bintitan, sehat ini mata.”

“Nggak usah protes, buruan ambil!”
Rayden berdecak tak terima. Meski begitu, dia tetap mengambilnya. Terpaksa.

Pelangi tersenyum tipis melihatnya. “Harus habis, ya. Tapi jangan dimakan dulu.” Gadis itu sibuk menciduk kuah sup untuk dirinya sendiri.

“Dipantengin aja, gitu?”

“Lo makan jeruk dulu, deh.”

“Ngapa ribet banget, sih! Lo nggak denger apa dari tadi perut gue bunyi mulu,” ucapnya ngomel-ngomel. “Gegayaan pake makanan pembuka segala.”

Pelangi melirik cowok itu. “Tamu harus sopan,” ucapnya mengingkatkan.

Rayden memutar bola matanya. Lalu melahap sepotong daging yang ada di mangkuknya dengan jengkel.

Gadis itu melotot lebar. “Jangan dulu! Tamu harus nurun.”

Berdasarkan artikel yang Pelangi baca. Daging, wortel, serta jeruk bisa cepat mengeringkan luka. Dia tidak tahu ini akan berhasil atau tidak. Yang jelas, Pelangi akan mencobanya sekarang.

***

Tepat setelah ia mengunyah makanannya di kantin sekolah, Pelangi membuat harapan agar mendung tidak menumpahkan air matanya dengan segera. Atau paling tidak, jangan datangkan guntur dan petir sebagai pelengkapnya.

“El.” Dia memanggil Elen yang duduk di hadapannya.

“Hmm.”

Untuk menghilangkan rasa waspada, dia akan mengajak Elen berbicara. Meski harus tetep berjaga-jaga. “Emang cowok Lo dulu temenan sama Rayden?”

Dan mungkin, itu topik pembicaraan yang bisa membuatnya lupa akan ketakutannya.

“Temen satu tongkrongan gitu, sih,” sahut Elen, lalu kembali mengunyah.

“Kok Lo nggak bilang?”

“Gue lupa juga soalnya. Mereka kayaknya nggak deket banget juga, deh.” Elen diam-diam tersenyum licik.

Syukurlah, Pelangi tidak menyadarinya. Karena dia tengah menjalankan misi dengan judul Lalapan Sedang Jatuh Cinta, dengan cara mendekatkan keduanya dalam kedok meningkatkan nilai Pelangi yang jarang KKM.

Anak ini bisa-bisanya setiap hari menanyakan Rayden saja. Atau mungkin tersenyum sendiri di kelas tanpa tahu penyebabnya. Jelas Pelangi sedang dirundung asmara. Lantaran sebelumnya, Pelangi tidak pernah terlihat begitu menggila.

Elen yang melihatnya sering dibuat ingin muntah saja.

“Nggak sedeket Lo sama Rayden,” lanjutnya kemudian. “Jadi ya, nggak usah cemburu kali.”

“Apaan, sih!” sahut Pelangi setengah kesal. Lalu, seperti sebelum-sebelumnya, gadis itu memajukan tubuhnya seolah ingin mengatakan sebuah rahasia. “El, kemaren Rayden bilang. Katanya Papanya udah meninggal, tapi kenapa masih difitnah,” ucapnya bisik-bisik.

“Hah?”

Pelangi menatap kenan-kiri, memastikan keamanan. “Apa jangan-jangan, Papanya korupsi. Ketahuan, terus dia bunuh diri. Dan ternyata, dia nggak korupsi, cuma difitnah doang?”

“Ya kalo fitnah ngapain juga sampe bunuh diri, Lalapanku tersayang,” timpal Elen geregetan. “Kalo kita nggak ngelakuin sesuatu, kenapa harus takut coba.”

“Karena capek difitnah terus, mungkin.” Bahkan jawabannya pun terkesan ragu-ragu.

Elen menenggak minumannya lebih dulu. “Gini, ya. Rumornya, Papanya Rayden bunuh diri karena perusahaannya nyaris bangkrut. Nggak ada tuh hubungannya sama korupsi.”

“Bangkrut karena dia korupsi?”

“Ya ampun!” Elen memekik lebay. “Orang yang kenal deket sama beliau, nggak pernah punya catatan buruk tentang gimana sikap Papanya Rayden. Katanya, Papanya Rayden baiknya kebangetan, makanya waktu denger kabar kalo beliau bunuh diri, semua langsung gempar.”

Pelangi masih mencerna.

“Nggak mungkin korupsi, lah,” lanjut Elen. “Emang Rayden bilang, gitu?”

Pelangi mengangguk.

“Oh my ghost! Jadi hubungan kalian itu apa, sih?”

Pelangi tidak pernah punya pertanyaan itu di kepalanya, dan jelas saja dia tidak tahu jawabannya.

“Temen?” Dia kelihatan ragu-ragu.

“Oke, temen!” Elen tersenyum remeh. “Kalo dia udah ngomong gitu, mungkin dia bakal cerita lebih lengkap lagi. Tapi nanti…. Pelan-pelan, lah. Itu, kan, privasi keluarganya dia.”

“Kalo dia nggak mau cerita?”

“Berarti Lo nggak penting.” Elen terkekeh. Dan kenapa terkesan mengerikan di mata Pelangi?

“Ibaratnya, Lo cuma boleh ngintipin rumah dia dari luar, tapi nggak diperbolehkan masuk ke dalam.”







****

06-01-20.

CERAUNOPHILE [Completed]Where stories live. Discover now