Ch. 24

15 0 0
                                    

Aurel berusaha meminum obat yang diberikan Dokter Tomy saat Ryan keluar kamarnya. Lalu ia meletakkan obat itu di laci, menguncinya, dan menyembunyikan kuncinya di laci lain. Tubuhnya sangat panas dan lemas. Aurel yakin ini indikasi penyakitnya semakin parah. Apa ini tanda umurnya tak lagi panjang?

Aurel memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, ia merasa seseorang menggenggam tangannya. Ia membuka mata dan menemukan Ryan menatapnya khawatir. "Kamu sudah meminum obat dari Dokter Dara?" tanya Ryan pelan.

Aurel mengangguk.

"Ya udah, tidur. Aku akan menunggumu di sini."

"Kamu pulang." kata Aurel dengan suara serak. "Besok aku sembuh."

"Aku tidak akan pulang. Bagaimana jika kamu membutuhkan sesuatu dan—"

"Ada Manda."

"Aku sudah izin ke Pak Satpam. Beliau membolehkan dan mempercayai aku."

"Tapi aku membuatmu repot—"

"Tidak, Rel. Kamu tanggung jawab aku."

Kamu tanggung jawab aku. Aurel menggumamkan perkataan Ryan dalam hati. Ia benar-benar mendefinisikan perkataan itu. Kenapa kamu selalu bilang kalau aku tanggung jawab kamu, Yan? batinnya. Kenapa bukan perkataan lain misalnya seperti perkataan Kaisar pada Manda saat mengantarkan Manda pulang yang tak sengaja ia dengar. Kaisar bukan bilang kalau Manda adalah tanggung jawabnya, tapi dia bilang kalau ia khawatir Manda pulang sendirian. Kedua kalimat itu sangatlah berbeda kan?

"Aku—bukan tanggung jawab kamu." Akhirnya Aurel berkata pelan, tapi cukup mampu didengar Ryan.

Tubuh Ryan menegang. Bermacam ekspresi melintas di benaknya. Salah satunya ketakutan. Kenapa Ryan takut dengan pernyataannya?

"Jadi kamu ingin aku pulang?" tanya Ryan tidak menanyakan apa maksud kalimat Aurel barusan.

"Emm." Aurel mengangguk lemah. "Besok aku akan menghubungi kamu. Besok aku pasti baikan—"

"Tapi—"

"Ryan."

Ryan memandang Aurel dalam-dalam sebelum akhirnya berkata. "Oke deh. Malam ini kamu tidur ya. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku."

Aurel mengangguk.

"Kamu akan menghubungi aku, kan?"

"Tentu, Ryan. Siapa lagi yang akan aku hubungi selain kamu?"

"..."

"..."

Ryan berdiri dari ranjang dan menatap Aurel dalam-dalam. Entah mengapa dia masih terlihat enggan meninggalkan Aurel. "Aku merindukan Aurel yang berharap aku selalu di sampingnya."

"Ryan—" Aurel bahkan tidak sanggup membalas perkataan Ryan. "I do. I do need you. So much. Aku berharap kamu selalu di samping aku, menjaga aku. Tapi sekarang aku ingin kamu istirahat. Aku mengkhawatirkan kamu. Aku tidak ingin kamu menderita, tidak tidur semalaman karena aku."

"Really?"

Aurel mengangguk. "Aku tidak lagi punya tenaga untuk berdebat. Aku harap kamu mengerti maksud aku."

"Yeah, maafkan aku."

Tapi Ryan masih saja berdiri memandang Aurel. Aurel menghela nafas dan hendak berkomentar, "Kamu—"

"Boleh aku mencium dahi kamu? Aku merasa belum bisa meninggalkan kamu jika aku belum memastikan kamu tahu kalau aku peduli padamu."

Pertanyaan itu cukup membuat Aurel terkejut. Ryan tidak pernah menciumnya sebelumnya—di dahi, di pipi, dimanapun. Mendengar Ryan bertanya seperti itu membuat debaran jantungnya sangat kencang. Tiba-tiba saja ia gugup.

"Of course." kata Aurel berusaha tenang.

Ryan mendekat. Aurel menelan ludah susah payah. Ia begitu gugup hingga akhirnya Ryan mengecup keningnya—lama. Penuh perasaan. Aurel merasa hatinya menghangat. Dulu yang sering mengecup keningnya adalah Mama. Sekarang, saat Ryan mencium dahinya, ia merasakan kehadiran Mama. Kehangatannya pun sama. Dan ia merasa sangat dicintai.

"Cepat sembuh, Aurel."

*****

Setelah beristirahat selama hampir 3 hari, akhirnya tubuh Aurel tidak terlalu panas lagi. Selama masa istirahatnya itu, Aurel memikirkan cara bagaimana bisa menemui Dokter Tomy tanpa ketahuan Ryan jika ia sudah sedikit baikan. Tapi itu susah dilakukan, karena Ryan selalu mengkhawatirkannya. Bahkan ia memesan Manda agar selalu memperhatikan Aurel. Dan Manda... tentu saja perempuan itu tidak pernah meninggalkannya di asrama.

Saat ini ia hanya membutuhkan Dokter Tomy.

Saat sudah mendingan, Aurel berangkat sekolah. Ryan menghampirinya dan mengantarnya hanya sampai di depan kelas. Ketika Ryan pergi, Aurel masuk kelas. Kelas sudah cukup ramai oleh beberapa anak—salah satunya Alden. Aurel berusaha tidak memandang Alden dan hanya berjalan ke mejanya. Namun ketika ia sampai di mejanya, Alden justru menghampirinya dengan duduk di kursi depannya yang kebetulan penghuninya belum datang.

"Lo udah sembuh?"

"Hmmh." kata Aurel pelan.

"Syukurlah. Ini gue ada susu buat lo."

Kali ini Aurel mendongak saat Alden menyodorkan sekotak kecil susu cokelat di depannya. Keningnya mengernyit penuh analisis. Alden yang melihatnya langsung berkomentar lagi. "Ini bukan sejenis susu yang membuat lo bakal terkapar kok. Santai nggak ada racunnya."

Aurel menggeleng-geleng. "Bukan gitu—Heran aja kenapa lo bawa susu ke sekolah. Lo emang suka susu?"

Alden memutar bola matanya. "Gue punya feeling lo bakal sekolah. Jadi pas beli minum di minimarket gue sekalian beli susu ini."

Mau tak mau Aurel tersenyum dan mengambil susu itu dari Alden. "Thanks, Al."

Tubuh Alden menegang.

"Oh iya, Thanks juga buat pertolongannya lusa lalu. Seragam lo jadi kena darah gue ya? Mau gue ganti?"

"Nggak perlu—" Kemudian Alden berpikir panjang. "Ternyata memang lebih mudah seperti ini, ya."

"Apanya?"

"Lo dan gue."

"..."

"Mungkin kita bisa berteman mulai sekarang?" tanya Alden hati-hati. Ada banyak pikiran melintas di benaknya. Seperti perkataan Natasha. Tugasnya hanya sederhana. Membuat Aurel mengenang masa lalunya. Tapi untuk melakukan itu, pertama-tama ia harus membuat Aurel nyaman dengannya.

Lagipula selama beberapa hari ini ia sangat tersiksa. Membenci Aurel membuatnya tersiksa karena tidak bisa menjenguknya. Menyukai Aurel lebih mudah. Meski perempuan itu ketakutan dengan rasa sukanya, mungkin ia bisa mulai dengan berteman.

Aurel sendiri cukup tertegun dengan pertanyaan Alden. "Dulu lo sendiri yang bilang kalau seharusnya lo membenci gue."

"Membenci lo menyiksa gue, Rel. Mungkin satu-satunya cara memang dengan berteman sama lo. Gue di sini—buat lo. Tapi kalau lo nggak bisa menyukai gue, setidaknya hargai gue sebagai teman—?"

Aurel berpikir lama. Namun pada akhirnya ia tersenyum. Dan ia justru yang pertama kali menjulurkan tangannya. "Lagian kita nggak pernah benar-benar berkenalan kan? Kita selalu bertemu di waktu yang salah."

"..."

"Mungkin sekarang waktu yang benar." Senyum Aurel semakin lebar. "Kenalin gue Aurel Ginna Pramoedya."

Alden membalas uluran tangan Aurel yang entah mengapa terasa seperti hadiah. "Alden Atharrya Bramantya."

*****

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 27, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

A Little Time Where stories live. Discover now