Chapter 9

36.4K 3.7K 212
                                    

Halooo
Jangan lupa vote dan komennyaa
\(-ㅂ-)/ ♥ ♥ ♥

Btw, bagaimana kalau bab ini sampai 750 vote aku bakal update fastt!!!

***

Lalak tersenyum mencoba menenangkan temannya yang juga khawatir akan surat peringatan dari kampus. Ia menepuk pundak kawannya dengan sabar. Sejujurnya ia pun juga merasa takut, tapi ia tidak bisa menunjukkan perasaan itu disaat temannya juga merasa takut. Setelah ini ia akan menghubungi Aldan. 

"Maaf gue nggak bisa berbuat apa-apa. Yang terpenting sekarang kita kembali jadi akademisi normal saja. Lo balik kuliah seperti biasa dan sementara ini nggak usah terlalu aktif di instagram ataupun media sosial. Jangan menanggapi isu apapun, oke? Semoga semua bisa kembali seperti semua dan Indonesia jadi lebih baik."

"Salam perjuangan." 

Lalak melambaikan tangannya, ia masih berdiri melihat temannya pergi setelah menurunkannya di pintu rumah sakit.

"Salam perjuangan," bisiknya pada angin lalu.

Kakinya berjalan cepat menuju ruang yang ia dapatkan dari teman Budi. Sesampainya di depan ruang ia tak memberanikan diri masuk. Lalak hanya bisa mendengar suara Eyang yang sedang tersedu di dalam ruangan VIP tersebut. Wajahnya yang penuh debu, rambut lepek akibat siraman air, almamater kuning yang penuh dengan noda lumpur dan darah. Ia tak siap bertemu dengan Eyang. 

"Tantee!!!" Gadis itu menoleh ke arah kirinya dan melihat Kakak iparnya dengan Lilo di gendongannya. Ia tersenyum kikuk dan mundur beberapa langkah. Ia menunduk cepat ketika Gemintang berhenti di hadapannya.

"Kamu dari mana saja? Eyang dan Kakakmu sangat khawatir. Kenapa poselmu tidak bisa dihubungi?"

"Maaf." Terdengar suara helaan napas dari pria di depannya membuat Lalak merasa semakin malu. Dipelintirnya ujung almamater hingga tidak berbentuk.

"Hp kamu dimana? Kata Ayas kamu ijin ikut demo hingga siang hari kenapa hingga isya' tidak bisa dihubungi?"

"Maaf. Hp saya terjatuh dan hilang. Saya harus ke kantor polisi untuk mempertanggung jawabkan kerusuhan yang terjadi. Kesaksian dilakukan hingga malam. Sekali lagi minta maaf."

"Papa ... tante sudah minta maaf. Sekarang maafin ya...." Sedikit bibirnya terangkat mendnegar pembelaan ponakan kecilnya, meskipun ia merasa senang tapi ia tak bisa mengangkat kepalanya untuk menatap suami kakaknya. Ia terlalu takut.

"Jangan diulangi lagi. Janji?" 

Lalak memberanikan diri untuk menengadah, kakinya bergerak canggung tak sabar untuk mengetahui kondisi Budi.

"Masuklah, saya tahu kamu khawatir akan kondisinya tapi saat ini yang terpenting adalah bicara dan jelaskan semua secara baik-baik dengan kakak beserta Eyangmu."

"Terima kasih."

 "Lalak, titip katakan pada Ayasha jika saya dan Lilo akan pergi untuk beberapa saat."

Lalak menangguk dan melihat kepergian kakak iparnya.

"Kita mau kemana, Pa?"

"Kita beli HP baru untuk Tante Lalak.

"Yeay, baru!!!" Gadis itu ingin menolak tapi ia terlalu malu dan sungkan untuk memanggil pria tersebut hingga pada akhirnya gemintang menghilang sepenuhnya di belokan lorong rumah sakit.

Lalak masih setia menunggu di depan pintu tak berani melangkah lebih maju. Sudah hampir satu jam ia duduk bersandar di tembok sambil mengamati pintu dihadapannya. Ingatannya kembali pada kejadian tadi siang dimana Budi yang melindunginya hingga berakibat babak belur dikeroyok. Jantungnya terasa sakit, air matanya akan hampir keluar sebelum pintu didepannya terbuka.

Siap 86! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang