Chapter 2

51.2K 4K 96
                                    

Halooo jangan lupa vote dan komen ya bucinnya Budi, hehehe
\(-ㅂ-)/ ♥ ♥ ♥

*

Siang cukup terik tak meluruhkan semangat Lalak menyusun surat perizinan. Ia adalah Kepala Bidang Sosial dan Politik pada struktural organisasi BEM Universitas. Ia menjadi sangat sibuk ketika isu-isu akhir ini yang menyita banyak perhatian menuntut organisasi bertindak. Segala tindakan tidak bolehlah gegabah, diskusi internal dan melakukan kajian adalah tahap awal. 

Kini ia duduk sendiri di kafe milik kakak iparnya, mengetik tanpa jeda hanya sesekali berhenti ketika mulai merasa mengantuk dan meminum kafein untuk lanjut berkerja. Telinganya menulikan segala pembicaraan oleh manusia di sekelilingnya bahkan panggilan dari laki-laki di pinggirnya pun dihiraukan.

"Lak ... Lalak...."

Lalak baru tersadar ketika seseorang menyentuh bahunya. Aldan, pria tinggi pujaan mahasiswa. Ketua BEM sekaligus Mahasiswa Berprestasi di Universitasnya.

"Halo Al, sorry gue lagi fokus."

"It's ok, gue boleh join?"

"Sure, kenapa enggak?"

"Bagaimana persiapan, Lak?"

"Ah, bentar lagi udah siap. Gue juga udah ketemu sama perwakilan dari mahasiswa univ lain. Surat izin masih dalam proses jadi perkiraan sekitar minggu depan gue bantu perizinan ke mabes."

"Jangan diforsir ya Lak. Nanti Lo sakit kan nggak seru," seru Aldan sembari merapikan rambut Lalak.

"Terimakasih."

Lalak tahu jika sebenarnya Aldan menyimpan perasaan lebih untuknya. Tidak sekali dua kali ia menunjukkannya secara terang-terangan bahkan kerap kali lelaki itu berbicara blak-blakan. Lalak sudah pernah menolaknya mulai dari kode hingga bilang bahwa mereka hanya teman tapi tak pernah dihiraukan oleh Aldan.

Jika saja dia bukan orang berpengaruh sudah pasti akan Lalak tolak mentah-mentah di muka umum. Bukan, Lalak sama sekali tidak membenci Aldan. Aldan adalah anak yang baik hanya saja Lalak menyukainya sebatas teman dan tidak lebih.

"Dan, lo yakin pergerakan ini bakal bawa dampak baru? Nggak nambah permasalahan kan?" tanya Lalak ragu.

"Lak, gini lho, kita ini mahasiswa. Setidaknya kita punya modal ilmu untuk tahu bahwa mana yang baik untuk negara kita atau baik untuk segelintir orang."

"Tapi bapak lo orang DPR, Dan."

"Memang suatu ironi untuk mengetahui fakta kalau bapak gue adalah  salah satu anggota senayan, Lak. Tapi dia dukung pergerakan ini karena dia juga tidak setuju dengan apa yang koleganya lakukan. Dia pengen gue jadi manusia di barisan terdepan untuk melawan, Lak."

Lalak tersenyum melihat Aldan. See? Aldan adalah anak yang pintar. Mengenal Aldan adalah sebuah keajaiban sendiri bagi Lalak. "Gue bakal bersama lo kok, Dan." 

"Sampai akhir hayat nih?" Lalak memutar matanya jengah, baru saja ia ingin mengagumi Aldan tapi lelaki itu kembali menggodanya.

"Serah lo, gue mau nyelesaiin ini dulu."

Aldan hanya tertawa dan ikut membuka laptop-nya. Dipasanganya kacamata semakin membuat ketampanannya meningkat kali lipat. Beberapa mahasiswi mulai menunjuk ke arah Lalak dan Aldan yang berkerja berhadap-hadapan. Mereka berdua berkerja dalam diam tanpa ada yang bisa mengganggu fokus mere hingga bunyi 'Ting!' dari ponsel milik Lalak, menandakan ada pesan masuk.

Dari: Mas Budi
"Dekku sayang, pulang jamber?"

Lalak hanya membacanya dan meletakkan kembali ponsel miliknya. Digaruk rambutnya yang tak gatal, bibirnya dimajukan menandakan bahwa gadis itu sedang berpikir keras. Setalah beberapa saat berpikir, diambilnya ponsel dan mengetikkan sesuatu. Ia berharap setelah mengirimkan pesan tersebut ia tak perlu terganggu akan bunyi ponsel lainnya.

Siap 86! (Complete)Where stories live. Discover now