Chapter 12

40.1K 3.7K 210
                                    

Holaaa, maaf lama lagi sibuk banget nih hehehe

***

Lalak menutup pintunya dengan pelan. Setelah memastikan Budi tak terlihat lagi ia mengunci pintu dan lari ke arah kasurnya. Digigitnya selimut dengan cukup keras untuk menyalurkan segala perasaan campur aduknya. Tak lupa ia merapikan kembali kemeja yang terlihat sangat kacau. 

Ia menyelimuti dirinya dan memaksakan matanya untuk terpejam. Hari masih sangat sore untuk tidur tapi ia pun tak berani turun untuk menghadap Eyang maupun kakaknya sendiri.

"Apa yang telah aku lakukan?" gumamnya.

Jikapun ia memberanikan turun tapi tanda merah di lehernya akan sangat terpampang sangat jelas dan pastinya akan menimbulkan banyak pertanyaan dari orang lain. Barulah saat ini Lalak sedikit menyesali membiarkan  Budi mendominasi. 

Tanganya naik untuk menyentuh bibirnya yang masih hangat, beberapa saat kemudian tangan yang sama turun untuk menyentuh lehernya. Lalak kembali melamun membayangkan hal yang terjadi beberapa saat yang lalu di kamarnya ini.

Sebuah pesan masuk membuyarkan lamunannya.

Dari: Aldan
Lak, untuk besok hingga beberapa hari kedepan jangan keluar rumah jauh-jauh. 

Lalak mengernyit tak paham akan pesan singkat dari Aldan tersebut. Ia membalas untuk menanyakan alasannya. Beberapa detik kemudian, ponsel milik Lalak berbunyi. Ternyata Aldan menelepon.

"Kenapa sih, Dan?"

"Rumah pribadi Ketua DPR sama beberapa anggota fraksi yang sama terbakar. Kejadiannya baru banget."

"Terus?"

"Kejadiannya berbarengan, Lak. Takutnya ada pihak yang mengkambing hitamkan mahasiswa atas kejadian ini."

"A-apa? Kok bisa?"

"Lo dua hari kedepan nggak ada kuliah kan? Mending stay di rumah."

"Kapan kejadiannya?"

"Barusan banget Lak, ada satu jaman tapi udah ada berita di tv yang nyangkut pautin ke kita, dan wassap broadcast hoax juga udah mulai bermunculan. Korlap dari Bandung sama Semarang udah ditangkap. Mending stay di rmah, kalo ada apa-apa bilang ke gue ya."

"O-oke..." Ada keheningan diantara Aldan maupun Lalak, keduanya tak ada yang bersuara.

"Lak?" Suara Aldan melembut, tak ada lagi nada tergesa-gesa.

"Iya, Dan?"

"Ini adalah game prisoner's dilemma, tetap berpegang teguh dengan kejujuran maka semuanya akan baik-baik saja."

"Terima kasih, Dan."

"Dan ingat juga, Lak. Kita anak Hukum, dan kita sangat tahu ini adalah bentuk dari false accusation. Jika terjadi apa-apa dengan kita, para dosen serta teman-teman bisa mengajukan tuntutan Libel dan Slander. We trust each other rights?"

"Iya."

"Yaudah, gue bilang yang lain dulu, tetap jaga kesehatan ya, Lak."

"Dan?" Panggil Lalak sebelum Aldan memutus sambungannya, "Tolong, lo juga hati-hati ya."

"Wah, makasih banyak ya sudah khawatir, duh kok jadi deg-degan gini?" Lalak hanya menggeleng mendengar suara Aldan yang semakain melengking.

"Gue tutup ya, bye..."

"Bye bye... hati-hati...." Lalak melihat ponselnya dengan lucu, bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman yang beberapa detik kemudian luntur. Ia berpikir panjang dan diambilnya buku hukum pidana yang tebalnya hampir sepuluh senti. Ia membuka bab properti dan mempelajarinya kembali dengan teliti.

Siap 86! (Complete)Where stories live. Discover now