Cerita 68

4.6K 251 1
                                    

Ara bangun kesiangan, dua hari kemarin Ara begadang mengerjakan tugas, walau sesekali Andra membantu. Tapi Ara tidak pernah minta banyak karna Andra juga punya banyak kerjaan. Andra sudah tidak ada di sebelah Ara, semalam pria itu memang sudah bilang kalau harus keluar pagi-pagi sekali, sempat pamit jam setengah enam pagi dan memberitahu Ara kalau ia akan sarapan di kantor.

Ara berlari terbirit ke kamar mandi, mengganti pakaiannya, ia tidak sempat mandi di jam mepet begini.

Ara memakai deodoran banyak-banyak menyisir rambutnya dengan jari, sikat gigi buru-buru tidak sampai satu menit lalu menyemprotkan parfum banyak-banyak biar wangi sampai ke tulang sekalian.

Andra memang sudah memberinya mobil, Tapi mobil itu bukan mobil yang cocok untuk Ara. Dan kembali lagi, Andra memang pengertian dengan baik hatinya suaminya itu membeli mobil baru untuk Ara yang di rasa pantas dalam versi Ara. Tapi tetap saja, Ara sudah terlalu kesiangan untuk sekedar menyetir di jalan raya ibukota.

Berlari agar tidak ketinggalan kelas tapi menabrak Arka di ujung lorong

"Pake mata dong ah!" semprotnya dengan kejam

"Jalan mah pake kaki!"

Ara melanjutkan larinya, mengabaikan teriakan Arka yang meneriakkan namanya. Ara mengetuk pintu kelasnya tapi tidak ada jawaban. Maka setelah mengumpulkan keberanian, Ara membuka pintu itu menyembulkan kepalanya sedikit.

"Bangsat!" makinya saat melihat kelas kosong melompong bagai tidak pernah ada kehidupan. Ara membanting pintu lalu membuka ponselnya membaca pesan-pesan di group kampusnya lebih serius dari yang tadi saat kesadarannya masih lima watt.

Pesan terakhir dikirim lima menit lalu saat Ara di perjalan. Pesan itu sukses membuat Ara mengabsen nama-nama hewan di kebun binatang saking jengkelnya.

Ara mengepalkan tangan, mau teriak takut di sangka gila, ia memutuskan pergi menyusul Arka yang pasti sedang berada di kantin yang agak sepi

"Arka!"

"Jangan sampe gue colok mata lo! bikin gue kaget aja sih" Ara langsung duduk di depan Arka, tanpa ba bi bu apalagi be Ara meminum teh tawar milik Arka sampai tidak tersisa.

"Gak sekalian gelasnya lo telen"? sindir Arka dengan tatapan sinis menghunus miliknya.

"Lo gue telen, mau!" Arka mencebik lalu melanjutkan main game dia malas pulang kerumah, sudah kepalang tanggung dia disini

"Kok lo gak bilang sih kalau kelas gak jadi?"

"Makanya kuping pake, di panggil kenapa lo gak nyaut" Arka juga datang kesini dalam kondisi keteteran dan mengkhatamkan semua nama hewan di kebun binatang.

"Ya lo manggilnya kurang kenceng kali"

"Yaudah gue salah! Minta ampun gue sama lo" Permintaan maaf tidak ikhlas Arka membuat Ara tertawa

"Nanad mana"? Arka mengangkat bahu, memang dia terlihat seperti pengasuh Nadia apa? sehingga dia tau keberadaan Nadia selalu?

"Masa lo gak tau?"

"Ya emang gue gak tau nyet!"

Ponsel Ara bergetar, satu pesan masuk dari nomor yang tidak ia simpan

Ketemu di cafe pledis bisa? ada yang mau saya bicarakan?

Ara mengernyitkan dahi, lalu mengecek profil nomor ini tapi tidak menemukan petunjuk. Siapa orang asing yang memintanya bertemu di cafe pledis dekat rumah Arka? yang kalau dari sini terhitung jauh?

Sori, ini siapa

Tidak sampai dua menit datang. Hanya satu kata tapi mampu membuat hati Ara ambyar

Dewa

Jantung Ara rasanya berdetak terlalu kencang. Ara tidak ingat sudah berapa lama dia tidak mencari tau soal Dewa, bahkan Ara rasanya sudah agak lupa.

"Arka, lo belum mau pulang?" Yang ditanya menggeleng, terlalu tenggelam dalam hobi seumur hidupnya.

"Pulang aja yuk, terus gue nebeng"

Arka bergeming, malas pulang ke rumah karna anak teman mamanya yang bawelnya membuat Arka ingin beristigfar setiap kali bertatap muka

"males"

"Jahat lo ka! gak mau gue temenan sama lo lagi!" Arka mem-pause game di ponselnya menatap Ara dengan alis hampir bertaut

"Gak usah drama lo nyet!"

Ara menarik-narik lengan baju Arka membuat si empunya menggerutu

"Jangan sampe lo gue tabok deh Ra"

"Bantuin gue!"

"Yaudah ayo!" Bentaknya justru membuat Ara ngakak senang, mengambil tasnya buru-buru karna Arka sudah lebih dulu berjalan.

***
Arka berhenti tepat di sebuah cafe yang nampak masih lenggang karna masih terhitung pagi

"Ngapain lo kesini? udah ijin suami belom?" Arka tidak mau ada drama-drama tai kucing semacam Ara nangis bombay lalu datang sebagai tamu tidak diundang dirumahnya.

Bukan menganggu atau tidak mau tau masalah Ara, tapi mendengar dan melihat Ara menangis juga bukan pilihan bagus. Arka tidak punya pengalaman menenangkan wanita

"Kenapa lo, kok sewot?!" padahal Ara yang lebih sewot

"Gue nanya bangke, awas lu nangis lagi kagak bakal gua tampung!"

Ara nyengir lalu melepas seatbelt, menepuk bahu Arka dramatis bagai sang guru yang hendak memberi petuah pada muridnya sebelum wafat secara legenda.

"Gue turun makasih tumpangannya" Arka mengumpat lagi, tawa Ara berderai namun luntur bagai tidak pernah terjadi kala melihat Dewa di salah satu meja di tengah ruangan.

Cafe sepi tapi tidak hening karna lagu yang entah apa judulnya itu sedang terputar melalui speaker cafe

"Dewa" yang dipanggil mendongak, lingkar hitam dan rambut kusut di dukung wajah sayu Dewa menyambut.

Ini bukan Dewa yang dulu, Ara jadi merasa kasihan jika seperti ini.

"Duduk" Ara menurut, suara dewa serak.

Sakit kah?

"Kamu apa kabar? bahagia sama pilihan kamu?" sinis, Dewa berkata sinis dengan senyum miring yang menyebalkan.

"Bahagia, banget" Ara menjawab jujur bukan untuk memanas-manasi Dewa

"Kamu sendiri? kamu tinggal dimana? mama khawatir" Riana beberapa kali menelfon dan Ara sengaja menyinggung soal Dewa yang secara otomatis Riana memberitahunya kalau Dewa belum pulang bahkan tidak ada kabar.

"Memang kamu peduli?"

Ara tersentak, jika jantungnya bisa lepas dari rongganya pasti sekarang sudah bersimbah darah dada Ara

"Aku peduli, kita saudara"

"Kita gak saudara, saya mau kamu tau Ra. Saya kecewa kamu seperti ini" Ara menahan diri untuk tidak menangis.

"Segini aja perjuangan kamu. padahal kamu tau saya benar-benar cinta sama kamu sampai saya rasanya hampir gila untuk itu"

"Kita gak bisa kayak gini, kamu bikin orang tua kita khawatir."

"Saya gak peduli, sama seperti mereka yang gak peduli dengan saya kan?" Ara tidak menyahut, telapak tangannya mulai berkeringat.

"Kamu puas?" Ara menatap Dewa sendu, tidak menyangka Dewa akan begitu sinis padanya. Kenapa Dewa tidak bisa seperti dirinya? mencoba ikhlas dan merelakan, berdamai dengan diri sendiri.

"Dewa__

"Puas kamu melihat saya hancur?" Ara menangis, berusaha menguasai diri agar tidak menangis kencang.

"Aku gak bermaksud__

"Saya kecewa sekali Ra, selamat. Kamu berhasil membuat saya hancur sampai gak tersisa. Terima kasih"

STRUMFREI✓Where stories live. Discover now