Ch. 15

6 0 0
                                    

Aurel Ginna Pramoedya.

Alden tidak tahu kenapa ia begitu terobsesi dengan perempuan itu. Sejak pertama melihatnya—sejak awal kelas 2–di konser piano, saat Aurel menghadiri acara itu bersama temannya. Temannya mengenalkan Aurel padanya dan perempuan itu hanya menganggukkan kepala. Cantik. Alden pernah beberapa kali pacaran sebelum melihat Aurel, tapi ia tidak pernah merasa segugup itu. Aurel bahkan bukan anak raja, kenapa dirinya gugup? Bahkan perempuan itu tidak berusaha menarik perhatiannya—justru tidak mau melihatnya.

Aurel seperti perempuan yang bisa ia gapai tapi juga tidak bisa ia gapai.

Sejak saat itu, ia seperti penguntit. Berusaha melihat meskipun dari jauh. Bahkan jika hanya melihat seujung rambut dan sedetik, Alden tidak peduli. Hampir tiap hari ia akan menunggu di depan sekolah Aurel—menunggu perempuan itu pulang. Dan perempuan itu selalu pulang dengan tergesa-gesa. Alden tidak pernah ada kesempatan untuk mendekatinya.

Parahnya, Aurel tidak mengingatnya.

Kenapa? Perempuan-perempuan lain berebutan mencari perhatiannya tapi kenapa Aurel bahkan tidak mengingatnya? Ia mencari cara agar perempuan itu mau melihatnya—

Papanya.

Keluarga Alden adalah pebisnis cukup berpengaruh. Papanya Aurel adalah politisi—anggota DPR—tentu saja beliau senang saat ia mengutarakan menyukai Aurel dan berharap Aurel menjadi tunangannya. Alden bilang ke keluarganya—Papi dan Mami—kalau ia menyukai Aurel. Papi dan Maminya tentu saja menyukai Aure. Siapa yang tidak? Cantik, berasal dari keluarga berpengaruh, pintar, rajin, lemah lembut—sempurna. Tidak ada celah untuk keluarga menentang keinginan Alden.

Semuanya berjalan mulus—tapi tidak dengan perasaan perempuan itu. Aurel selalu menunjukkan sikap tidak sukanya pada Alden. Kenapa? Alden juga tidak yakin—

Seseorang bilang padanya kalau ia terlalu bodoh karena mengejar Aurel—kenapa? Kenapa perempuan itu tidak menerimanya seperti perempuan-perempuan lain? Apa yang kurang dari dirinya?

"Hai, gue Fero." Ucapan seseorang membuat lamunan Alden buyar. Ia menatap seorang laki-laki yang cukup tinggi dan atletis di depannya. "Lo anak baru yang ingin masuk dalam klub basket, kan?"

"Ya—"

"Lo ditunggu pelatih di lapangan."

Akhirnya Alden berdiri sambil menggendong tasnya. Suasana kelas sangat sepi, anak-anak lain sudah pulang. Berapa lama ia melamun?

"Sebenarnya kita sekelas."

"Oh."

"Lo asalnya darimana?"

"Jakarta."

"Aurel juga dari Jakarta—dia juga anak baru, tiga bulan lalu. Oh iya, kenapa lo masuk klub basket? Di sekolah lo yang lama lo main basket?"

"Nggak. Biar nggak bosen aja. Gue lihat ekstra-ekstra sekolah ini dan yang menarik perhatian gue hanya basket."

Fero menatap Alden kebingungan. "Biar nggak bosan kata lo?"

Alden mengangguk. "Nggak ada bar, nggak ada mall besar—tentu saja disini akan jadi sangat membosankan."

Bar? Mall? Fero melongo. "Apa lo ada urusan datang ke daerah ini."

"Ya." Kemudian Alden berpikir. "Gue kira bakal mudah dan nggak butuh waktu lama, tapi kayaknya nggak mungkin."

"Apaan?"

Alden hanya mengerutkan hidungnya. Ia merasa ia bisa bergaul dengan anak ini.

"Kapan-kapan gue kasih tahu."

Mereka memasuki lapangan basket indoor dan saat itu tatapan Alden terarah pada Aurel yang juga terkejut melihatnya. Aurel masuk lapangan basket? Sejak ke daerah ini perempuan itu berganti kepribadian—kecuali membencinya?

"Oh ini Alden. Kenalkan anak-anak ini anak baru yang mau masuk klub. Kenalkan diri kamu."

"Aku Alden Atharrya Bramantya." kata Alden sambil melirik Aurel. Perempuan itu masih memandangnya dengan kening mengernyit.

"Alden, ini Ryan—kapten basket ini. Pengaturannya nanti Ryan yang urus—kamu masuk cadangan. Sebentar lagi kita akan ada pertandingan—jadi baguslah kalau kamu masuk. Jadinya banyak cadangan—"

Alden tak lagi mendengarkan perkataan pelatih karena ia sibuk berpikir kenapa seorang Aurel mau masuk ke lapangan basket? Dia ada urusan apa? Terutama saat melihat Aurel hanya duduk diam di bangku penonton. What?

Ketika akhirnya Alden duduk di pinggir lapangan—ia bertanya pada Fero.

"Kamu kenal cewek sebelah sana?"

Fero mencari-cari. Ada beberapa perempuan yang sedang menonton pertandingan basket. "Yang mana?"

"Yang duduk di bangku depan dan pakai sweater hitam."

Tatapan Fero terarah ke Aurel. "Ohh, Aurel. Kenapa?"

"Ya—Aurel." kata Alden pelan. "Apa yang dia lakukan di sini?"

"Menonton lah, apa lagi?"

Kening Alden mengernyit. "Dia memang suka menonton basket?"

"Dia setiap hari ke sini—"

Nggak mungkin, batin Alden.

"—Membawa bekal buat pacarnya."

Tunggu! "—pacar?"

"Iya. Kapten basket tadi pacarnya—Ryan namanya kalau lo lupa."

Pacar. Ryan. Nggak mungkin. Alden merasakan kemarahan sampai ke ubun-ubunnya. Tiba-tiba saja ia berdiri—kemudian berjalan lantang ke arah Aurel. Ia tak lagi peduli kalau semua orang kini memandangnya—bahkan Fero melongo. Aurel menggeleng-gelengkan kepala ketakutan saat Alden mendekatinya.

"Kamu—"

Alden langsung menarik tangannya dan menyeretnya keluar.

"Al, apa yang kamu lakukan?" Aurel mengurut pergelangan tangannya begitu Alden berhenti. Tangannya sekarang begitu merah karena genggaman Alden yang begitu kuat. Sesaat Alden merasa bersalah, tetapi jika mengingat soal—

"Pacar. Kamu punya pacar." kata Alden kesal. "Kenapa? Aku masih calon tunangan kamu."

Aurel hanya diam.

"Kamu menerima orang lain sebagai pacar kamu tapi kamu tidak menerima aku? Kenapa?"

"..."

"..."

"Dia bukan orang lain. Tapi kamu yang orang lain."

"..."

"..."

"Hei, ada apa ini?" Ryan datang dengan khawatir sambil menyentuh pundak Aurel agar agak mundur dari Alden. "Kamu baik-baik saja Rel?"

Aurel mengangguk—diam.

Alden pun hanya diam mematung.

Ryan merasakan ada kejanggalan dari keduanya. Tentu saja ada kejanggalan. Alden menyeret Aurel dengan paksa di depan matanya.

"Kamu mengenal Aurel, Al?"

Alden memandangi Aurel. Mata perempuan itu seperti selembar buku terbuka—sekarang dia ketakutan. Ia terlihat panik kalau Alden menceritakan yang sebenarnya pada Ryan. Alden menghela nafas panjang—harga dirinya runtuh karena Aurel. Bagaimana bisa perempuan serapuh ini menghancurkan dirinya dengan mudah? Alden memejamkan mata, berusaha menangkis rasa menusuk di ulu hatinya.

Astaga, ia sangat membenci Aurel.

"Hanya kesalahpahaman." Setelah itu Alden pergi, meninggalkan Aurel dan Ryan. Kening Ryan mengernyit—jelas-jelas Alden tidak menjawab pertanyaannya.

"Are you okay—?"

Aurel mengangguk. "Gue mau ke asrama." Setelah itu Aurel pergi.

Ada apa? Mereka berdua saling mengenal kan? Apalagi Alden datang dari Jakarta!

*****

A Little Time Where stories live. Discover now