Ch. 11

7 0 0
                                    

"Cewek itu kelihatannya benar-benar terpikat sama Ryan." kata Natasha terdengar khawatir. "Dia cantik, kaya, pintar dan anak kota. Tapi Ryan tidak mungkin menyukai seseorang hanya karena alasan seperti itu kan?"

"Nat, lo harus tenang." Adit mengingatkan. "Ryan sendiri yang bilang ke kita kalau dia hanya ingin menemani Aurel sesaat hingga tuh cewek nggak lagi takut."

Natasha menghela nafas panjang. "Takut darimana coba? Dia bahkan kelihatan dingin sama siapapun. Sombong dan dingin. Aku bener-bener nggak suka cewek macam dia."

"Iya, gue juga nggak ngerti alasan Ryan." Kemudian Adit teringat kejadian di kamar mandi saat Aurel berteriak histeris—ketakutan. "Atau mungkin memang perlu." ucapnya pelan.

Natasha langsung menatapnya tajam. "Dit, lo belain cewek itu?"

"Nggak sih, Nat—tapi lihat keadaan dia pas di kamar mandi dia kelihatan—"

"Bukan salah aku!" Natasha langsung membela dirinya sendiri.

"I know. Dia hanya kelihatan ketakutan—"

"Lo bisa mempercayai gue tapi kenapa Ryan nggak Dit?" potong Natasha lagi, tak peduli dengan pendapat Adit.

"Menurut gue bukannya Ryan nggak percaya, dia hanya berusaha membuat Aurel nyaman. Lo sabar aja dulu ya, Nat. Ryan pasti kembali ke elo, kok."

Natasha mengangguk. "Gue suka Ryan, Dit. Suka banget."

Adit tersenyum tipis. "Aku tahu." Kemudian ia berpikir kalau keadaan ini sebenarnya tidak sesederhana yang ia pikirkan.

*****

Ryan Pratama: Sedang apa, Rel?

Aurel menerima pesan Ryan saat dirinya sedang duduk di kursi belajar membaca buku kesukaannya—Universe. Dia segera membalas pesan itu.

Aurel: Lagi duduk aja. Kenapa?

Ryan Pratama: Aku di depan pintu. Boleh kamu buka?

Begitu membaca pesan itu, Aurel segera berdiri dari kursi dan keluar kamar dengan berlari dan tersenyum lebar. Manda yang sedang di depan kulkas melihatnya dan berkata. "Pasti ada Ryan, ya."

Aurel mengangguk seperti anak kecil. Ia sangat menyukai perasaan ini. Excited. Apa pernah selama di Jakarta ia benar-benar excited pada sesuatu? Dulu ia tidak pernah benar-benar punya harapan atau mengharapkan sesuatu karena takut tidak terkabul. Papa mengarahkan hidupnya. Bahkan dengan dirinya yang selalu menurut, Papa hampir selalu memukulnya. Aurel pernah berharap akan ada seseorang yang akan menolongnya—tapi tentu saja tidak ada yang berani menolongnya. Pembantu di rumah? Mereka takut pada Papa. Sedangkan orang luar? Tidak ada yang tahu watak Papa yang sebenarnya—keberingasannya. Sejak itu Aurel tidak lagi punya harapan—atau menginginkan sesuatu dalam hidupnya.

Tapi sejak bersama Ryan—ia kembali merasakan harapan itu—ia seperti tertarik menjadi anak kecil lagi.

"Hai." sapa Aurel begitu membuka pintu.

Ryan berdiri, tersenyum lebar sambil memamerkan bingkisan plastik putih. "Aku bawa makanan."

Aurel membuka pintu lebih lebar—memberi Ryan jalan masuk. Malam ini Ryan menggunakan kaos putih yang terlihat agak longgar dan celana jins biru yang sepertinya sering sekali dipakai—tapi malam ini Aurel baru benar-benar menyadarinya. Ryan terlihat tampan dengan tampilannya saat ini.

Apa Ryan selalu terlihat seperti ini?

"Hai, Man." sapa Ryan begitu melihat Manda minum jus jeruk.

A Little Time Where stories live. Discover now