Ch. 21

6 0 0
                                    

Aurel tersenyum. "Aku bawa pisang dan potongan buah apel buat kamu. Kamu tahu nggak kalau pisang itu baik buat kesehatan jantung dan ginjal. Kamu kalau mau pertandingan baiknya mengkonsumsi pisang dulu ya. Ada kandungan karbohidratnya juga, jadi bisa nambah energi kamu. Kalau apel—itu baik buat paru-paru. Ah ya, nanti sebelum kamu pertandingan aku bawain lemon dan madu ya. Aku akan cari tahu gimana cara buatnya—"

Ryan tersenyum simpul. Aurel hari ini sangat berbeda. Perempuan itu gemar berceloteh dan menceritakan apapun. Ryan tak pernah tahu ada sisi Aurel yang seperti ini. Perempuan itu selalu bisa mengejutkannya.

"Dari klub basket udah sedia minuman buat pertandingan."

"Ahh... oh ya?"

Ryan mengangguk. "Kamu nonton kan? Pertandingannya digelar di sini kok—harusnya kamu nonton."

"I don't know anything about basket. But—okay. May be my eyes can't take off of you."

"Kenapa? Karena akhirnya menyadari kalau kamu punya pacar ganteng dan berkarisma?"

Aurel manyun. "Kenapa kamu sangat percaya diri?"

"Menjadi pacar cewek cantik dan pintar di sekolah ini membuat aku mau nggak mau harus percaya diri dan sok bisa—benar, kan?"

"Nope. I just want you to be you."

Ryan tersenyum singkat. Menjadi diri aku sendiri? Batinnya. Diri aku yang bagaimana yang kamu sukai Rel? Aku yang baik sama kamu, menolong kamu, mengajak kamu bersepeda atau diri aku yang bodoh, hanya bisa main basket seperti ini? Apa kamu bahkan pernah mempertimbangkan sisi diriku yang itu?

"Kamu ingat janji kamu dulu?" Aurel bertanya.

Janji? Ryan berpikir keras.

"Kalau kamu menang basket dan aku juara satu di kelas—"

"Ahh, yang itu?" Ryan menatap Aurel lembut. Tak menyangka Aurel masih mengingatnya. Ia ingat dulu mengatakan janji itu agar Aurel berusaha keras—tidak malas menjawab kuis lagi. "Mau kemana?"

Mata Aurel bersinar girang. "Aku sudah memikirkannya. Aku ingin ke pegunungan Alpen, Austria."

"Kenapa ke sana?"

"Aku pengen ski. Aku belum pernah melakukannya. Aku ingin melihat alam yang segar. Pasti menarik—perasaan seperti itu aku ingin merasakannya."

"Tapi saat selesai pertandingan—kita masih sekolah. Mungkin kita tunda sampai liburan dulu—itupun kalau aku menang."

Aurel terlihat kecewa namun pada akhirnya ia mengangguk. "—okay."

Ryan memandang perempuan di depannya—benar-benar memandang. Aurel sangat cantik. Bahkan jika perempuan itu hanya mengenakan tshirt putih dan celana jins panjang. Rambutnya pun hanya diikat seadanya. Ada sejumput rambut yang tidak terikat. Dia tidak pernah berusaha berpenampilan menarik, tetapi keseluruhan tentang dirinya sangat menarik perhatian semua orang.

Adit benar, Aurel terlalu sempurna.

Sekarang perempuan itu terlihat lebih bahagia dan bahkan banyak bicara. Apa dia sudah melupakan kesedihannya karena ditinggal mamanya? Ryan bertanya-tanya apa yang dipikirkan Aurel sekarang.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Aurel, sama seperti apa yang Ryan pikirkan.

Ryan tersenyum. "Kamu—cantik."

Pipi Aurel merona. Perempuan itu mengalihkan pandangannya—salah tingkah. Ryan gemas dan mengacak rambut Aurel. "Mau pulang? Ayo aku antar."

"Tidak usah. Aku bisa ke asrama sendiri—"

Tapi Ryan sudah menggenggam tangannya dan mengajaknya keluar lapangan indoor itu. Aurel merasa malu, salah tingkah, dan hangat sekaligus. Bayangan Ryan yang memeluk Natasha sudah sedikit ia lupakan, apalagi saat Ryan semakin mengeratkan genggamannya. Ia ingin selalu seperti ini—tetap seperti ini. Selamanya.

Apa Tuhan akan mengabulkan doanya?

*****

Natasha menatap kepergian Ryan dan Aurel dengan kesal. Mereka berdua kenapa terlihat sangat romantis sih? Kenapa Ryan harus melakukannya di depan semua orang kalau hubungan keduanya sebenarnya bukanlah apa-apa? Bukankah Aurel sudah terlihat baik? Bukankah harusnya Ryan mulai melepaskan Aurel?

Natasha teringat bagaimana Ryan tadi memeluknya karena menyelamatkannya dari terjangan bola. Jantungnya berdebar dan ia sangat yakin kalau Ryan masih punya perasaan padanya. Bagaimana caranya memperjuangkan Ryan?

Natasha membalikkan badan, tepat saat ia melihat Alden. Senyumnya terbit. Alden—tentu saja kehadiran laki-laki itu adalah jawaban. Natasha segera berjalan mendekati Alden.

"Hai, Al."

Laki-laki itu menatapnya dengan tajam—sedikit mengintimidasi. Tapi Natasha berusaha meneguhkan hati.

"Kenalin gue Natasha."

"Iya, gue tahu." kata Alden dingin.

Senyum Natasha melebar. "Gue dengar lo calon tunangan Aurel."

Sikap Alden menjadi lebih defensif—tapi ia bisa memperkirakan kenapa Natasha tiba-tiba mendekatinya. Semua orang—bahkan yang tidak punya mata pun akan tahu kalau Natasha menyukai Ryan. Bahkan Alden yang masih anak baru pun. Perempuan itu selalu menatap Ryan penuh pemujaan.

"Itu bukan urusan lo."

"Tentu—"

"Gue nggak punya waktu buat ngurusin hal nggak penting—"

Alden hampir berbalik saat Natasha berkata pelan, "Gimana kalau gue ngasih tahu lo rahasia? Rahasia antara Ryan dan Aurel."

Kening Alden mengernyit. Ia tahu kalau ia berbalik menatap Natasha lagi, ia akan terjerumus dalam rencana perempuan itu. Alden seperti berada di perbatasan. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tapi rasa penasaran lebih menguasai dirinya.

Sial, ia tidak bisa menarik diri.

Akhirnya Alden menoleh. "Apa?" tanyanya.

Natasha tersenyum menang.

"Nanti malam jam 7 di kafe Rama. Gue bakal kasih tahu semuanya ke elo. See you."

Alden merutuki dirinya sendiri.

*****

A Little Time Where stories live. Discover now