Ch. 6

5 0 0
                                    

"Aurel, makan dulu." teriak Bu Farah.

Aurel memandang cerminan dirinya yang seperti Zombi. Matanya seperti mata panda. Wajahnya pucat. Dia benar-benar jelek. Aurel mendesah. Beberapa detik kemudian, pintu kamarnya terbuka. Aurel melihat Ryan bersandar di pintunya yang terbuka dan memandangnya.

"Apa yang kamu lakukan?"

Aurel hanya menggeleng. "Hanya melihat betapa jeleknya diriku."

Ryan terkekeh. "Baru sadar?"

Bibir Aurel mengerucut yang membuat Ryan semakin terkekeh. "Ayo makan dulu. Setelah makan kamu boleh memoles wajahmu lagi."

Aurel berdiri. Tetapi saat hendak melangkah tangannya tak sengaja terantuk pinggiran laci. Dia mengaduh. "Aww."

Ryan berlari mendekatinya. "Tangan kamu nggak apa-apa?"

Aurel mengamati perban di pergelangan tangannya. "Setidaknya jahitannya tidak terbuka lagi."

"Hati-hati kalau jalan."

Aurel mengangguk.

"Ayo." Ryan mengajaknya ke meja makan.

Bu Farah tersenyum saat melihat Aurel datang. "Ayo, Nak. Aku sudah memasak banyak untuk kamu. Biar kamu punya energi."

Aurel mengangguk dan berbisik terimakasih. Namun keningnya mengernyit saat melihat menu di depannya. Ia tidak tahu makanan jenis apa yang saat ini di depannya. Ia tahu makanan yang lain, sayur kacang, tempe, dan lain-lain. Tapi yang di depannya?

"Tante sudah memasak tumis ati buat kamu. Katanya bisa mempercepat luka sembuh."

Ati?

Tanpa sadar Aurel menyuarakan isi hatinya.

"Iya, ati ayam. Kenapa? Kamu tidak suka?"

Hati ayam dimakan? Aurel tidak pernah tahu itu. Kemudian ia melihat tatapan Bu Farah dan Ryan yang aneh sehingga Aurel hanya bisa tersenyum paksa. "Ya, aku sangat menyukainya. Sungguh."

Ia memakan lahap tanpa bermaksud merasakan rasanya, apalagi mengingat namanya. Ia bisa muntah. Ia tidak pernah tahu kalau organ dalam ayam bisa dimakan. Jangan-jangan orang-orang di sini juga memakan usus ayam?

Aurel memejamkan mata. Jangan dipikirkan.

Ryan hanya meringis saat melihat Aurel mencoba memakan hati ayam itu sesendok penuh.

*****

"Ini Ibu belikan seragam buat kamu. Alat tulis juga. Ah ya, Ibu tidak tahu warna kesukaanmu, jadi Ibu belikan tas warna hitam saja. Kamu suka?"

Aurel mengangguk sambil tersenyum tipis. "Terima kasih." Sejujurnya ia tidak ingin sekolah, tapi saat ini ia berada di posisi tidak bisa membantah.

Ia hanyalah orang asing.

"Barang-barang kamu di rumah kamu sudah Ibu ambilkan. Kita tinggal packing saja. Ryan sudah memilihkan kamar yang cocok buat kamu di sana."

Apalagi tinggal di asrama.

Ia benar-benar tidak ingin tinggal di asrama. Sungguh. Tetapi tidak ada pilihan lain, di asrama atau di rumah ia tetap sendirian. Hanya saja kali ini ia tahu kalau dirinya tidak benar-benar sendirian. Ada Ryan. Rumahnya.

A Little Time Where stories live. Discover now