Ch. 19

10 0 0
                                    

A woman like you not deserve anything good in this world.

Otak Aurel memutar-mutar perkataan Alden, dan bagaimana pun ia mencoba, hatinya terasa sangat sakit.

Benarkah?

Itu sebabnya Tuhan menghukumnya? Papanya meninggal? Mamanya kecelakaan? Dan dirinya harus menghadapi liver failure?

Mungkin Alden benar.

She don't deserve the world, the whole world.

Tanpa sadar air mata Aurel menetes.

Tok tok tok. Pintu kamarnya diketuk.

"Rel, ada Ryan di depan." Itu suara Manda.

Aurel segera bangun dari ranjangnya dan menghapus air matanya. Ia sudah tahu untuk apa Ryan kemari. Tentu saja ia tahu—laki-laki itu diam saja sejak tadi siang—sejak Alden mengatakan hal yang sebenarnya dan menghinanya. Aurel harus siap memberi penjelasan pada Ryan—jujur? Aurel tidak yakin bisa jujur semua kepada Ryan.

Kehidupannya sangat menyedihkan dan ia tidak ingin berpikiran buruk tentangnya.

"Hai." kata Aurel begitu membuka pintu, canggung.

"Hai." kata Ryan, menelisik Aurel. Yang yang ditatap justru melihat ke arah lain.

"Kamu ingin masuk?"

"..."

"..."

"Kamu ingin ke taman?" tanya Ryan. "Atau jalan-jalan malam?"

Aurel mengerjap. "Oke. Aku ambil sweater dulu."

Ryan mengangguk. Ketika Aurel kembali dengan mengenakan sweater biru kebesaran dan celana jins biru pudar, Ryan menggandeng tangannya dan mereka berjalan keluar sekolah, menelusuri trotoar.

"Kita kemana?" tanya Aurel akhirnya.

"Kamu—suka nasi goreng?"

Aurel mengangguk.

"Kita akan berjalan ke warung nasi goreng yang enak. Tapi lumayan jauh. Is it okay?"

"Okay—" Apapun kalau bersama Ryan ia menyukainya. Aurel mulai suka dengan angin malam yang menerpa mereka, entah mengapa sejuk. Ia menghirup nafas dalam-dalam dan itu semua tidak luput dari perhatian Ryan. Cowok itu tersenyum simpul membuat Aurel malu. Wajahnya memerah.

"Apa aku masih pacar kamu, Rel?" tanya Ryan tiba-tiba.

Aurel tidak yakin menjawab bagaimana. "Emm?"

"Kenapa kamu nggak cerita ke aku soal Alden?"

Alden.

"Kamu ingin tahu? Ceritanya?"

"Aku bukan ingin tahu. Tapi kamu harus memberitahu. Pertama, karena kamu adalah bagian dari keluarga aku. Ibu dan aku sudah menganggap kamu keluarga. Kedua, aku pacar kamu. Jika aku bukan pacar kamu pun kamu harus memberitahu aku."

Aurel terdiam, memaknai setiap ucapan Ryan.

"Siapa aku bagi kamu—?" tanya Ryan lirih.

Aku bingung harus menjawab apa. "Kamu—pacar aku."

Ryan tersenyum tipis. "Apa kamu berpikir aku akan marah kalau kamu memberitahu?"

"..."

"Maafkan aku," lirih Aurel.

"Don't mind. Aku tahu tak seharusnya aku memaksa kamu buat cerita. Semua itu privasi kamu—"

"Aku dan Alden dijodohkan." kata Aurel kemudian. "Papa menjodohkan aku dengan Alden agar bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan Papanya Alden. Saat Papa meninggal, Alden tidak pernah datang—bahkan menyampaikan bela sungkawa pun tidak. Hanya keluarganya yang datang. Situasi menjadi sangat sulit setelah kematian Papa dan kami pindah ke sini. Aku pikir Alden tidak menghubungiku karena pertunangan kita putus. Meninggalnya Papa berarti juga putusnya pertunangan itu—aku berpikir seperti itu."

Ryan menatap dalam-dalam wajah Aurel. "Kamu—menyukainya?"

"Tidak pernah. Bahkan aku sangat kesal padanya."

"Kenapa? Dia tampan, kaya, menarik—"

"Kamu hanya tidak tahu siapa Alden. Dia anak orang kaya dan sombong yang akan melakukan apapun agar mendapatkan yang dia mau."

"Apapun?"

"Ya, apapun. Dia bahkan mendekati Papa dan mengiming-iming soal kerja sama agar Papa menjodohkan kami—"

"Dia mencintai kamu kalau begitu."

"Aku nggak tahu. He's just weird."

"Ya, dia sangat mencintai kamu." kata Ryan lebih ke dirinya sendiri. "Buktinya dia menyusul kamu ke sini."

"I don't know. May be he just want to prove something. Aku sudah bilang kan, dia anak orang kaya sombong yang tak mau terlihat kalah dan ditolak. Aku sudah menolaknya, mungkin dia balas dendam or something."

Ryan menghela nafas panjang. "Itu sebabnya kamu takut?"

"Bukan takut, lebih ke terganggu. Aku benci melihat dia di sini. Di sini seharusnya aku bisa memulai kehidupan baru, tapi dia—aku benci melihat masa lalu."

"Apa aku kehidupan baru kamu, Rel?"

Aurel menjawab dengan ragu. "Of course—"

Ryan tersenyum simpul.

"Kamu—tidak marah sama aku kan?" tanya Aurel takut.

"Tadinya kesal. Tapi sekarang tidak lagi." Ryan berpikir. "Untuk Alden, biarkan saja dia. Tak usah terlalu ditanggapi."

"Apa menurut kamu—aku sangat salah pada Alden?"

"Tidak. Bagaimana pun perasaan tidak bisa dipaksa."

Aurel tersenyum tipis. Bagaimana dengan perasaan kamu? Ingin rasanya Aurel menanyakan itu. Apa kamu benar-benar mencintaiku atau terpaksa mencintaiku karena keadaan?

"However, I'm glad you're telling me. Terima kasih, Rel. Terima kasih mau melibatkan aku dalam urusanmu."

*****

A Little Time Where stories live. Discover now