Chapter 3

40.5K 3.9K 141
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya bebsqu ehehhe

*

Keduanya saling bertatapan tanpa ada yang mau memutus tatapan hingga Budi yang memilih memtus kontak terlebih dahulu untuk menatap laki-laki di samping gadisnya yang sedang sibuk dengan ponsel di tangan.

Lalak segera mengeluarkan uang dua puluh ribuan dan diberikannya pada Aldan.

"Sorry, Dan. Gue nggak jadi bareng lo. Ini duit buat makanan gue. Makasih banyak sudah nemenin."

"Loh-loh-loh-loh, kenapa tiba-tiba? Tapi, Lak...."

Aldan terdiam melihat kepergian Lalak yang tak mendengarnya. Ia melihat Lalak yang sedang menghampiri seorang pria yang berdiri di dekat pembuat sate sambil menatapnya. Siapa pria itu? Kenapa ia merasa tatapannya seperti akan membunuhnya? 

"Lalak!" Panggilnya mencoba menarik perhatian gadis itu tapi upayanya sia-sia karena ketika Lalak ingin menoleh pria itu memegangi pipinya membuat Lalak tak jadi menoleh ke arahnya. Alisnya semakin mengerut disaat pria yang tak Aldan tahu namanya meletakkan tangannya dengan santai di pinggul kecil milik Lalak.

Budi dengan sengaja meletakkan tangannya di sana agar laki-laki yang bersama Lalak itu tahu bahwa gadis itu off limit! Tak ada kesempatan untuk mengambil karena Lalak adalah miliknya.

"Dek, kamu kok nggak bilang-bilang kalau pulang malam? Tahu gitu biar mas yang jemput."

"Nggak usah repot. Aku tadi sibuk."

Budi cemberut ketika mendapatkan perlakuan dingin dari Lalak. Ia yang gemas karena Lalak sama sekali tak peka bahwa dirinya kini sedang bersikap manja membuat perutnya geli. Disandarkannya kepala pada bahu milik gadis itu membuat lalak mundur seketika.

"Apaan sih mas?"

"Apa? Kan mas cuma mau senderan bentar."

"Nggak usah aneh-aneh," tolak Lalak sembari mendorong kepala Budi menjauh.

Budi tersenyum lebar melihat Lalak yang cemberut. Bahkan ketika gadis itu melirik, Budi membalas dengan cengiran lebarnya membuat Lalak menggeram kesal.

"Kenapa sih dek? Hari-hari mu berat banget kah?" Tanyanya masih dengan mempertahankan cengirannya.

Lalak tak menjawab, ia hanya kembali menggerutu dan menerima bungkusan makanan yang sudah disiapkan. Tak lupa kembali menyapa Aldan yang masih menatap bingung keduanya, Lalak pergi keluar tenda dan menuju mobil jazz yang sangat ia hafal plat nomornya.

Budi mengekor di belakang setelah membayar makanannya. Lagi-lagi ia tersenyum melihat Lalak yang duduk cantik di sampingnya. Sambil menyalakan mesin mobil ia menarik tangan gadis itu untuk digenggam tapi nasib sial bagi Budi karena Lalak menolak untuk digenggam. Dengan cepat Lalak menarik tangannya dan melipatnya di depan dada membuat Budi terkekeh.

Lalak tidak paham dengan jalan pikiran manusia di sampingnya, sudah jelas-jelas ditolak bukannya sedih malah tertawa. Aneh bukan?

"Padahal kita ini pacaran lho dek. Kok malah nggak mau pegangan tangan."

"Fokus nyetir, dua tangan di kemudi, nggak usah aneh-aneh!" sindir Lalak dengan nada tajam.

"Nggih, ndoro bei."

Budi memutuskan untuk menggoda Lalak karena ada hal lain yang ingin ia tanyakan.

"Dek, tadi cowok yang kamu panggil Aldan itu siapa?"

Lalak menghembuskan napas lelah, ia sangat capek dan sejujurnya ia sangat-sangatlah malas untuk berbicara. Disandarkannya kepalanya dengan nyaman sambil melihat pemandangan jalanan Jakarta yang tak pernah sepi bahkan di malam hari sekalipun.

Siap 86! (Complete)Where stories live. Discover now