Chapter 8

34.9K 3.7K 70
                                    

Btw jangan lupa vote dan komennya yaaaa


\(-ㅂ-)/ ♥ ♥ ♥

***

Lalak memperhatikan barisan kepolisisan yang semakin maju, kokoh tanpa celah. Tembakan gas air mata mulai dilemparkan dimana-mana. Lalak berlari menjauh sebisa yang ia rasakan. Karena dalam posisi yang kacau, semua mahasiswa mencoba melarikan diri. Tak peduli pria atau wanita mereka mencoba lari sejauh mungkin dari gas air mata. 

Seorang wanita yang tak Lalak kenal terjatuh terjerembab ke aspal akibat dorongan para peserta aksi lainnya. Ia membantu membopong wanita tersebut mencari mahasiswa berpita merah di lengan. Ia butuh medis segera. Matanya terasa sangat perih dan gatal. Dan tak sampai di sana saja, Lalak dan Wanita tersebut kembali terjerembab ketika dapat dorongan dari depan akibat water cannon yang tak kunjung berhenti ditembakkan pada masa aksi.

"Lalak! Ikut Mas!" Lalak sangat terkejut ketika Mas Budi masih dengan seragam lengkapnya tanpa pelindung menariknya menjauh meninggalkan wanita yang ia tolong tadi.

Gadis itu bergerak khawatir melihat beberapa mata mahasiswa yang menatapna dengan Mas Budi.

"Mas Jangan di sini, aku pergi sendiri."

"Mas nggak bisa ninggalin kamu sendiri di sini! Bahaya!"

"Tapi ini juga bahaya untuk Mas! Mas Budi masih pakai seragam!"

Beberapa mahasiswa melihat Budi yang menarik lengan Lalak dengan paksa. Mereka melihat dengan cara yang berbeda. 

"Woi! Itu temen cewek gue mau lo apain! Serang!"

Lalak melepaskan tangan Budi segera dan mencoba berdiri memisahkan peserta aksi yang datang mendekatinya. "no no no no kalian salah paham." Belum sempat Lalak menjelaskan, tangannya ditarik paksa dan dilempar menjauh. Jantungnya terasa berhenti berdetak ketika sembilan orang mengeroyok Budi secara brutal. Lalak merangsek maju untuk menarik para pengeroyok tersebut.

"Minggi! Mas Budi! Mas! Kalian salah paham!!!" Air matanya tak bisa berhenti karena ia sama sekali tak bisa melihat Budi. Ditariknya siapapun yang ada di depannya. Bayangan Budi dengan wajah yang berdarah mulai terlihat membuat Lalak semakin histeris akan tetapi suara tangiisannya tak terdengar karena suara kericuhan jauh lebih keras.

Ketika ada sedikit celah, Lalak berhasil maju dan segera memeluk tubuh Budi yang terkapar di aspal. Tanpa disadar Lalak mendapatkan injakkan keras di punggungnya sebelum mereka menghentikkan aksi kekerasa tersebut. Tiba-tiba semua orang berlarian kembali, masa aksi dipukul ke belakang oleh pasukan pengaman. 

Lalak tak mampu membuka matanya untuk melihat kondisi Budi yang tak bisa bergerak di bawahnya. Tangan pria itu terangkat untuk merapikan rambut Lalak yang berantakan.

"Kamu nggak apa-apa, dek? Pasti sakit banget ya... Maaf...." Gadis itu tak bisa berkata-kata lagi, ia menangis di atas dada Budi yang mulai kesusahan untuk bernapas. Ia tak peduli ratusan orang yang berlarian di sekitarnya. Ia akan tetap disini sampai bantuan datang. Ia tidak bisa meninggalkan Budi yang dalam kondisi seperti ini.

"Maafin Lalak,  mas...."

Seseorang meraih lengannya dan memaksa Lalak untuk berdiri. Dua orang polisi membawanya menjauh dari Budi yang kini sudah dinaikkan ke ambulan oleh teman-temannya. Lalak tahu ini adalah konsekuensinya. Ia berpikir rasional, tidak ada gunanya untuk melawan. Yang terpenting saat ini adalah ia akan menjawab jujur setiap pertanyaan kesaksian yang akan ditanyakan padanya lalu segera melihat kondisi Mas Budi.

Ia dinaikkan dalam satu truk besar, disana sudah terdapat banyak mahasiswa yang berpita hitam dari berbagai universitas, sama dengannya, mereka adalah Korlap. Ia duduk disamping salah satu teman universitasnya. "Aldan dimana?" Laki-laki itu menggeleng.

"Lagi duduk di bawah Ac di depan para DPR kali."

Lalak memijit lehernya yang tegang, pikirannya berkeliaran memikirkan kondisi seseorang di dalam ambulans sana. Truk dinyalakan dan Lalak hanya bisa menghembuskan napas lelah.

Truk berhenti di Mabes Polda Metro Jaya, tiga puluhan mahasiswa digiring ke dalam aula besar yang dikelilingi oleh meja dengan komputer di atasnya. Lalak memilih duduk di lantai bersama teman-teman lainnya sambil menunggu giliran namanya dipanggil. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dari Mas Budi dengan mencoba berkenalan dengan orang-orang baru dari Universitas lain. Setengah jam kemudian dua truk datang dengan lebih banyak lagi mahasiswa dan satu truk penuh berisikan anak sekolah berseragam putih-abu.

"Ngapain anak SMA ada di sini juga?"

"Lo nggak denger? mereka juga ikut turun ke jalan."

Lalak tertawa melihat para siswa SMA tersbeut yang masuk ke dalam aula dengan gaya premannya. Bukannya merasa terintimidasi, mereka justru berebahan di lantai sambil tidur-tiduran memainkan game online di ponsel masing-masing. Lalak teringat ponselnya yang telah hilang. Ia tak tahu bagaimana cara menghubungi keluarganya.

"Keyla Dwi Arundaya."

Gadis itu berdiri dari duduknya dan berjalan menuju meja nomor lima. Ia duduk dengan tenang memberikan kesaksian sejujur-jujurnya. Sekilas matanya melihat seorang sosok yang cukup ia kenali, ia lupa nama pria tersebut tapi orang itu cukup sering main ke rumah bersama Mas Budi.

"Sebentar Pak, nanti saya kesini lagi. Dua menit!" Lalak tak mengiraukan panggilan polisi yang menginterogasinya. Ia berlari mengejar pria tersbeut.

"Kak!" Karena ia lupa siapa nama pria itu, Lalak memilih menyentuh pundaknya agar mendapatkan perhatian.

"Oh, Lalak?" Wajah pria tersebut cukup terkejut melihat adik dari temannya yang berada di aula.

"Kamu ikut demo juga? dan ketangkep?"

"Aku Korlap--" Lalak menggeleng karena bukan itu tujuan ia memanggil pria tersebut, "Tahu keadaan Mas Budi bagaimana?"

"Kamu tahu kalau Budi masuk rumah sakit?"

"Iya aku tahu, maksudnya keadannya seperti apa? Membaik? Tidak ada yang serius?"

"Budi lagi di ICU, keadannya kritis, dek." Ulu hatinya terasa sangat sakit ketika mendengar berita tersebut, ia tahu bahwa dikeroyok oleh sembilan orang langsung tidak mungkin akan baik-baik saja. 

"Makasih kak informasinya, aku masuk lagi aja."

"Lak, kamu mau pulang aja? Nanti aku bisa bantu urus." Lalak menggigit bibir bagian bawahnya, ia berpikir sejenak. Ia ingin segera melihat kondisi Mas Budi tapi akan sangat menyedihkan bagi Lalak jika meninggalkan orang-orang di dalam tanpa ada tanggung jawabnya. Bukankah itu sama saja menempatkan dirinya dengan para manusia berdasi yang ia protes tadi siang?

"Uhm ... Sebentar lagi selesai kok kak. Makasih bantuannya."

"Iya sama-sama. Kalau butuh apa-apa, cari kakak saja ya."

Ia memberikan senyuman sebagai bentuk rasa terimakasih dan kembali duduk untuk menjawab pertanyaan.

Hampir satu jam ia ditanyai oleh pihak kepolisian. Lalak sudah akan pulang dengan menebeng salah satu teman jurusannya. Ia meminta untuk diantarkan ke RSCM sekaligus.

"Lak, tadi di grup korlap kita dapat informasi surat edaran dari pihak kampus."

"Apa isinya?"

"Itu surat individu, bukan rilis umum."

"Iya, apa isinya?"

"Atas nama penanggung jawab, jika kita terlibat kerusuhan maka ancaman dispensasi hingga drop out."

***

Kali ini mudah-mudahan Lalak yang nggak apa-apa. Amiin

Siap 86! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang