Ch. 10

11 0 0
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

Mata Aurel menyipit saat menyadari Natasha berjalan ke arahnya. Kalau saja ia tidak ingat di sampingnya ada Ryan dan perkataan Ryan kemarin, mungkin ia akan berlari. Rileks, Rel. Ada Ryan di samping lo dan cukup... Emm, lawan semua orang yang mengganggu.

Bahu Aurel menegang dan Ryan menyadari hal itu.

"Rel, gimana keadaan lo? Lo udah baik? Gue kemarin nggak bermaksud gimana-gimana ke elo, kenapa lo tiba-tiba teriak? Anak-anak jadi salah paham. Mereka kira gue ngelabrak elo."

Kening Ryan mengernyit. "Aurel baru aja datang loh, Nat. Langsung kamu berondong pertanyaan gitu..."

"Yah, gimana ya, Yan. Buat klarifikasi ke semua orang—kamu juga nggak percaya sama aku."

Kini ganti kening Aurel yang mengernyit. "Oh jadi kamu nggak ngerasa bersalah?"

"Hah? Kenapa gue harus merasa bersalah? Gue nggak—"

Aurel langsung memotong. "Menggedor-gedor pintu toilet orang, menariknya keluar, dan memojokkan di tembok. Kalau kamu nggak bermaksud buat labrak, itu nggak sopan namanya!" Setelah itu Aurel beranjak pergi dari hadapan Natasha—membuat Natasha melongo dan semakin jengkel.

Ryan sendiri tersenyum lebar melihat reaksi Aurel yang sama sekali di luar dugaannya. Aurel, emm, terlihat lebih berani sekarang.

"Yan!" Natasha memanggil nama Ryan, kesal dengan reaksi Aurel.

Ryan menoleh ke Natasha. "Gue nggak tahu apa yang terjadi sama kalian, Nat. Tapi gue rasa Aurel anaknya cukup sensitif jadi lebih baik nggak usah dulu deketin Aurel sekarang. Kecuali kamu bisa minta maaf sama dia."

"Minta maaf?! Kenapa? Gue nggak salah, Yan."

Ryan menipiskan bibirnya. "Oke kalau gitu."

Setelah itu Ryan berjalan pergi menyusul Aurel. Natasha berdecak kesal dan semakin membenci Aurel.

*****

"Eh ada Aurel. Gimana keadaan lo? Udah baikan?"

Candra—teman basket Ryan menghampiri sambil menggoda Aurel. Fero di sampingnya menoyor kepalanya hingga hampir saja mie ayam yang Candra bawa tumpah. "Ya elo bisa lihat kalau dia udah baikan."

"Mie gue mau tumpah, dodol."

Aurel menatap mereka, dan sejenak Candra dan Fero termangu. Ada yang baru dari tatapan Aurel. Dia bukan lagi Aurel yang malu dan takut-takut.

"Iya, gue baik."

Fero dan Candra mengangguk—agak terkesima. "Syukurlah."

Setelah itu Ryan datang dan duduk di samping Aurel sambil membawakan sepiring batagor. "Pesanan datang." kata Ryan menyeringai lebar.

"Thanks," kata Aurel dan meraih mangkok batagor itu.

"Kamu mau saos, kecap, tisu?"

"Tisu aja, plis."

Ryan mengambil tisu dari meja sebelah. Ia bahkan tidak terlalu menyadari saat Fero dan Candra mengamatinya seksama. Ketika Aurel mencoba membuka tutup botol air minum kemasan, Ryan segera mengambilnya dan membukanya. "Ini."

Lagi-lagi Aurel berterima kasih. Saat Aurel menginginkan sendok dan garpu, Ryan segera mengambilkannya. Pun ketika Aurel menyadari ada daun bawang di batagor—dan ia sangat tidak menyukainya—Ryan menyingkirkan daun bawang itu untuknya.

"Did you ever eat batagor?" tanya Candra kemudian. Membuat mata Ryan akhirnya mengarah padanya.

"Pernah kok."

Candra mengangguk. "Beli dimana?"

"Aku lupa." Aurel mengingat-ingat. "Resto 101."

Candra dan Fero tersedak. Itu adalah salah restoran elit yang mereka tahu. "Gue nggak tahu resto elit menyediakan batagor."

"Ada menu kuliner nusantara juga di resto itu—nggak hanya western. Ada batagor, gudeg, konro, papeda, banyak. Aku suka makan di sana."

Fero meringis—membayangkan gaya hidup Aurel. Setelah dilihat-lihat dia seperti seorang putri raja yang salah tempat. Kemudian Fero memandangi Ryan—dan laki-laki itu terlihat berpikir dalam. Fero bertanya-tanya apa yang Ryan pikirkan. Apa yang ada dalam benak Ryan ketika memacari Aurel? Dia memang sangat cantik, tapi kesenjangan— Ahh, mungkin Ryan tidak berpikiran seperti itu.

"Jadi ini batagor pertama lo yang makan di warung?"

"Kantin."

Saat itu Natasha datang bersama Adit. Ketika melihat Aurel, perempuan itu langsung mengalihkan pandangan tak suka. Aurel sendiri berusaha tidak peduli. Ia pelan-pelan memakan batagornya. Keningnya mengernyit—sambil merasakan.

"Sebenarnya apa yang terjadi sama kalian kemarin?"

Ryan menatap Candra tajam. Seharusnya ia tidak menanyakannya sekarang—dengan banyak orang yang mendengarkan. Apalagi Aurel dan Natasha masih memiliki kesalahpahaman.

"Gue nggak ngapa-ngapain Aurel." kata Natasha dingin. Aurel pun hanya diam tidak menanggapi. Ia lebih memilih pura-pura tak mendengar.

"Bagaimana rasanya?" tanya Ryan mengalihkan perhatian.

Aurel mengangguk. "Enak, sih."

"Yang paling diminati di sekolah ini itu mie ayamnya. Nggak ada lawannya."

"Mie ayam, ya." Aurel mengamati mie ayam Candra yang penuh dengan saos hingga warnanya merah—sepertinya Candra penggila saos. Aurel meringis. Ia bisa sakit perut hanya dengan melihatnya. "Well, kapan-kapan akan aku coba."

"Kamu dulu sekolah dimana?"

"Em, sekolah internasional."

"Kantinnya nggak kayak gini ya?"

Aurel menggeleng. "Kantinnya sudah disediakan makanan tertentu—seperti prasmanan hotel."

"Kenapa kamu pindah ke sini?"

"Apa ini semacam wawancara?" sela Ryan. "Aurel pasti punya alasannya sendiri—yang mungkin privasi."

Candra mengedikkan bahu. "Oke." Menyadari kalau mungkin alasan Aurel tidak ingin diketahui semua orang.

Ryan menghela nafas dan memandang Aurel yang juga sedang memandangnya. "Aku—mungkin awalnya tidak terlalu suka pindah ke sini." ungkap Aurel jujur. "Tapi sejak bertemu Ryan kurasa pindah ke sini bukan suatu masalah—malah seperti anugerah."

Jantung Ryan berdegup kencang.

Sementara itu Natasha dan Adit langsung memandang Aurel dengan mata menyipit.

"Ah—ya. Tentu saja." Ryan canggung. Ia mengalihkan pandang. Astaga, ada apa dengan jantungnya?

*****

A Little Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang