Ch. 14

8 0 0
                                    

Alden Atharrya Bramantya.

Setahun yang lalu, Aurel ingat seorang laki-laki menunggunya di depan mobilnya membuat Pak Salman—sopir pribadinya saat itu kebingungan. Pun dengan Aurel. Siapa orang ini? Apa yang dia lakukan di depan mobil Aurel? Dia memakai seragam yang berbeda—berarti dia bukan salah satu anak di sekolahnya kan?

"Hi," sapa laki-laki itu ramah.

"Hi?" Balas Aurel tak yakin.

"Bisa kita bicara berdua?"

Mata Aurel mengerjap. "Apa kita saling mengenal?"

"Tidak. Tapi ada yang ingin aku bicarakan."

Aurel memandang jam tangannya. Ia harus segera pulang ke rumah dan ikut les private. Hari ini Papanya bekerja dari rumah. Kalau ia terlambat pulang semenit saja, Papanya bisa marah. Aurel tidak ingin dicambuk seperti seminggu lalu—bahkan sampai saat ini sakitnya masih terasa. Pahanya lebam-lebam.

"I'm sorry. I'm late. Can we talk later?"

Laki-laki itu terlihat kecewa.

"Pleasecan you move a bit? Mobilnya nggak bisa jalan kalau kamu berdiri di tengah begini."

"Oke, kalau begitu setidaknya kita berkenalan—"

Tapi Aurel tidak menghiraukan, ia justru memanggil Pak Salman agar segera pulang.

"Namaku Alden. Alden Atharrya Bramantya."

Aurel buru-buru berjalan ke samping mobil. Laki-laki itu mengikutinya. Ketika Aurel akan masuk mobil ia menoleh kembali ke Alden. "Bye, Alden—"

Rupanya Aurel mendengarkan. Laki-laki itu tersenyum puas.

"I have something for you." Alden memberikan sebuah kotak hadiah pada Aurel. Kening Aurel mengernyit.

"Sorry—aku—"

"Kamu harus membawanya."

Alden menjejalkan kotak hadiah itu di tangan Aurel dan segera melangkah mundur.

"Bye—" katanya.

Aurel terlihat bingung tapi pada saat melihat jam tangan ia langsung meminta Pak Salman untuk menjalankan mobilnya. Ketika mobil berjalan, Aurel masih bisa melihat dari spion kalau laki-laki itu masih berdiri dan menunggu mobilnya hingga menghilang di tengah jalan.

Cowok aneh.

"Apa menurut Bapak dia orang yang sangat aneh?" tanya Aurel pada Pak Salman. "Bagaimana kalau ternyata yang dia berikan ini bom waktu?"

"Iya, neng. Kayaknya nggak usah dibuka dulu, nanti Bapak aja yang bukain kotaknya."

Aurel berpikir, kemudian meletakkan hadiah itu di kursi sampingnya. "Tidak perlu, Pak—"

Kemudian ia mengambil kertas partitur di tasnya dan mulai menghafalkan. Hari ini adalah les piano, ia harus berusaha lebih keras karena Papa di rumah.

Beberapa bulan kemudian, ia kembali melihat laki-laki itu. Tapi kali ini laki-laki itu bersama Papanya. Mereka berdua keluar dari restoran saat Aurel dan Pak Salman menjemput. Hanya berdua.

Apa-apaan? Papanya bukanlah tipe orang yang mau membuang waktunya untuk hal yang tidak penting. Tapi laki-laki itu—apa yang dia lakukan bersama Papanya? Aurel diminta keluar mobil dan berdiri canggung di depan laki-laki itu.

"Hai, kita ketemu lagi."

"Oh hai."

"Rel, Kenalin ini anak kenalan Papa—Alden namanya." kata Papanya ramah. Aurel sudah muak dengan sikap Papanya yang sok ramah di depan orang lain, tapi sangat buas di depan anak dan istrinya sendiri. "Dia suka sama kamu. Papa juga menyukainya. Jadi Papa pikir kalian bakal tunangan secepatnya—"

What?

Tapi Aurel tidak menyuarakan kebingungannya. Papanya bisa sangat marah. Laki-laki ini—apa yang dia lakukan dengan berkata seperti itu ke Papa? Kenapa dia mendekati Papanya? Aurel melempar tatapan tajam.

Papa mungkin menyukainya—tapi dirinya tidak!

*****

Aurel langsung keluar kelas begitu bel tanda istirahat berdentang. Anak baru itu—Alden—segera berlari mengejar Aurel membuat anak-anak yang tadinya ingin berkenalan dengannya langsung mengernyitkan kening. Kenapa anak baru buru-buru keluar sih?

"Rel, Aurel." Panggil Alden tapi sama sekali tidak ditanggapi sama Aurel. Akhirnya Alden berlari lebih cepat dan menarik pergelangan tangan Aurel. "Don't run, aku susah mengikuti kamu."

Aurel memberinya tatapan tajam.

Alden terdiam—mengamati Aurel. Bagaimana rambut perempuan itu bertambah semakin panjang dari yang terakhir kali ia lihat. Bagaimana gaya berpakaiannya yang juga agak berubah sedikit. Tapi lebih daripada itu—apa berat badan Aurel turun? Kenapa dia kelihatan kurus?

"Are you okay—?" tanya Alden lembut dan hati-hati. Seperti Aurel adalah vas bunga yang harus ia jaga agar tidak pecah.

Aurel hampir menangis mendengar pertanyaan itu. Rasanya susah menghandle perasaannya sendiri ketika melihat orang yang mengenalnya dan menanyainya seperti itu. Ia ingin bilang tidak, ingin bilang bahwa semua hal terasa menyesakkan terutama setelah ia kabur dan Mama pergi. Ia ingin bilang bahwa dia ketakutan di sini, hampir ingin bunuh diri karena tidak sanggup menghadapi kenyataan hingga akhirnya bertemu Ryan—

RYAN!

"Why are you here?" tanya Aurel dingin membuat kedua alis Alden terangkat naik.

"Apa kamu sungguh-sungguh tanya kenapa aku kemari?"

"Yes."

"Aku mencari kamu selama berbulan-bulan. Mencari alamat kamu, kemana kamu pergi? Keluar negeri atau masih di Indonesia? Pesawat apa yang kamu pakai? Atau bahkan kamu hanya naik kereta? Mobil? Aku mencari data di semua jalur transportasi—Dan ini tanggapan kamu?"

Aurel diam. Dingin—mematikan. Alden tak pernah mengerti kenapa Aurel selalu bersikap dingin kepadanya. Hanya kepadanya. Apa salahnya?

"Could you please welcome me?"

"No. Aku nggak pernah menyuruh kamu buat nyari aku. Seingatku kamu bukan siapa-siapa—"

"Calon tunangan kamu—kalau kamu lupa."

Aurel memberi tatapan paling mematikan. "Never been. Kalau kamu memang calon tunangan aku, apa yang kamu lakukan saat aku membutuhkan kamu? Kamu tidak ada. Bahkan sedetik pun tidak pernah muncul di depan aku sejak Papa meninggal dan anak-anak di sekolah mem—"

"Kamu membutuhkan aku?" Alden terkejut dengan pengakuan Aurel.

"Not anymore." jawab Aurel masih sangat dingin.

"Aurel..."

"Bisakah kamu pergi? Menghilang dari pandangan aku? Aku tidak membutuhkan kamu."

Alden memberinya tatapan penuh luka. "Aku—kamu tahu berapa banyak yang sudah aku korbankan untuk ke sini?"

"I don't even care. Just go."

Alden menghela nafas panjang. "Kamu membenci aku? Karena aku tidak ada di samping kamu saat kamu butuh atau karena hal lain—tidak, kamu bahkan membenci aku sebelum kejadian itu. Kamu benci aku sejak aku bilang suka kamu. Kenapa kamu benci aku? Aku masih nggak mengerti, apa salahku—"

"Salah kamu? Salah kamu adalah menyukai aku. Bahkan dalam ruangan yang sama dengan kamu, aku sangat membencinya. Membuatku sesak nafas."

"Aurel—"

"Sekarang kamu sudah tahu isi pikiranku soal kamu, kan? Jadi—pergi. Kumohon."

*****

A Little Time Where stories live. Discover now